24.2 C
Jakarta

Pontjo Ingatkan Pancasila Harus Tetap Menjadi Rujukan Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM – Para founding fathers (pendiri bangsa) sesungguhnya telah merancang sistem ketatanegaraan yang tepat bagi Indonesia sejak awal berdirinya negara ini. Sistem yang dipilih adalah sistem yang khas Indonesia, bukan sistem presidensial atau parlementer yang saat itu sudah berlaku secara universal. Sistem tersebut selanjutnya disebut sebagai ‘sistem sendiri’ dalam bangunan negara Pancasila.

Tetapi dalam perjalanan sejarah bangsa, sistem ketatanegaraan Indonesia terus mengalami perubahan dari generasi ke generasi mulai dari sistem demokrasi terpimpin, sistem Pancasila, sistem parlementer, orde lama, orde baru hingga era reformasi. Rekonstruksi dan konsolidasi sistem ketatanegaraan tersebut dilakukan dengan tujuan agar bangsa Indonesia tetap eksis menyesuaikan situasi dan perkembangan yang ada.

Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo mengatakan sebenarnya sejak awal kemerdekaan para pendiri bangsa telah berusaha membangun sistem ketatanegaraan yang diharapkan fit bagi ke-Indonesiaan kita.

“Namun faktanya sampai saat ini kita selalu menghadapi perdebatan bahkan seringkali mengalami kebuntuan politik dalam mencari format yang tepat tentang sistem ketatanegaraan yang sesuai dengan corak hidup, budaya dan kondisi obyektif bangsa,” kata Pontjo Sutowo pada Diskusi Publik Mengukuhkan Kebangsaan yang Berperadaban: Menuju Cita-Cita Nasional dengan Paradigma Pancasila, Jumat (28/8/2020). Diskusi yang dilaksanakan secara virtual tersebut mengambil topik Rekonstruksi Sistem Ketatanegaraan untuk Konsolidasi Demokrasi Indonesia.

Mengutip teori Barry Buzan dalam bukunya People, States and Fear (1983), menjelaskan bahwa the idea of the state atau ideology/falsafah/dasar dibentuknya suatu negara merupakan faktor sentral yang harus menjadi rujukan utama dalam pemilihan sistem ketatanegaraan sebuah bangsa. Dikatakan faktor sentral karena berfungsi memberikan arah/petunjuk/pola dasar bagi pembentukan institusi-institusi pemerintahan negara atau sistem pemerintahan negara.

Merujuk teori tersebut, jelas Pontjo, dalam konteks Indonesia, maka yang dimaksud dengan the idea of the state sebagai faktor sentral dalam pengembangan sistem pemerintahan negara adalah Pancasila. Dengan demikian, sistem ketatanegaraan Indonesia yang hendak dibangun dan dikembangkan tentu tidak bisa dipisahkan dari Pancasila sebagai ideologi atau jalan hidup berbangsa dan bernegara yang secara yuridis-konstitusional sudah diterima dan ditetapkan pada 18 Agustus 1945 sebagai filsafat dan ideologi negara.

“Karena itu nilai-nilai Pancasila haruslah menjadi paradigma dalam merancang tata kelola negara atau sistem ketatanegaraan Indonesia,” tegas Pontjo.

Berdasarkan paradigma Pancasila, lanjut Pontjo, pengembangan ranah institusi sosial politik (tata kelola negara) diarahkan untuk memungkinkan perwujudan bangsa yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur dengan nilai utamanya berlandaskan sila keempat. Bahwa tatanan sosial politik hendaknya dibangun melalui mekanisme demokrasi yang bercita kerakyatan, cita permusyawaratan dan cita hikmat kebijaksanaan dalam suatu rancang bangun institusi-institusi kenegaraan yng dapat memperkuat persatuan  (negara persatuan) dan keadilan sosial (negara kesejahteraan).

Hal-hal tersebut termanifestasi dalam kehadiran pemerintah negara yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian dan keadilan.

Untuk meralisasikan cita-cita tersebut, jelas Pontjo, tentu model dan sistem kelembagaan tata kelola negara tidak bisa dipungut sembarangan dari pengalaman negara-negara lain. Tetapi kita harus menyuling dari pengalaman kesejarahan dan budaya bangsa sendiri. Hal ini diperkuat dengan pendapat Clayton M Christenson (2019) yang dikutip Yudi Latif dalam bukunya berjudul Wawasan Pancasila (2020). Bahwa institusi sosial itu merefleksikan nilai masyarakat yang bersangkutan. Karenanya, membangun institusi yang kuat tidaklah sesederhana ‘mengekspor’ apa yang bisa berjalan di suatu tempat ke tempat lain.

Sementara itu Wakil Ketua Forum Rektor Indonesia Nasrullah Yusuf mengatakan bahwa dinamika ketatanegaraan bangsa, dialami tidak hanya oleh Indonesia. Tetapi semua negara di dunia baik yang sudah mapan atau belum mapan, membicarakan apakah tata negara yang dianutnya sudah baik atau belum, sudah stabil atau belum. Termasuk Amerika Serikat, sebuah negara dengan sistem politiknya  yang sudah relatif stabil ratusan tahun, tetap terbuka untuk membicarakan ketatanegaraannya.

“Rekonstruksi sistem ketatanegaraan terus berlangsung hingga sekarang. Bahkan lahirnya era reformasi adalah bagian dari dinamika sistem ketatanegaraan Indonesia,” katanya.

Nasrullah mengingatkan bahwa rekonstruksi sistem ketatanegaraan harus tetap dikawal agar tidak menyimpang dari empat pilar yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Kebihinekaan.

Diskusi Publik tersebut menampilkan sejumlah narasumber antara lain Andrianof Chaniago, Dosen Politik UI, Prof Dr Satya Arinanto, Guru Besar Hukum Tata Negara UI, Prof Dr Jumly Asshiddiqie, Pakar Hukum Tata Negara, Dr Diana Fawzi, Pengurus AIPI, Yudi Latif, Pakar Aliansi Kebangsaan dan Prof Dr Amany Lubis, dari FRI.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!