Oleh: Yuliani Winarti., M.PH.,*
Situasi bencana dapat menimbulkan perubahan perilaku baik pada orang tua maupun anak, di mana perubahan perilaku ini merupakan reaksi-reaksi yang muncul karena adanya tekanan psikologis dari dalam diri orang tua maupun anak. Tekanan-tekanan psikologis secara alami menyebabkan jaringan otak bekerja dalam kondisi waspada, yakni kondisi yang bersiap untuk fight, flight ataupun freeze (menghadapi situasi yang buruk, melarikan diri, atau berdiam diri).
Kondisi waspada yang berlangsung secara terus menerus di dalam diri individu meskipun sudah melewati peristiwa traumatisnya atau berada dalam situasi bencana dapat menimbulkan perilaku-perilaku yang tidak adaptif (tidak tepat), seperti perilaku agresif (cepat marah, cepat tersinggung), perilaku depresif (menarik diri, tidak mau melakukan apa-apa, ketakutan yang berlebihan dan terlalu bergantung kepada orang lain).
Orang tua perlu memahami bahwa kondisi-kondisi tersebut adalah hal yang wajar terjadi dan dengan penanganan yang tepat, perilaku-perilaku yang tidak adaptif (tidak tepat) dapat berproses kembali menjadi perilaku yang lebih baik. Berbagai penanganan yang dilakukan untuk memulihkan kondisi psikologis anak bertujuan untuk mengembalikan kinerja jaringan otak dalam kondisi wajar (tidak tegang).
Meningkatkan pemahaman orang tua mengenai reaksi anak pasca bencana dan cara tepat yang dapat dilakukan oleh orang tua untuk menolong anak mereka untuk pulih adalah langkah dukungan psikosial yang baik. Kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan orang tua dapat dilakukan melalui psikoedukasi.
Dengan sumber utama buku panduan dukungan psikososial bagi anak korban bencana alam yang dikeluarkan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, dapat kita tempuh beberapa cara yang dapat dilakukan orang tua atau pengasuh utama untuk membantu anak pulih pasca bencana:
1. Bicara pada anak dengan menggunakan bahasa yang mereka bisa pahami.
Menjelaskan pada anak apa yang telah terjadi, apa yang sedang terjadi, dan apa yang akan terjadi dengan menggunakan bahasa yang bisa mereka pahami.
2. Mendengarkan apa yang dipikirkan oleh anak.
Mencoba untuk memahami bagaimana cara anak berpikir dan bagaimana anak menjelaskan apa yang telah terjadi. Dengarkan dan jawab pertanyaan mereka dengan jujur. Orang tua hanya perlu untuk menjawab apa yang menjadi keingintahuan anak tanpa perlu menambahkan informasi lain yang tidak ditanyakan.
3. Mendengarkan apa yang dirasakan oleh anak.
Tetap mendengarkan dan menenangkan anak yang takut. Mencoba untuk tidak meminimalisir atau mengabaikan perasaan anak serta beri kesempatan anak untuk mengekspresikan rasa duka mereka atas kehilangan, kerusakan, dan penderitaan mereka setelah bencana.
4. Mendorong anak untuk berbicara.
Menyediakan situasi dimana anak bisa bebas mengekspresikan apa yang mereka rasakan. Kegiatan ini dapat melibatkan keluarga, teman, atau anak lain untuk mendiskusikan hal ini. Anak juga bisa diajak menggambar peristiwa saat bencana terjadi. Beri kesempatan pada anak menceritakan gambar yang mereka buat.
5. Rutinitas dan menormalisasi kehidupan anak.
Kembali ke rutinitas secepatnya sebisa mungkin. Hal ini menandakan kepada anak bahwa orang tua melakukan tindakan pada situasi yang ada dengan cara yang adaptif /kompeten. Kembali beraktivitas seperti biasa membantu menyediakan rasa aman bagi anak.
6. Mengelola informasi dan gambar-gambar yang berhubungan dengan bencana yang diterima oleh anak. Batasi akses anak untuk terpapar pada gambar-gambar yang berkaitan dengan bencana, seperti berita di televisi, koran, kekerasan, cedera, dan kematian. Hindari situasi dan hal-hal yang dapat memicu kembali ketakutan anak.
Kondisi bencana di masa pandemi covid-19 tentunya lebih berat dibandingkan kondisi pasca bencana sebelumnya, hal ini menjadikan para relawan, orang tua, masyarakat dan pihak terkait memiliki ruang gerak terbatas dalam menangani dan mendampingi pengungsi. Hal ini dapat menjadikan dampak 2 kali lebih berat dari menghadapi bencana jika tidak ada pandemi covid-19, risiko melakukan hal-hal yang mal adaptif lebih besar akan dialami oleh anak jika orang tua tidak segera berperan aktif dalam mendampingi dan membantu anak pulih dan siap menghadapi kondisi saat ini.
Orangtua dapat membantu anak kembali pada kondisi psikologis yang adaptif dengan perlakuan sesuai dengan usia mereka.
Pada bayi dapat dilakukan dengan; menjaga mereka untuk tetap hangat dan aman, menjauhkan mereka dari kebisingan dan kekacauan, memberikan pelukan, memberi makan secara teratur dan waktu tidur yang terjadwal, jika memungkinkan dan berbicara dengan suara yang tenang dan lembut.
Pada usia prasekolah dapat dilakukan dengan; memberikan mereka waktu dan perhatian lebih, mengingatkan terus bahwa mereka aman, menjelaskan pada mereka bahwa mereka tidak dipersalahkan untuk hal buruk yang terjadi. Berikutnya adalah menghindari memisahkan antara anak dengan orang tua, kakak-adik, dan orang dikasihi. Tetap beraktivitas rutin sebisa mungkin dan memberikan jawaban sederhana mengenai apa yang terjadi tanpa detail-detail informasi yang mengerikan atau menakutkan. Mengizinkan mereka untuk tetap dekat dengan pengasuh utama jika mereka merasa takut. Tetap sabar pada anak yang menampilkan perilaku ketika mereka masih lebih muda, seperti mengisap jari atau mengompol dan menyediakan kesempatan untuk bermain dan bersantai.
Pada usia sekolah dan Remaja ; memberikan mereka waktu dan perhatian yang lebih. Membantu mereka untuk tetap berkegiatan secara rutin. menyediakan fakta-fakta mengenai apa yang terjadi dan menjelaskan apa yang terjadi sekarang. Mengizinkan mereka untuk bersedih dan jangan berharap mereka untuk selalu kuat atau tegar. Mendengarkan pikiran dan ketakutan mereka tanpa menghakimi. Membuat aturan dan harapan yang jelas terutama dalam situasi dan kondisi yang berubah secara drastis akibat bencana.
Bertanya mengenai bahaya yang mereka hadapi, beri dukungan dan diskusikan bagaimana cara terbaik untuk menghindari bahaya. Mendorong dan memberi kesempatan bagi mereka untuk lebih membantu atau berguna bagi orang lain.
Memberikan kesempatan pada mereka untuk mendengar apa yang orang tua rasakan dan pikirkan (berbagi kesedihan dan lain-lain). Serta terpenting meyakinkan kepada mereka bahwa keluarga (anak-orang tua) akan melalui masa sulit ini bersama-sama.
*Penulis adalah Dosen Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur