JAKARTA, MENARA62.COM – Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menegaskan bahwa tidak ada terma “kewajiban” dalam rencana penerbitan regulasi tentang optimalisasi penghimpunan zakat Aparatur Sipil Negara (ASN) Muslim. Dalam wacana regulasi, pemerintah hanya akan memfasilitasi para ASN untuk menunaikan zakat sebagai ajaran agamanya.
“Yang perlu digarisbawahi, tidak ada kata kewajiban. Yang ada, pemerintah memfasilitasi, khususnya ASN muslim untuk menunaikan kewajibannya berzakat. Zakat adalah kewajiban agama,” terang Menag saat memberikan keterangan pers di kantor Kementerian Agama, Jakarta, Rabu (07/02).
Menurut Menag, meski umat Islam adalah mayoritas penduduk, Indonesia bukan negara Islam. Namun, Indonesia juga bukan negara sekuler. Sejak dulu, negara ini dikenal sebagai bangsa yang agamis dan pemerintahnya ikut memfasilitasi pelayanan kebutuhan pengamalan ajaran agama.
Pelaksanaan ibadah haji misalnya, negara ikut memfasilitasi. Dalam hal puasa, negara juga memfasilitasi warganya untuk tahu kapan memulai dan mengakhirinya. Itulah kenapa ada sidang itsbat.
“Demikian halnya dengan zakat. Yang mewajibkan adalah agama. Pemerintah memfasilitasi umat muslim untuk berzakat. Dalam konteks ini, negara ingin memfasilitasi ASN Muslim untuk menunaikan kewajibannya,” ujarnya.
Menag menjelaskan, bahwa ada dua prinsip dasar dari rancangan regulasi ini. Pertama, fasilitasi negara sehingga tidak ada kewajiban, apalagi paksaan.
“Bagi ASN muslim yang keberatan gaji nya disisipkan sebagai zakat, bisa menyatakan keberatannya. Sebagaimana ASN yang akan disisipkan penghasilannya sebagai zakat, juga harus menyatakan kesediaannya,” tutur Menag.
Dengan demikian tidak ada akad dan tidak serta merta pemerintah memotong atau menghimpun zakatnya,” sambungnya.
Prinsip kedua, kebijakan ini hanya berlaku bagi ASN muslim. Sebab, Pemerintah perlu memfasilitasi ASN muslim untuk menunaikan kewajibannya. Kewajiban itu tentunya bagi ASN Muslim yang pendapatannya sudah mencapai nishab (batas minimal penghasilan yang wajib dibayarkan zakatnya).
“Mereka yang penghasilannya tidak sampai nishab, tidak wajib berzakat. Jadi ada batas minimal penghasilan yang menjadi tolak ukur. Artinya ini juga tidak berlaku bagi seluruh ASN muslim,” katanya.
Secara operasional, dana zakat ini nantinya akan dihimpun oleh Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang didirikan oleh ormas Islam dan kalangan profesional lainnya. Potensinya sekitar Rp10 triliun.
Zakat yang dihimpun nantinya akan digunakan untuk kemaslahatan masyarakat, baik untuk pendidikan, pesantren, madrasah, sekolah, beasiswa, rumah sakit, ekonomi umat, termasuk untuk membantu masyarakat yang mengalami musibah bencana.
“Ini seperti yang selama ini sudah dilakukan BAZNAS dan LAZ,” tuturnya.
“BAZNAS dan LAZ setiap tahun diaudit akuntan publik. Melalui aturan ini, kami ingin menambahkan agar secara periodik mereka juag harus menyampaikan ke publik tentang progres penghimpunan dan pendayagunaan zakat. Ini juga terkait trust atau kepercayaan,” sambungnya.
Fasilitasi zakat, kata Menag, sebenarnya bukan hal baru. Sebab, Indonesia sudah memiliki UU Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Dari UU itu, lahir Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 2014 tentang pelaksanaan UU 23 tahun 2014.
Lalu ada Instruksi Presiden No 3 tahun 2014 tentang Optimalisasi Pengumpulan Zakat Di Kementerian/Lembaga, Sekretariat Jenderal Lembaga Negara, Sekretariat Jenderal Komisi Negara, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah Melalui Badan Amil Zakat Nasional. Ada juga Peraturan Menteri Agama Nomor 52 tahun 2014 tentang Syarat dan Tata Cara Penghitungan Zakat Mal dan Zakat Fitrah serta Pendayagunaan Zakat Untuk Usaha Produktif.
“Jadi apa yang sedang kami persiapkan bukan barang baru. Ini upaya untuk lebih mengaktualisasikan potensi besar dana zakat ASN muslim,” tandasnya.
Menag menegaskan bahwa rancangan peraturan ini masih dalam tahap pembahasan di internal Kementerian Agama, belum melibatkan instansi lain.