27.9 C
Jakarta

Perempuan Afrika dan Kebaikan Hati Pendeta

Baca Juga:

Bayangkanlah jika suatu saat, kita harus pindah dari rumah kost ketika sudah tidak punya uang lagi buat bayar sewanya. Sedih dan galau rasanya. Beginilah hidup. Kadang senang, ada kalanya bahagia. Pada saat tertentu kita mengalami masa-masa yang indah. Sebaliknya, kita tidak bisa mengelak dari berbagai permasalahan hidup.

Seorang ibu, seorang ayah, sentiasa berusaha untuk meningkatkan kualitas diri, kesejahteraan keluarga, menjamin masa depan anak-anak dan keluarga, adalah bagian dari perjuangan. Dan perjuangan itu, tidak pernah lepas dari adanya pengorbanan atas berbagai hal. Pengorbanan yang tak diduga, yang tak disangka, yang tidak bisa dihindari.

Ada kalanya kita sudah berusaha untuk memperbaiki kehidupan, dengan sekuat dan segala daya upaya. Tidak semua usaha itu mulus tanpa kendala. Semua orang pasti pernah mengalami pahit getirnya kehidupan. Dimana pun ia berada. Baik di kampung halaman sendiri, apalagi di kampung halaman orang lain, bahkan di luar negeri. Tak ada sanak saudara, tak ada tempat bernaung.

Titipan dari Perempuan Afrika
Titipan dari Perempuan Afrika.

Masih ingat dengan tulisan saya beberapa hari lalu tentang susu formula untuk bayi Afrika? Seorang ibu kesulitan mendapat susu untuk bayinya. Nyonyaku membawakan susu kepadanya dari seorang dermawan yang tidak mau disebut namanya.

Beberapa hari lalu, sang ibu yang sedang belajar di UoW ini dengan biaya sendiri, berkomunikasi dengan nyonyaku. Mereka berteman hanya secara kebetulan saja. Entah bagaimana ceritanya, dia kehabisan biaya hidup di sini. Suaminya yang selama ini membiayainya dari pedalaman Afrika, juga sedang mengalami kesulitan keuangan. Si ibu ini harus meninggalkan tempat kostnya terhitung hari ini. Di sini, biaya kost harus dibayar per minggu. Untuk kost yang sederhana, sekitar Rp 2,5 – Rp 3 Juta per minggu.

Untuk sementara si ibu dan bayinya ini akan tinggal di rumah temannya. Setelah itu pindah ke rumah temannya lagi. Dan seterusnya, dia juga tidak tahu sampai kapan. Yang menjadi masalah adalah barang-barangnya, pakaian, kasur, ranjang bayi, dan lainnya, yang selama ini dia pakai, mau disimpan dimana? Jumlahnya memang tidak banyak. Tapi tak mungkin dibawa tiap kali pindah dari rumah yang satu ke rumah lainnya setiap saat.

Tanpa harus minta izin ke saya, nyonyaku menawarkan diri, agar seluruh barangnya dapat disimpan di rumah. Tentu si ibu ini gembira. Selain menenangkan hatinya, juga telah dapat menemukan salah satu solusi dari masalahnya.

Sore ini satu mobil pick-up kecil parkir di belakang rumah. Kami tinggal di lantai tiga. Sang sopir menelepon nyonyaku bahwa barang telah tiba di bawah. Kami turun mengangkat satu per satu ke lantai tiga. Seorang lelaki mahasiswa PhD dari Fiji, tinggal satu flats dengan kami, menawarkan diri ikut mengangkat ke atas. Saya sampai tiga kali naik turun angkat barang.

Soal titip-menitip barang seperti ini, pernah saya lakukan. Dulu di Malaysia, awal kuliah di UKM tahun 2011, sebelum dapat kamar tetap, saya titip barang di rumah Pak Yasser dosen UNM. Pernah juga pernah titip di rumah Kahang Umar Hutagalung, dosen Universitas Pancasila Jakarta. Terakhir saya pernah titip barang di rumah ibu Haerani Arham, guru MAN Daya, di Taman Tenaga Kajang Selangor Darul Ehsan, sekitar tahun 2015, ketika saya sudah submit tesis. Senang rasanya ada teman yang bersedia secara suka rela dititipi barang.

Saat artikel ini saya tulis, si ibu dan bayinya baru tiba di rumah. Dia datang mau menyusun barangnya di kamar putraku, juga sekalian mengambil barang yang dia butuhkan sebelum pergi ke rumah temannya. Si ibu besar sekali, mungkin dua kali lipat dari saya, tinggi dan gemuk. Kulitnya hitam, tak pakai jilbab karena dia non Muslim. Bayinya juga hitam tapi kurus. Nyonyaku sempat menggendong dari lantai bawah tadi. Saya baru saja dapat kabar bahwa di ibu ini adalah alumni master di UTM Johor Baharu, Malaysia, beberapa tahun lalu sebelum mengambil PhD di sini.

Ternyata sopir mobil pick-up yang membawa barangnya tadi adalah seorang lelaki istimewa, baik hati dan ramah. Walaupun masih kelihatan muda, dia adalah seorang pendeta di sebuah gereja, tempat si ibu Afrika ini ikut sebagai jemaat. Ketika bertemu dengan nyonyaku, dia lihat memakai jilbab. Sang pendeta sempat heran sejenak dan berkata “kamu baik sekali”. Wallahu’alam.

Penulis: Haidir Fitra Siagian, Keiraville, Jumat (21/6/2019) jelang magrib.

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!