JAKARTA, MENARA62.COM – Salah satu prioritas pembangunan Indonesia adalah meningkatkan mutu pendidikan. Sebab dengan pendidikan bermutu maka harkat dan martabat bangsa di tengah percaturan dunia bisa meningkat.
Tetapi ditengah perkembangan dunia yang ditandai dengan akselerasi iptek seperti IR 4.0 dan Society 5.0, dunia pendidikan menghadapi tantangan yang sangat kompleks. Karena itu Indonesia perlu segera menyesuaikan diri. Pendidikan harus mampu melahirkan manusia-manusia pembelajar kreatif yang mampu mengarungi kehidupan sesuai dengan zamannya.
“Tetapi tentu tidak mudah untuk mewujudkan pendidikan yang mampu mengembangkan manusia pembelajar kreatif,” kata Prof. Gunawan Suryoputro, Rektor Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA) di sela Focus Group Discussion Mengukuhkan Kebangsaan yang Berperadaban: Menuju Cita-Cita Nasional dengan Paradigma Pancasila dengan topik Pendidkan Mewujudkan Manusia Kreatif yang digelar Aliansi Kebangsaan, Jumat (17/5).
Beberapa masalah yang dijumpai antara lain kadar mentalitas dan spiritualitas bangsa. Dimana saat ini mentalitas bangsa Indonesia sebagian besar cenderung konsumtif dibanding produktif. Mentalitas seperti ini mencengkeram kuat masyarakat Indonesia sehingga mereka memilih menjadi user dan consumer saja.
BACA JUGA:
- Wapres: Pembangunan Pendidikan Harus Berbasis Masa Depan
- Keberhasilan Pembangunan Pendidikan, Indikator Kemajuan Bangsa
“Disisi lain tingkat spiritualitas hanya sebatas mengamalkan nilai-nilai agama tekstual saja, kurang menggunakan nalar jernih dan pengalaman berkaitan dengan alam, social dan humanitas,” lanjut Gunawan yang juga sekretaris Forum Rektor Indonesia (FRI) tahun 2017.
Padahal dalam Islam manusia seyogyanya menggunakan metode spiritual bayani, buhani dan ifrani dalam kehidupannya sebagai upaya menjadi pembelajar kreatif.
Menurut Gunawan, ada beberapa tantangan untuk mewujudkan pendidikan yang mengembangkan manusia menjadi pembelajar kreatif yang kini dihadapi bangsa Indonesia. Pertama dari lingkungan keluarga. Dimana lingkungan keluarga yang kurang demokratis bisa menghambat perkembangan kreativitas anak.
“Kita banyak membaca di media-media bagaimana orangtua di Indonesia cenderung menerapkan pola keinginan ‘manut’ pada pola pengasuhan anak,” tukasnya.
Kedua, faktor lingkungan sekolah. Anak menghadapi suasana pembelajaran yang monoton dan jauh dari suasana menyenangkan. Sebab metode pembelajaran yang dikembangkan oleh guru masih banyak terfokus pada teacher center learning dari pada student center learning.
Ketiga adalah dominasi birokrasi pendidikan dalam membuat kebijakan, salah satunya banyaknya aturan yang dibuat dalam penyelenggaraan pendidikan yang berkesan mengurangi otonomi guru. Pada giirannya kebijakan ini mengurangi kreativitas guru dalam memberikan bimbingan kepada siswa.
Hal lain lanjut Gunawan adalah belum optimalnya implementasi UU no 20 tahun 2003. Dalam UU tersebut jelas disebutkan bahwa pendidikan itu mencakup pendidikan formal, informal dan keluarga. Sayangnya pendidikan informal masih dimaknai sebatas pelatihan atau kursus saja. Pendidikan informal tidak diterjemahkan sebagai pendidikan masyarakat pembelajar.
Pun pada pendidikan keluarga, hingga saat ini belum ada best practice yang dapat digunakan sebagai contoh pendidikan keluarga.
