JAKARTA, MENARA62.COM – Pasien kanker maupun keluarganya memerlukan pendampingan psikolog yang intensif dalam menjalani proses perawatan medis. Sayangnya tidak banyak klinik atau rumah sakit yang menyediakan layanan psikologis pada layanan komprehensif pengobatan kanker.
“Proses pengobatan kanker masih fokus pada penanganan medis seperti operasi, radioterapi, kemoterapi dan lainnya. Padahal kondisi psikologis pasien kanker dan keluarganya juga merupakan sisi yang harus disentuh dalam layanan pengobatan kanker,” kata Cecilia Sagita, M. Psi., Psikolog, anggota tim psikolog di Klinik Hayandra pada temu media bertema “Pendampingan Psikolog dan Penanganan Nyeri pada Penderita Kanker dengan Terapi Sel” yang digelar Klinik Hayandra, Kamis (5/3/2020).
Diakui Cecilia, banyak pasien merasa divonis mengenai akhir hidupnya, saat didiagnosis mengidap kanker. Vonis tersebut membuat pasien kanker mengalami gangguan psikologis antara lain kecemasan, ketakutan menjalani pemeriksaan, depresi, hingga kematian. Karena itu, selain pengobatan secara medik, pasien perlu juga diberikan intervensi yang tepat dari sisi psikologisnya.
Baca Juga: Kolaborasi Riset Hayandra untuk Teknologi Terkini
Terlebih saat mereka mulai menjalani proses pengobatannya yang tidak hanya memakan biaya dan waktu tetapi juga efek samping pengobatan yang menyakitkan. Kondisi tersebut berpotensi besar menimbulkan rasa frustasi, sedih, depresi, putus asa pada pasien dan keluarganya. Pada akhirnya bagi diri pasien itu sendiri, perasaan depresi dapat mempengaruhi daya imunitas tubuhnya dalam melawan sel kanker.
Karena itu, layanan pengobatan kanker di Klinik Hayandra, lanjut Cecilia dilengkapi dengan pendampingan seorang psikolog. Pendekatan bio-psiko-sosial menjadi dasar untuk melihat manusia secara utuh (holistik) dalam proses membantu penyintas kanker untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
“Oleh karena itu diperlukan konseling dan psikoterapi sebagai langkah intervensi bagi pasien kanker untuk memberikan ketenangan dan membantunya menjalani perawatan medis dengan semangat positif,” lanjutnya.
Dalam pengobatan kanker, keluarga juga perlu mengambil peran penting untuk memberi dukungan dan perawatan pada pasien kanker. Kendati demikian, menurut Cecilia, sifat keluarga yang protektif justru dapat membuat tekanan pada kondisi pasien. Kerap kali keluarga justru bertindak sebagai ‘pengawas’ yang membatasi keinginan dan perilaku pasien yang dapat menjadi pemicu konflik antara pasien dan keluarganya.
Baca Juga: Terapi Terbaru Regenerasi Sel dan Penguatan Imun Klinik Hayandra
“Adakalanya keluarga menjadi sangat protektif seperti membatasi kegiatan pasien, membatasi makan, membatasi kumpul dengan komunitas dan lainnya. Pembatasan yang berlebihan justru mendorong pasien mengalami tekanan batin,” tukasnya.
Kondisi stress dan tertekan akibat tindakan yang terlalu protektif dari keluarga tersebut, dampak berdampak menurunnya sel imun. Akibatnya sel kanker menjadi lebih aktif.
Dalam situasi seperti ini psikolog dapat memberikan psikoedukasi dan konseling kepada anggota keluarga sehingga tercipta suasana kondusif dan nyaman untuk pasien yang berdampak positif pada kondisi medisnya.
Nyeri keluhan paling berat
Dari sekian banyak faktor pemicu frustasi atau depresi pasien kanker, menurut Dr. I Putu Willy Adi Satria, SpAn, FIPM, Kepala Tim Penanganan Nyeri pada Klinik Hayandra, adalah rasa nyeri yang dialami pasien kanker, baik untuk pasien yang sedang menjalani terapi maupun pada pasien paliatif pada kanker stadium lanjut.
Untuk mengurangi rasa nyeri ini, umumnya dokter menggunakan obat-obatan penghilang nyeri dengan dosis tertentu. Namun seiring kemajuan dibidang medis, saat ini dimungkinkan penanganan nyeri pada penderita kanker menggunakan terapi-terapi lain yang lebih canggih. Tujuannya untuk melakukan blok ataupun ablasi saraf yang membawa rasa nyeri.
Diakui Dr Willy, penanganan nyeri pada pasien kanker tidak mudah untuk dilakukan. Penyebabnya, banyak pasien yang enggan untuk mendeskripsikan keluhan, pasien ketakutan akan nyeri namun tidak tahu kemana mencari pertolongan, pasien takut efek samping terapi dan kurangnya pengetahuan tentang obat-obatan opioid pada pasien kanker.
Baca Juga: Tak Ada Kata Sembuh untuk Kanker
Sedang dari sisi medis antara lain adanya kegagalan untuk memproses keluhan pasien secara adekuat, keengganan untuk memberikan dan memonitor dosis obat nyeri yang adekuat dan kurangnya pemberian edukasi pada pasien dan keluarga.
Dr. Willy menambahkan nyeri kanker atau cancer pain, bila diatasi dengan baik akan meningkatkan kualitas hidup penderita.
“Itulah sebabnya sangatlah penting untuk melibatkan tim penanganan nyeri dalam terapi komprehensif bagi penderita kanker,” katanya.
ICT dapat mengurangi rasa nyeri
Selain menggunakan obat-obatan termasuk narkotika maupun penggunaan alat-alat canggih seperti radiofrequency, rasa nyeri pada kanker bisa diatasi dengan terapi-terapi lain, diantaranya adalah Immune Cell Therapy (ICT). Terapi pendukung pada kanker yang memanfaatkan darah pasien sendiri yang didapat dari hasil pengaktifan dan perbanyakan sel T, sel Natural Killer (NK), dan sel NKT dalam proses selama 2 minggu, ternyata juga mampu mengurangi rasa nyeri yang dialami pasien.
“ICT yang mengandung sel T, sel NK, dan sel NKT, tidak hanya secara alamiah bertugas sebagai pembunuh kanker, namun juga berguna dalam mengurangi nyeri akibat kanker,” kata Dr. dr. Karina, SpBP-RE, doktor bidang biomedik yang juga merupakan ketua Klinik Hayandra.
Dari banyak penelitian di dunia, hal ini diduga merupakan efek penekanan radang secara menyeluruh, serta dikeluarkannya zat-zat yang dinamakan sitokin dan peptida opioid endogen, oleh sel-sel imun yang terkandung dalam ICT. Zat-zat tersebut merupakan sejenis morfin alami dari tubuh.
Diakui Dr Karina, penanganan pengobatan kanker harus dilakukan secara komprehensif atau menyeluruh, tidak sekedar penanganan medis.
“Untuk penyakit berat seperti kanker, kita harus melihatnya dari segala sudut, supaya nyaman bagi pasien. Sehingga penanganannya juga harus komprehensif, menyeluruh,” kata Dr Karina.
Menurut data dari riset kesehatan dasar (Riskesdas) Indonesia, prevalensi kanker dan tumor di Indonesia mengalami peningkatan dari 1,4 per 1000 penduduk pada tahun 2013 menjadi 1,79 per 1000 penduduk di tahun 2018. WHO memprediksikan jumlah kematian akibat kanker di seluruh dunia meningkat menjadi lebih dari 13,1 juta manusia per tahun pada 2030.