YOGYAKARTA, MENARA62.COM — Generasi Z memilih karier sebagai guru merupakan pencampuran kuat antara motivasi altruistik, instrinsik, dan ekstrinsik. Kemudian terbukanya kesempatan untuk mengembangkan diri dan mencoba hal-hal baru (self development) memperkuat minat Gen Z untuk memilih profesi sebagai guru.
Hal tersebut merupakan temuan penelitian Prof Dr Suyatno SPdI, MPdI Dosen Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Fakultas Keguruaan Ilmu Pendidikan, Universitas Ahmad Dahlan (PGSD FKIP UAD) Yogyakarta. Hasil penelitian tersebut diungkapkan pada pidato pengukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Manajemen Berbasis Sekolah di Kampus 4 UAD Yogyakarta, Sabtu (25/5/2024).
Selain Prof Suyatno, Sidang Terbuka Senat UAD juga mengukuhkan dua guru besar. Mereka adalah Prof Dr Fithriatus Shalihah SH, MH sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Hukum; dan Prof Dra Alif Muarifah SPsi, MSi, PhD, sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Psikologi.
Lebih lanjut Suyatno menjelaskan selain hal tersebut, faktor agama dan budaya juga menjadi pertimbangan penting bagi Gen Z di Indonesia untuk memutuskan pilihan karier mereka. “Gen Z memastikan pilihan karier mereka sebagai guru selaras dengan nilai-nilai yang dianggap penting oleh agama dan budaya yang berkembang di Indonesia,” kata Suyatno.
Menurut Suyatno, ada beberapa transformasi pendidikan guru agar profesi guru menjadi pilihan karier yang menarik bagi generasi muda di masa datang. Di antaranya, peningkatan makna dalam bekerja bagi Guru Gen Z; perbaiki ekosistem profesi guru; masalah klasik kesejahteraan guru : ciptakan kesejahteraan yang berkeadilan; kurangi beban kerja administrasi guru; manfaatkan intangible capital; teologi perumpaan dengan Tuhan.
Kiat tersebut, kata Suyatno, untuk mengatasi penurunan minat generasi muda untuk menjadi guru. Sebab meskipun dikenal sebagai salah satu pekerjaan yang mulia dan memiliki status sosial tinggi dalam pandangan mayoritas masyarakat Indonesia, minat masyarakat untuk menjadi seorang guru di Indonesia telah mengalami penurunan cukup drastis.
“Beberapa program studi keguruan dan ilmu pendidikan yang awal 2010-an menjadi program-program studi favorit dan mendapat animo masyarakat tinggi, kini telah mengalami penurunan animo yang cukup drastis,” tandas Suyatno.
Selain itu, tambah Suyatno, beberapa kebijakan pemerintah terkait pengembangan profesi guru juga menjadi penyebab menurunnya animo ini. Tahun 2005, pemerintah mengeluarkan Undang-undang Guru dan Dosen. Kebijakan ini menyebabkan dalam satu dekade berikutnya Indonesia memiliki stok calon guru yang melimpah, bahkan melebihi daya tampung.
“Tingginya status guru, kenaikan gaji, dan prospek karier serta kemungkinan menjadi pegawai negeri menjadi penyebab utama melimpahnya stok calon guru tersebut,” katanya.
Menurut statistik nasional, kata Suyatno, hampir 300.000 siswa lulus dari program pendidikan guru setiap tahunnya. Sedang kebutuhan tenaga kerja guru hanya sekitar 40.000 orang setiap tahunnya.
Fakta ini mengakibatkan banyak alumni Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang tidak terserap dalam dunia kerja. Sehingga beberapa tahun berikutnya tren ini bergeser dan minat masyarakat untuk menjadi guru menurun drastis. “Fakta ini menyebabkan masyarakat cukup realistis dalam memasukkan putra-putrinya ke program studi keguruan dan ilmu pendidikan,” ujarnya.
Kemudian, kata Suyatno, adanya moratorium pengangkatan guru Pegawai Negeri Sipil (PNS). Serta sejak tahun 2019 diganti dengan sistem Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) menjadi animo masyarakat untuk menjadi guru semakin turun. (*)