JAKARTA, MENARA62.COM – Indonesia hingga kini belum menemukan sistem Pemilu yang ideal sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Perbagai perubahan dan perbaikan yang dilakukan termasuk era reformasi belum membuahkan hasil Pemilu sesuai harapan rakyat.
“Indonesia menyelenggarakan Pemilu sejak tahun 1955, bahkan pasca reformasi sudah digelar lima kali,” kata Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo pada FGD Virtual bertema ‘Sistem Pemilu yang Berkualitas’, Jumat (19/6).
Selain belum ideal, sistem Pemilu di Indonesia juga belum mampu berperan secara signifikan sebagai instrumen dalam mengembangkan demokrasi yang sehat sesuai dengan nilai-nilai ke-Indonesiaan kita.
Pontjo menyebutkan untuk meraih kekuasaan, seseorang bisa berbekal “modal finansial” (class), “modal massa politik” (party), dan “modal budaya” (estate). Pada Pemilu langsung yang kini dianut oleh sistem demokrasi Indonesia banyak kontestan pemilu yang hanya mengandalkan modal finansial dan politik.
Karena itu, lembaga perwakilan yang dihasilkan oleh Pemilu lebih didominasi pemegang modal finansial dan politik. Sedangkan kekuatan modal budaya seperti cendekiawan, tokoh adat, rohaniawan, inteligensia militer terpinggirkan.
Akibat hanya mengandalkan sumberdaya logistik, Pemilu kita lanjut Pontjo juga telah menghadirkan praktek “money politics” yang menyebabkan pemilu berbiaya tinggi baik dalam aspek finansial, dan juga biaya sosial (social cost). Biaya yang mahal ini tidak hanya yang dikeluarkan oleh penyelenggara (pemerintah) tetapi juga para kontestan pemilu.
“Dampak buruk lainnya, adalah bentuk polarisasi kelompok masyarakat yang sangat tajam akibat berbeda pilihan,” tambah Pontjo.
Polarisasi kelompok masyarakat yang sangat tajam atau pembelahan publik ini, ironisnya terus berlangsung sekalipun Pemilu telah lama selesai. Keadaan ini tentu sangat memprihatinkan dan sekaligus mengkhawatirkan karena sangat tidak konstruktif bagi bangsa Indonesia yang sedang memperjuangkan cita-cita kemerdekaannya. Dan pada eskalasi tertentu sangat berpotensi mengancam Bhinneka Tunggal Ika”-an yang sudah kita sepakati bersama sebagai salah satu konsensus nasional bangsa Indonesia.
Pontjo mengingatkan bahwa Pemilu merupakan input penting dalam proses penyelenggaraan demokrasi. Untuk menghadirkan Pemilu yang berkualitas, yang perlu diperhatikan bukan saja pemenuhan syarat-syarat umum, melainkan juga kecocokan sistem atau model pemilu dengan sistem nilai,kondisi sosial, budaya, politik dan ekonomimasyarakatIndonesia.
“Sistem Pemilu berkontribusi bagi terbangunnya demokrasi yang sehat. Demokrasi yang sehat memerlukan keserasian antara integrasi nasional dan pengakuan akan keragaman karakteristik lokal,” tegas Pontjo.
Sementara itu, Rektor Universitas Diponegoro (Undip) Prof Yos Johan Utama mengakui tidak ada model Pemilu yang ideal dan sempurna. Tetapi bukan berarti Pemilu tidak baik untuk memilih pemimpin. Pemilu yang ada harus diperjuangkan menjadi Pemilu realistik agar menghasilkan wakil rakyat sesuai harapan rakyat.
“Pemilu yang baik akan menghasilkan pemimpin yang baik. Dan pemimpin yang baik akan mampu mensejahterakan rakyat yang dipimpinnya,” kata Prof Yos.
Ia juga sependapat bahwa pemilu langsung seperti sekarang ini adalah Pemilu berbiaya tinggi. Muncul praktik uang yang dalam bahasa gaul dikenal sebagai mahar serangan fajar dan lainnya.
Akibat Pemilu berbiaya mahal tersebut salah satu ekses negatifnya banyak pemimpin baik itu anggota legislative maupun kepala daerah yang harus berurusan dengan KPK.
“Karena itu saya mengajak semuanya untuk bersama-sama memikirkan bentuk Pemilu yang lebih baik, yang bisa mengurangi ekses dan dampak negatifnya,” tandas Prof Yos.
Tampil sebagai pembicara dalam FGD tersebut Prof Dr Valina Sinka Subekti, Guru Besar Ilmu Politik UI, Moch Nurhasim, Peneliti LIPI, Yudi Latief, Dewan Pakar Aliansi Kebangsaan, Kusrido Ambardi, Dosen UGM dan Prof Retno Saraswati, Dekan FH Undip.