32.9 C
Jakarta

Polisi di Mata Kita, Sebuah Kado untuk HUT ke-74 POLRI

Baca Juga:

Oleh Ashari, S.I.P.*

Rabu 1 Juli 2020 kemarin, Polri merayakan ulang tahunnya. Disebut Hari Bhayangkara. Tahun ini ke-74. Sejarah penamaan Hari Bhayangkara sendiri berasal dari nama pasukan elite yang pernah dipimpin Mahapatih Gajah Mada pada zaman Kerajaan Majapahit di abad ke-14 Masehi.

Lalu tanggal 1 Juli 2020 ini diperingati sebagai Hari Bhayangkara oleh seluruh Kepolisian Republik Indonesia. Berbagai kegiatan digelar. Dari donor darah hingga pemberian gratis pembuatan SIM bagi warga negara yang lahir pada tanggal 1 Juli. Untuk Seluruh Warga Negara. Perintah itu, sesuai dengan instruksi dalam surat telegram rahasia (TR) Kapolri bernomor ST/1671/VI/YAN.1.1./2020 tanggal 12 Juni 2020. Surat TR Kapolri itu ditanda tangani langsung oleh Kakorlantas Irjen Pol Istiono.

Tulisan pendek ini hanya sebuah refleksi ringan, terhadap Polri. Pandangannya dari masyarakat. Mungkin tidak/belum bisa mewakili dari representasi masyarakat secara keseluruhan. Maksudnya, bisa jadi anda mempunyai pandanganlain. Silahkan. Sah-sah saja.

Begini. Pernahkan anda kena tilang? Karena menerabas lampu merah atau tidak membawa SIM/STNK? Atau pernahkah anda kecurian, tiba-tiba datang polisi membantu anda? Menemukan barang anda yang hilang. Ilustrasi tadi bisa saja pernah kita alami. Atau di siang bolong, kamar kos kita didatangi tamu tak diundang?  Bagaimana perasaan kita?. Sebagai bagian dari representasi masyarakat, saya memandang polisi di mata masyarakat ada tiga pendekatan.

Pertama- Biasa saja. Kita melihat profesi polisi seperti halnya profesi yang lain. Mereka bertugas sesuai dengan tugas dan fungsinya. Tidak lebih. Ketemu dengan pak polisi, ya biasa saja. Tidak ada tugas istimewa yang diembannya. Mereka bekerja mendapatkan gaji dari negara. Kalau mereka bekerja giat, masyarakat memandang karena itu sudah seharusnya dilakukan.

Masyarakat yang mempunyai pandangan seperti ini, menempatkan polisi sejajar dengan profesi lain ditengah-tengah masyarakat. Jika bertemu atau berpapasan di jalan, tidak ada keharusan untuk menaruh rasa hormat dan takut yang berlebihan. Mengapa? Karena posisinya sama.

Kedua – Polisi adalah Pahlawanku. Kelompok masyarakat yang mempunyai pandangan seperti ini, karena mereka selalu mengalami pengalaman baik dan menyenangkan. Bisa jadi sejak kecil. Sejak balita hingga dewasa.  Sehingga muncul frame bahwa polisi adalah sosok pahlawan yang siap membantu setiap kesulitan yang didera oleh masyarakat bawah. Figur polisi yang simpati dan kharismatik, semakin menambah daftar sanjungan terhadap polisi. Dan ini sah-sah saja.

Kelompok kedua ini, menempatkan polisi harus dihormati. Polisi berada dikasta atas dalam masyarakat. Maka tidak berlebihan kalau masyarakat selalu mengelu-elukan setiap kehadirannya. Dimanapun. Jika perlu setiap ada kegiatan, harus selalu menempatkan polisi pada garda depan untuk urusan keamanan. Tidak rela jika ada pemberitaaan yang menyudutkan anggota polisi. Bahkan jika perlu kita akan melakukan “proteck” terhadap polisi, ketika mereka ‘kesandung” masalah yang berkepanjangan, kita mencoba untuk bisa membantu. Mencoba melindungi. Karena Polisi adalah pahlawan bagiku. Sampai anak-anak kita pun, sedari awal sudah diarahkan (kadang sedikit dipaksa) untuk kelak menjadi anggota Polri, meski sesungguhnya anak-anak kita kurang tertarik.

Kelompok ketiga. Memandang Polisi adalah musuh yang nyata. Kelompok ini adalah mereka yang terbiasa melakukan kejahatan. Baik terencana, tidak sengaja atau samar-samar. Pencuri hingga para koruptor, memandang polisi adalah musuh mereka. Bahkan dalam dataran realitas, kelompok ini akan selalu menghindari berinteraksi dengan polisi. Baik ditingkat atas apalagi bawah yang rentan terhadap salah pahan.

Para koruptor, pengedar uang palsu, pencuri tidak ingin berhadapan dengan polisi. Bahkan  untuk jalan kaki sekalipun, kalau bisa menghindari. Mengapa, karena dianggapnya polisi adalah musuh yang nyata.Konon para tersangka teroris mengakui bahwa polisi juga menjadi target pertama untuk dihabiskan dalam aksinya.

Harapan itu

Pertama – Stabilitas Keamanan benar-benar menjadi prioritas utama. Mungkin kelihatannya klise, namun ini penting, sebab tanpa jaminan keamanan yang memadahi, Sleman tidak akan dapat membangun dengan maksimal. Sebab, aparat termasuk para birokrat, dewan dan rakyat hanya akan sibuk sendiri-sendiri bagaimana mengamankan diri, keluarga dan lingkungannya dari ancaman bahaya keamanan ini.

Contoh konkret adalah tekan serendah mungkin angka  pencurian dan tindak kriminal lainnya. Ketika kriminal dan pencurian sudah merambah sampai pelosok desa, hingga membuat warga menjadi gelisah dan tidak nyaman. Yang kalau tidak hati-hati akan menimbulkan bentrok massal. Chaos. Juga tidak kalah menarik misalnya buat event sepeda santai. Hadiahnya tidak usah terlalu mahal namun banyak. Masyarakat dapat dengan mudah berbaur dengan Pak Kapolres dan polisi yang lain.

Kedua. Membangun sinergi dengan media. Ini penting. Jangan sebaliknya polisi anti media. Kalau ada masalah kamtibmas, masyarakat dapat lapor lewat WA, Phone yang mudah diakses. Hingga polisi dengan cepat melakukan antisipasi kriminal. Di Yogya, terutama Sleman banyak radio dan koran (termasuk KR), mereka dapat digandeng untuk sesuatu yang positif. Win-win solution. Sekian

* Warga Masyarakat Sleman/Opini Pribadi

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!