28.8 C
Jakarta

Pendekatan Kekuasaan Penentuan Awal Waktu Subuh

Baca Juga:

SEJAK sekitar Maret 2017, the Islamic Science Research Network (ISRN) UHAMKA melakukan penelitian yang komprehensif tentang kehadiran fajar yang menandai masuknya waktu subuh, dan menghilangnya sinar syafaq yang menandai berakhirnya waktu maghrib. Alat utama pendeteksi fajar kami adalah sebuah Sky Quality Meter (SQM) yang merekam tingkat kecerlangan langit (sky brightness) secara terus menerus, bahkan sering selama 24 jam penuh.

Tingkat kecerlangan langit dinyatakan dalam satuan magnitudo. Nilai magnitudo positif menunjukkan langit gelap, sedangkan magnitudo negatif menunjukkan langit yang terang. Perekaman data seperti ini selalu bersifat fluktuatif sesuai dengan sifat stokastik perekaman data fenomena alam.

Namun, di suatu titik, akan terjadi perubahan trend yang konsisten dari gelap ke terang. Titik perubahan trend inilah titik kehadiran fajar. Bagi yang kurang faham dengan proses matematik, kehadiran fajar di titik ini dapat ditentukan secara visual dan grafis. Namun hasilnya tentu saja tidak akurat dan kasar. Penentuan kehadiran titik fajar yang akurat harus melibatkan algiritme matematik yang sesuai ditambah dengan pengkodean program komputer.

Sampai saat ini ISRN-UHAMKA telah menggunakan sekitar 220 data (baca: 220 hari) untuk subuh, dan 160 data untuk isya. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah: ternyata kehadiran sinar fajar sekitar 80 menit sebelum Matahari terbit (dip -20 derajat) yang telah ditetapkan pemerintah rupanya harus dikoreksi karena sebetulnya sinar fajar baru terdeteksi sekitar 53 menit sebelum Matahari terbit (dip -13,3 derajat).

Fakta sebaliknya untuk awal waktu isya. Ketetapan pemerintah bahwa menghilangnya sinar syafaq baru terjadi sekitar 72 menit setelah maghib (dip -18 derajat), harus dikoreksi juga karena sinar syafaq sebetulnya telah habis sekitar 52 menit setelah maghrib (dip -13,2 derajat). Ini berarti, awal subuh kita rupanya sekitar 26 menit terlalu awal, sedangkan awal isya kita sekitar 19 menit terlalu lambat.

Sejak tersiarnya hasil riset ISRN-UHAMKA ini, nuansa penolakan dari Kemenag sebetulnya sudah terasa. Penolakan tersebut terutama banyak disuarakan oleh sebuah thing-tank group bernama Badan Hisab Rukyat.

Mereka menuduh bahwa data yang digunakan ISRN-UHAMKA adalah data astronomi di Pulau Jawa yang sudah terpolusi berat (udara maupun sinar). Tuduhan tersebut sebetulnya telah kami bantah pada 23 Agustus 2018 melalui tulisan di website sementara kami[1]. Tulisan ini membuktikan bahwa tidak ada korelasi yang signifikan antara kehadiran fajar dan polusi. Setidak-tidaknya untuk kondisi di Indonesia saat ini, korelasi itu tidak signifikan.

Untuk membantah hasil riset kami, pada 24 April 2018, BHR Kemenag mengirimkan sekitar 20 tenaga ahlinya dari berbagai institusi untuk mengambil data kecerlangan langit di Labuanbajo, NTT. Beberapa hari kemudian dipublikasikanlah hasilnya di blog salah seorang anggota BHR, Prof. Thomas Djamaluddin.

