JAKARTA, MENARA62.COM — Pelibatan TNI dalam Penumpasan Teroris Sudah Punya Payung Hukum. Payung hukum pelibatan TNI untuk mengatasi terorisme itu ada dua, hukum humaniter yang diterjemahkan dalam UU 34/2004 tentang TNI dan hukum pidana dengan UU no:5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Aksi Terorisme.
“Jadi pelibatan TNI dalam penumpasan terorisme itu sudah final. Tidak perlu diperdebatkan lagi. Meskipun, dalam UU no:5/2018 dalam pelaksanaannya harus dengan perpres yang diamanatkan pada pasal 43 I ayat (3) pada bagian penjelasannya,” ujar Mantan Kabais TNI, Laksda TNI (Purn) Soleman B Pontoh dalam Seminar Nasional yang digelar Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Kamis (12/2020).
Seminar yang mengangkat tema Rancangan Perpres tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme, Implementasi Tugas Operasional Militer Selain Perang ini, selain Soleman, juga menghadirkan Mayjend TNI (Purn) Supiadin Aries Saputra (Ketua DPP Partai Nasdem), Inspektur Babinkum Mabes TNI Brigjend TNI Edy Imran SH MSI MH, Dr Wicipto Setiadi SH MH (Ahli Hukum Perundang-undangan FH UPN Veteran Jakarta) dan Khoirur Rizal Lutfi SH MH (dosen FH UPN Veteran Jakarta), sebagai pembicara.
Problemnya, menurut Supiadin, presiden hingga saat ini belum mengeluarkan perpres tentang pelibatan TNI dalam penumpasan teroris. Padahal, proses pembuatan perpres itu sudah diamanatkan UU paling lama satu tahun.
Ia tidak tahu apakah komisi III sudah memberikan catatan atas rancangan perpres itu atau tidak, sementara komisi I sudah memberikan catatan. “Kalau komisi III juga sudah, maka tinggal dibahas saja antara pimpinan DPR, komisi I dan komisi III. Karena yang terlibat langsung adalah komisi I dan III,” ujarnya.
Jika mengikuti langkah itu, menurut Supiadin, tinggal konsultasi saja. Namun, kalau DPR tidak mau menyetujui atau tidak memberikan catatan, maka presiden bisa menerbitkan perpres.
“Namun kan negeri kita ini demokrasi dan penuh toleransi. Jadi tidak bisa maunya sendiri,” ujarnya yang mengakui proses perpres soal pelibatan TNI dalam kaitan operasi militer selain perang ini, memang anomali. Pasalnya, perpres merupakan hak prerogatif presiden.
Satu hal yang pasti, menurut Supiadin, terlambatnya perpres ini, bisa menghambat banyak hal yang mendesak terkait penanganan terorisme. Jangan sampai, negara ini kembali tergagap ketika ada terorisme seperti yang terjadi pada kasus Bom Bali 2002. “Ketika itu, kita tidak punya UU untuk mengatasi tindak pidana terorisme,” ujarnya.
Rancangan Perpres
Brigjen Edy Imran menjelaskan tentang materi rancangan perpres terkait tugas TNI mengatasi aksi terorisme yang diajukan terdiri dari 7 BAB dan 15 Pasal, yang akan ditindaklanjuti dengan Peraturan Panglima TNI. Di dalamnya, disebutkan tentang fungsi TNI adalah penangkalan (pencegahan), penindakan dan pemulihan.
Selain itu, menurut Brigjen Edy Imran, didalam perpres juga memuat tentang pelibatan TNI secara Limitatif terhadap 8 sasaran yang strategis dan khusus. Pelibatan TNI secara terbatas dan Panglima TNI, harus atas perintah presiden
“Selain itu, juga tentang BNPT sebagai leading sector penanggulangan terorisme. Polri sebagai Lembaga/institusi yang melaksanakan proses hukum. Sehingga tidak ada tumpang tindih, pengambilalihan tupoksi, atau merusak tatanan criminal justice system,” ujarnya.
Tidak taat
Wicipto menegaskan, belum adanya perpres yang diamanatkan oleh UU no:5/2018 itu, bisa menjadi bukti bahwa presiden tidak taat pada amanat UU. Pasalnya, sejak UU itu dikeluarkan pada tanggal 22 Jui 2018, ada amanat untuk membuat perpres paling lambat satu tahun setelah diundangkan.
“Kalau Presiden tidak taat pada UU no:5/2018, lalu sanksinya apa? memang tidak disebutkan secara jelas, namun ini merupakan tanggungjawab presiden yang harus dipenuhi, agar peran strategis TNI dalam menghadapi terorisme semakin jelas,” ujarnya.
Menurut Wicipto, peran strategis TNI tetap dibutuhkan untuk membantu dan mendukung aparat Polri dalam memberantas aksi terorisme di Tanah Air. Peran serta TNI dalam mengatasi terorisme merupakan bagian tidak terpisahkan dari tugas pokok TNI, dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan
gangguan, baik dari dalam maupun dari luar.
Ia menilai, dasar hukum pelibatan TNI dalam penumpasan terorisme sebetulnya sangat jelas, baik UU maupun konstitusi. Namun ia menilai, tetap perlu kesepakatan bersama secara proporsional demi bangsa dan negara RI. Dasar hukum TNI dalam mengatasi aksi terorisme ada dalam UUD 1945, yaitu: Alinea IV Pembukaan UUD 1945 menyatakan, melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Pasal 30 ayat (2) UUD 1945 menentukan, usaha pertahanan dan keamanan negara
dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh TNI dan Polri
sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung.
Pasal 30 ayat (3) UUD 1945 menentukan, TNI terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan
Laut, dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan
memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.
Ia menilai, dasar hukum pelibatan TNI dalam penumpasan terorisme sebetulnya sangat jelas, baik UU maupun konstitusi. Namun ia menilai, tetap perlu kesepakatan bersama secara proporsional demi bangsa dan negara RI.