JAKARTA, MENARA62.COM – Pengamat Maritim Siswanto Rusdi menilai ada mis leading terkait isu mafia pelabuhan yang sekarang mengemuka. Menurut dia, kasus mafia pelabuhan lebih banyak terjadi di luar bukan di dalam pelabuhan.
Pernyataan itu disampaikan Siswanto saat menjadi narasumber uji kompetensi wartawan di Auditorium Mr Kasman Singodimedjo, Fakultas Ilmu Sosial Politik (FISIP), Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Jakarta, Sabtu (18/18).
Siswanto menjelaskan, pascamerger, Pelindo dikepung tentang isu mafia pelabuhan. Kemenko Kemaritiman dan Investasi RI, ketua KPK Firli Bahuri bahkan jaksa agung sudah menurunkan tim intel.
Masalahnya, ada miss leading terkait dengan kata pelabuhan. “Padahal berkali kali sudah terbukti, korupsi itu sudah berkali kali terbukti terjadi di luar pelabuhan. Mafia itu adanya di luar pelabuhan. Kalau di dalam pelabuhan sudah mengalami perubahan,” lanjut Siswanto kepada wartawan.
Menurutnya, di pelabuhan biaya tidak efisen itu hanya 1% sampai 2%. Efisiensi itu justru perlu dilakukan di luar pelabuhan. Karena itu, ketika menyebut mafia pelabuhan harus diarahkan pada di luar pelabuhan. Dimana, variable biaya seperti sewa peti kemas, pengangkutan peti kemas ke pabrik, kemudian sewa truk, memunculkan efek domino mendongkrak biaya pelabuhan mencapai 23% sampai 24% PDB (Pendapatan Domestik Bruto).
Seperti diberitakan, merger Pelindo secara resmi telah terlaksana, dengan ditandatanganinya Akta Penggabungan empat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Layanan Jasa Pelabuhan, yaitu Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pelabuhan Indonesia I, Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pelabuhan Indonesia III, dan Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pelabuhan Indonesia IV, melebur kedalam Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pelabuhan Indonesia II yang menjadi surviving entity.
Masalahnya, lanjut Siswanto, Pelindo tidak bisa menjangkau ke sana karena itu ranah bisnis depo peti kemas. Pengaturan makin sulit karena dalam bisnis depo peti kemas melibatkan banyak elemen, mulai Kementrian Perdagangan, Bea Cukai atau pelaku bisnis atau swasta.
Meski, tata kelola pelabuhan di bawah kementrian perhubungan banyak regulasi mulai menteri, dirjen, bahkan otoritas dalam pelabuhan pun mengeluarkan regulasi. Tapi, semua itu terjadi di luar pelabuhan yang tidak bisa dikontrol pemerintah. “Semua regulasi hanya mengatur Pelindo tidak ada yang mengatur depo peti kemas yang tetanggaan dengan Pelindo. Akibatnya, BUMN dicekik regulasi,” tegas pria yang juga direktur nasional maritim institute tersebut.
Sebetulnya katanya, pemerintah bisa masuk, tapi pemerintah segan dengan asosiasi ini, karena tak sedikit pengurus puncak temennya menteri, teman pejabat. “Menteri investasi temannya ketua ALFI (Ketua Umum DPP Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Yukki Nugrahawan Hanaf, kan ga mungkin melarang Yukki, kan ga bisa karena teman. Asosiasi itu seperti itu. Mau diatur bagaimana karena itu bukan kewenangan pemerintah,” tutupnya.