28 C
Jakarta

Daring dan Upaya Membangun Kebiasaan Baik Siswa

Baca Juga:

Oleh : Ashari, SIP )*
Pandemi Covid-19 menimbulkan banyak perubahan gaya hidup. Termasuk yang
terjadi di lingkungan sekolah. Saya, Ashari, mengajar PPKn di SMP Muhammadiyah Turi
Sleman DI Yogyakarta. Sekolah pinggiran yang berada di perbatasan antara Kab. Sleman dan
Kab. Magelang. Terdiri dari 8 rombel. Secara ekonomi sosial, mayoritas wali siswa kami dari kelas menengah ke bawah. Secara kecerdasan/kognitif siswa kami juga berada di kelas tengah. Pinter banget, tidak. Namun di kelas bawah juga tidak. Maka SMP Muhammadiyah Turi di bawah Kepala Sekolah kami Bu Nur Rahayu, MPd – ingin lebih membangun kebiasaan baik ( positip ) untuk menjadi bekal hidup dikemudian hari. Minimal setelah lulus SMP. Anak-anak bisa sholat dengan baik dan benar. Yang tidak kalah pentingnya adalah mengaji.
Kebiasaan yang coba dibangun di sekolah kami. Dimulai dengan upaya siswa masuk
pagi. Lebih awal. Mruput. Jam 06.45 WIB siswa sudah harus berada di dalam gerbang sekolah. Tentu harapannya guru dan karyawan lebih awal dari siswanya. Kegiatan dimulai denganSholat Dhuha, setiap Rabu dan Jumat. Diikuti oleh semua siswa, guru dan karyawan.Memang tidak setiap hari diawali Dhuha, karena dibagi. Senin Upacara Bendera, Selasa, Kamis diisi dengan Literasi. Membaca buku dari perpustakaan secara bergantian. Sabtu dan Ahad, kami libur. Boleh dikata kami menerapkan full day school.
Sebelum masuk pintu gerbang, siswa disambut dengan guru piket dengan programnya
3 S : Senyum, Salam, Sapa. Siang hari, waktu Dhuhur, kembali siswa dikondisikan untuk berjamaah. Siswa putri yang kebetulan libur, mereka tidak serta merta bebas tugas, tetapi mengikuti kajian keputrian, yang diampu oleh ibu-ibu guru kami secara bergantian.
Harapannya mereka mendapatkan tambahan pengetahuan dan pengalaman keagamaan.
Karena dalam kenyataannya mereka banyak yang belum paham tentang hal-hal yang
berhubungan dengan keputrian. Misal, apa yang harus dilakukan ketika sedang
haid/mesntruasi. Usai sholat dhuhur berjamaah. Kami istirahat 20 menit. Dilanjutkan dengan KBM ( kegiatan belajar mengajar) sampai waktu sholat Ashar. Kamipun kembali berjamaah Ashar di masjid sekolah yang ada di lantai 2. Kenyataannya tidak mudah untuk mengkondisikan siswa untuk mendirikan sholat Ashar ini. Karena disamping mungkin sudah capek. Lelah.
Alasan kedua, berdasarkan survei ternyata diantara mereka (jumlahnya banyak) belum
terbiasa menjalankan sholat Ashar di rumah. Karena orang tuanya juga belum sholat. Maka ekstra tenaga kami kondisikan untuk bisa sholat Ashar ini. Alhamdulillah setelah berjalan, beberapa bulan, mereka mulai berada di koridor dan rel-nya. Sebelum pulang sekolah, harus sholat Ashar. Itu yang ada dalam pikirannya.
Kebiasaan baik kami yang lain adalah mengaji/taddarus, setiap Jumat siang setelah
Sholat Jumat.Karena hasil test awal masuk, masih banyak anak-anak (siswa) yang belum bisa mengaji. Maka sekolah bertekad, bagaimana agar keluar dari SMP Muhammadiyah Turi, siswa bisa mengaji dan sholat dengan benar.
Datang Virus Corona.
Kedatangan virus corona di tengah-tengah kami, mengubah semua kebiasaan yang
sudah dibangun berbulan-bulan itu. Praktis, tidak ada lagi tatap muka di kelas maupun luar kelas secara fisik. Sekolah mengikuti arahan Dinas Pendidikan dan Majelis Dikdasmen PDM (Pimpinan Daerah Muhamadiyah) Sleman, dengan pembelajaran jarak jauh (daring). Karena tidak ingin kebiasaan baik yang sudah dibangun berbulan-bulan itu sia-sia. Maka
sekolah membentuk Tim Pamong (Pendampingan). Satu guru, rata-rata mengampu 4-5
siswa.
Guru dan karyawan ini yang mencoba membantu mengontrol kegiatan siswa dengan
jadwal dan juklak, layaknya sekolah di kelas. Ada Sholat Dhuha, Mengaji, KBM daring dan
kontrol kegiatan lainnya. Guru pengampu mendapatkan fasilitas kuota dari sekolah.
Bahkan, siswapun sedang didata nomor HP dan operatornya, harapannya mendapatkan bantuan kuota dari pemerintah melalui Dinas Pendidikan. Maklum 3 bulan daring, tentu memakan pulsa/kuota yang tidak sedikit. Tanpa disupport pemerintah, maka bagi orangtua dengan tingkat ekonomi bawah, akan kedodoran dalam membeli kuota tersebut.
Guru membuat gruop kecil yang diikat dalam satu WA untuk saling komunikasi dan
koordinasi tugas. Jika ada kesulitan atau hambatan, maka siswa/orang tua dapat langsung
berkomnikasi dengan guru pendampingnya masing-masing. Komunikasi melalui WA ini
dievaluasi ternyata efektif. Meski dalam dataran realitas, tidak semua siswa mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru. Maka kami sebagai pendamping dibantu oleh wali kelas, menanyakan/mengkomunikasikan: mengapa belum mengerjakan tugas, apa kendalanya. Jika memang ada kendala kuota, maka tidak segan kami membelikannya. Karena itu sebagai sarananya.
Bahkan kami tidak jarang menjalin kemunikasi dengan orang tua siswa, untuk

menanyakan kebiasaan-kebiasan yang sudah dibangun di sekolah, agar dapat dilaksanakan dengan baik. Pendeknya mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi. Siswa sudah sholat subuh belum, Dhuha belum, tugasnya apa yang belum dikerjakan. Karena diakui dengan program pendidikan jarak jauh ini (daring), pengawasan terhadap siswa menjadi agak longgar. Maka tanpa kerjasama dengan orang tua, niscaya kebiasaan-kebiasaan baik yang sudah dibangun dengan susah payah oleh bapak ibu guru dan pamong, akan “ambyar” dengan pengawasan yang lemah. Dan kami tidak ingin itu terjadi. Kuncinya komunikasi dan koordinasi. Selain kami terus memohon kepada Allah swt, agar kita, siswa dan keluarganya dijaga keimanan dan kesehatannya. Karena pada dasarnya kita ini lemah tanpa pertolongan-Nya. Kami terus lakukan ini. Entah sampai kapan. Sekian

* Guru SMP Muhammadiyah Turi Sleman

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!