Kesimpulannya, Prof. Thomas menyangkal hasil riset ISRN-UHAMKA karena beliau memperoleh harga dip -19,5 derajat di Labuanbajo. Sayangnya, setelah kami lihat secara detil, kami menemukan kejanggalan seperti berikut ini:

  • Perekaman data pertama kali dilakukan pada pukul 4:16:43 dengan nilai kecerlangan langit 21,2 magnitudo. Data terakhir terekam pada pukul 5:07:49 dengan nilai kecerlangan langit 20,5 magnitudo. Dengan demikian, rentang datanya hanya 0,7 magnitudo. Padahal, noise (gangguan) yang terekam pada data sendiri berkisar antar 0,4-0,5 magnitudo. Data seperti ini adalah data yang cacat. Perubahan trend kehadiran fajar pasti sukar terdeteksi karena pola systematic trend dengan perubahan stokastik data yang terekam masih sukar dibedakan.
  • Anehnya, BHR Kemenag kemudian memplot data ini seperti pada Lampiran-1 dengan skala sumbu vertikal (kecerlangan langit) yang terlalu dizoom sehingga plot data tersebut kelihatan melengkung. Di plot data yang menyesatkan inilah Prof. Thomas menetapkan titik kehadiran fajar terjadi pada dip -19,5 derajat, mendekati dip -20 derajat resmi.
  • Cara seprti ini sangat manipulatif karena datanya cacat, cara penentuan titik fajarnya bias, terlalu subyektif, dan terkesan dicocok-cocokan. Seharusnya, pengambilan data SQM dilanjutkan sampai sekitar Matahari terbit yang nilai magnitudonya sekitar 6. Plot data dengan menggunakan nilai terendah kecerlangan langit 6 magnitudo ada pada Lampiran-2[2]. Tampak di sini, pada dip -20 derajat (pukul 4:46:34), plot data SQM milik BHR Kemenag sebetulnya masih mendatar yang berarti belum menampakkan tanda kehadiran fajar. Tanda kehadiran fajar baru mulai kelihatan pada sekitar pukul 4:55:25 atau pada dip -17.1 derajat. Itupun masih tetap diragukan karena penurunan seperti ini masih sering diikuti oleh trend kenaikan kembali. Untuk kami, data seperti ini seharusnya tidak digunakan karena meragukan. Lebih baik dilakukan pengamatan ulang.

Isu di atas telah menjadi topik perdebatan yang sengit di media sosial, dan di WAG milik ADFI (Asosiasi Dosen Falak Indonesia). Prof. Thomas tetap bersikukuh bahwa pengambilan data sampai Matahari terbit tidak diperlukan karena titik kehadiran fajar telah dapat disimpulkan.

Sebaliknya saya berpendapat, pengambilan data sampai Matahari terbit itu penting. Bukan saja ini akan mempermudah proses pengambilan keputusan para ahli yang menetapkan titik kehadiran fajar, tapi agar ummat juga dapat menyaksikan titik penurunan itu secara gamblang.

Sebagai peneliti, kita hanyalah pelayan bagi ummat, maka, kita harus melakukan ini secara transparan bagi ummat yang umumnya tidak memahami problem teknis. Mungkin, BHR Kemenag telah menggunakan anggaran APBN ratusan juta rupiah untuk memberangkatkan 20 ahli di atas. Melanjutkan pengukuran data SQM sampai waktu Matahari terbit, biayanya pasti sangat tidak ada artinya. Mengapa tidak dilakukan? Dana riset ISRN mungkin hanya sepersepuluh biaya BHR Kemenag ke Labuanbajo. Tapi, kami telah mengkoleksi dan memproses ratusan data.

Anehnya, Prof. Thomas juga bersikukuh bahwa satu temuan di atas telah menggugurkan hasil penelitian ISRN. Ini pun sangat aneh. Ibaratnya, kemenangan PEMILU di satu kabupaten akan digunakan untuk mengklaim kemenangan nasional. Padahal telah terjadi manipulasi data di kabupaten tersebut. Saya menangkap ada hal yang ditutup-tutupi, di samping upaya memaksakan kehendak menggunakan kekuasaan birokrasi.

[1] https://www.saksono.org/2018/08/korelasi-antara-polusi-dengan-kehadiran.html

Lampiran 1

Lampiran 2

lampiran 2

Penulis:

Prof. Dr. Tono Saksono (tonosaksono@uhamka.ac.id)                                                   Ketua, the Islamic Science Research Network (ISRN) UHAMKA, Jakarta

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!