JAKARTA, MENARA62.COM – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) kembali menegaskan posisinya yang membela pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Syihab (HRS). Setelah Ketua Umum KH Said Aqil Siraj, kini Ketua Pengurus Harian Tanfidziyah PBNU, Robikin Emhas, menyatakan bahwa kaum nahdliyin sangat menghormati para keturunan Rasulullah Muhammad SAW (habib), termasuk HRS.
“Menghormat habib? NU-lah yang melakukannya, sejak zaman prakemerdekaan hingga saat ini,” kata Robikin dalam siaran persnya, Jumat (1/11/2019).
Dia mengungkapkan tradisi mencium tangan ulama dan habib di kalangan NU. “Boleh jadi, tidak ada cium tangan ‘wolak-walik’ kepada habaib jika NU tidak melakukannya. Mengapa? Karena hal itu merupakan bagian dari perintah agama,” kata Robikin.
Ia menegaskan, meski HRS memiliki perbedaan pandangan terhadap sesuatu, tapi tetaplah saudara bagi nahdliyin. Ini sesuai konsep tri ukhuwah yang dipelopori KH Ahmad Shidiq dan dikembangkan NU sejak 1984.
“Jangankan terhadap orang yang kiblatnya sama, Tuhan yang disembah sama, bahkan terhadap warga negara dan sesama manusia di seluruh penjuru dunia persaudaraan tak boleh diputus hanya karena perbedaan pemikiran,” tutur Robikin.
Kendati demikian, dia menegaskan komitmen NU terhadap NKRI. NU tidak mendukung gagasan negara Islam atau Indonesia bersyariah maupun khilafah.
Bagi NU, bentuk negara ini sudah final sebagai kesepakatan para pendiri bangsa. Maka, wajib bagi generasi berikutnya untuk mematuhinya karena kesepakatan adalah janji yang juga hutang yang harus dibayar.
“Bahkan sejak sebelum kemerdekaan, NU melalui Muktamar ke-11 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, pada 1936, sudah menegaskan bahwa Nusantara adalah ‘darussalam’,” tandas Robikin.
Sementara HRS bersama FPI-nya, selama ini juga dikenal berkomitmen menjaga keutuhan NKRI dan setia pada Dasar Negara Pancasila. Namun, entah kenapa rezim mengecapnya sebagai anti-NKRI dan Pancasila, hanya karena secara politik berseberangan.
HRS dan pengikutnya tidak mendukung Jokowi sebagai presiden, sehingga perpanjangan izin ormas FPI pun dipersulit. Organisasi yang banyak melakukan aksi sosial ini terancam dibubarkan tanpa proses pengadilan seperti nasib Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Apresiasi Tokoh Muhammadiyah
Sebelumnya, KH Said Aqil Siraj, mengeluarkan pernyataan menarik dan mengejutkan. Sosok “ulama moderat” ini tiba-tiba menyeru bahwa kita wajib menghormati HRS. Padahal, HRS oleh pemerintah Jokowi dicap sebagai radikal dan dikriminalisasi sehingga mengasingkan diri ke Arab Saudi.
Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Din Syamsuddin, memberikan apresiasi yang tinggi terhadap sikap Said Aqil itu. “Sangat menarik dan mencerahkan,” katanya, di Jakarta, Kamis (31/10/2019).
Mantan ketua umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah itu menilai, pernyataan Said Aqil tersebut bernada fatwa. Ia menggunakan istilah fikih yang sangat keras dan tegas, yakni “wajib”, yang menurut hukum Islam jika tidak dilaksanakan maka pelakunya akan berdosa.
“Saya sangat bersetuju (muwaffiq kull al-ittifaq), dan sangat menghargai (highly appreciated) dengan pernyataan tersebut. Kendati itu merupakan qaulun jadid (perkataan baru), bagi saya, pernyataan Kiai Said Aqil Siraj itu wajib diperhatikan, tidak hanya oleh Kaum Nahdhiyin, tapi juga oleh seluruh umat Islam, bahkan umat agama-agama lain, tak terkecuali oleh pemerintah atau pemangku amanat,” tutur Din.
Memang seyogyanya, lanjut Din, sebagai bangsa cinta damai dan keadilan kita harus menghormati hak dan martabat para tokoh agama, apapun agama mereka. Sebagai umat Islam harus pula menghormati para ulama, siapapun mereka dan apapun madzab pemikirannya.
“Sikap cenderung mengafirkan atau memandang sesat pihak lain, termasuk menuduh pihak lain secara peyoratif (menghinda/merendahkan) seperti radikal, merupakan sikap yg tidak arif bijaksana dan bukan merupakan bentuk moderasi beragama,” ujar Din.
Lebih jauh ia menyebut tentang wawasan wasathiyah (suatu watak Islam sejati). Hal ini, antara lain mengedepankan tasamuh atau toleransi yang perlu mengejawantah dalam sikap penuh hikmat kebijaksaan di tengah kemajemukan dan keberagaman, yakni dengan menghargai orang lain. Sikap ini diperlukan dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia yang memiliki keragaman agama, etnik, dan budaya.
“Islam mengajarkan, kalau antarumat berbeda agama berlaku ”lakum dinukum waliyadin” (bagimu agamamu, bagiku agamaku), tapi kita bersaudara sebangsa. Terhadap sesama Muslim, walau berbeda aliran atau organisasi sehingga berbeda pemahaman keagamaan, bisa berlaku analoginya: ”lakum ra’yukum, wali ra’yi” (bagimu pendapatmu, bagiku pendapatku), tapi kita tetap bersaudara seiman,” papar Din.
Sikap tersebut bisa terwujud setelah semuanya mencoba untuk duduk bersama, berdialog atau bermusyawarah, yang merupakan ciri lain dari Wawasan Wasathiyah. “Selain wajib menghormati Habib Rizieq Syihab, hormati pula Ustadz Abdus Somad, atau Ustadz Adi Hidayat, dan para tokoh agama lain,” imbuh Din.
Oleh karena itu, Din menutup dengan pesan, demi kerukunan bangsa dan Persatuan Indonesia (Sila Ketiga Pancasila), mari kembangkan sikap saling memahami dan menghormati. “Kriminalisasi tokoh agama (ulama, pendeta, pedanda, atau bikkhu), dan kecenderungan labelisasi apalagi dengan generalisasi adalah pendekatan yang kontra-produktif terhadap perwujudan kerukunan bangsa, integrasi, dan integritas nasional,” tandasnya.