SOLO, MENARA62.COM — Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag, menegaskan bahwa teologi Al-Ma’un di abad ke-21 tidak cukup dipahami sebatas aksi karitatif, melainkan harus menyentuh persoalan kemiskinan dalam dimensi yang lebih luas, termasuk kemiskinan struktural.
Hal itu disampaikan usai mengisi materi Teologi Al-Ma’un pada kegiatan Baitul Arqam Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Surakarta, Jumat (22/8) di Balai Besar Guru dan Tenaga Kependidikan Provinsi Jawa Tengah.
Menurutnya, spirit Al-Ma’un dalam konteks kontemporer harus dimaknai sebagai dorongan kepedulian terhadap problem kemiskinan, mulai dari tingkat karitas (bantuan langsung), peningkatan kapasitas (pemberdayaan), hingga level yang lebih mendasar yakni kemiskinan otoritas.
“Tugas kita membangun Al-Ma’un dalam konteks bermuhammadiyah, berislam, dan berbangsa itu semakin berat. Isu kemiskinan harus masuk ke ranah struktural, yaitu bagaimana pemerintah dibentuk dan dipengaruhi agar melahirkan kebijakan yang berpihak pada orang-orang miskin dan kurang beruntung,” ujar Prof. Zakiyuddin.
Guru besar UIN Salatiga itu menekankan, tanpa adanya keberpihakan kebijakan pemerintah, program pengentasan kemiskinan hanya akan bersifat tambal sulam.
“Kalau kebijakan pemerintah tidak berpihak pada mereka yang miskin, papa, dan termarjinalkan secara ekonomi, sosial bahkan politik, maka kita akan sia-sia punya program pengentasan kemiskinan,” tegasnya.
Prof. Zakiyuddin menutup pernyataannya dengan menekankan bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan Islam berkemajuan harus terus mengarusutamakan teologi Al-Ma’un dalam praksis kehidupan berbangsa. Teologi itu, menurutnya, bukan hanya doktrin normatif, melainkan energi sosial untuk memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan umat secara sistemik. (*)