“Jadi kalau kita mau mengangkat kembali system pendidikan nasional yang membanggakan yang mampu melahirkan manusia-manusia pembelajar kreatif, maka persoalan-persoalan tersebut harus seera diselesaikan,” jelas Gunawan.
Ia mengakui untuk menyelesaikan persoalan pendidikan di Indonesia yang sedemikian kompleks memang tidak mudah. Terutama hal-hal yang disebabkan oleh masalah eksternal yakni bagaimana mengendalikan akselerasi percepatan Iptek.
Tetapi upaya-upaya tersebut tentu harus tetap dimulai. Seperti memberikan otonomi mendidik pada guru, menguatkan kebijakan pendidikan informal dan keluarga, mengembangkan kemampuan belajar mandiri pada pembelajar serta mengembangkan kurikulum melek seni dan budaya.
Sementara itu Prof Arief Rahman, Ketua Harian Komnas Indonesia untuk UNESCO mengingatkan pentingnya penanaman karakter dalam pendidikan. Sebab banyak orang yang kreatif tetapi karena tidak berkarakter, sehingga kreativitasnya digunakan untuk hal-hal yang tidak benar.
“Orang-orang yang tertangkap KPK itu adalah orang-orang kreatif. Tetapi kreatif dalam hal yang tidak baik, misal untuk korupsi, untuk berbohong, mengelabuhi orang lain,” jelas Arif.
Ia juga mengkritik suasana pendidikan yang ada di sekolah-sekolah. Saat ini pendidikan kita lebih dikerucutkan kepada upaya-upaya agar siswa bisa lulus ujian nasional dengan nilai memuaskan. Akibatnya pendidikan karakter menjadi terabaikan.
Ia menilai bahwa proses pembelajaran paling hidup adalah di level Taman Kanak-Kanak. Semakin meningkat level pendidikan, semakin kurang hidup. Level SMA dan Perguruan Tinggi malah hanya menyerap pengetahuan saja tetapi tidak dengan karakternya.
Disinilah peranan dan kompetensi guru amat diperlukan. Guru harus mampu mengembangkan kompetensi-kompetensi dasar seperti kemampuan manajemen diri, berwawasan global, keinginan berprestasi, ketrampilan manajerial dan lainnya. Guru juga harus mengembangkan ketakwaan, keterbukaan, setiakawan, integritas, toleransi, sportif dan sebagainya. Bukan sebaliknya malah focus pada besaran gaji, panjangnya titel dan banyaknya relasi.
Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo dalam sambutannya mengatakan bahwa pendidikan yang diperlukan untuk memenuhi tantangan zaman berlandaskan paradigm Pancasila adalah pendidikan yang mampu mengembangkan manusia pembelajar seumur hidup yang berkarakter, kreatif, dengan penguasaan (tata kelola) dan kepemimpinan dalam rangka mengupayakan kebaikan hidup bersama.
“Dan untuk itu proses pendidikan harus mampu mengembangkan kreativitas berbasis keragaman kecerdasan insani dengan panduan kompas nilai yang dapat menjaga keselarasan keistimewaan pribadi dengan tertib kosmos, dan harmoni dunia,” kata Pontjo.
Ia mengingatkan bahwa pendidikan menjadi bagian penting dalam membangun ketahanan nasional sebuah bangsa. Dimana ketahanan nasional sebagai daya sintas suatu bangsa pada dasarnya ditentukan oleh daya (kualitas), budaya dan peradaban yang tercermin dari kondisi-kondisi yang berlangsung pada tiga ranah utama kehidupan manusia yakni ranah mental spiritual, ranah institusional-political, dan ranah material teknological. Ketiga ranah tersebut bisa disebut dal satu tarikan nafas sebagai ranah peradaban.
Menurut Pontjo, agen utama untuk membangun aspek mental spiritual adalah rezim pendidikan-pengetahuan, agen utama membangun aspek institusional political adalah rezim politik-kebijakan. Sedang agen utama membangun aspek material teknological adalah rezim ekonomi produksi.