MENJADI pejabat publik menjadi dambaan mayoritas orang Indonesia. Alasannya bisa beragam, karena alasan prestise, fasilitas lebih atau memang karena prestasi. Kita masuk yang mana? Namun dari semua alasan tersebut, harus diakui bahwa muaranya mereka akan mendapatkan fasilitas dari negara diatas rata-rata pejabat biasa. Meski dibalik itu jabatan yang diembannya mengandung resiko yang tidak ringan. Rentan godaan. Akibatnya tidak banyak (semua) pejabat berakhir dengan “selamat”.
Siapa pejabat publik? Dalam tulisan ini kita coba batasi kalau dilingkungan Pemerintahan ya Lurah ke atas hingga Bupati, Gubernur dan Presiden. Termasuk para anggota legislatif, eksekutif dan yudikatif, pejabat eselon II, I sekelas dirjen dan pejabat teras parpol. Artis, Ustadz kondang juga masuk dalam komunitas ini.
Apa saja yang membuat mereka terjungkal dalam kariernya, hingga berakhir tidak lagi happy ending, namun justru sebaliknya? Memasuki masa pensiun yang mustinya bahagia, namun masa senja justru harus berhadapan dengan hukum?
Sudah banyak contoh yang kita jadikan cermin, tanpa harus menyebut nama, puluhan bahkan ratusan pejabat harus berhadapan dengan aparat. Akhirnya masuk bui masih ditambah mengganti kerugian negara dari uang yang dikorupsinya.
Tiga penyebab utama :
Kalau kita telusuri penyebab para pejabat mengakhiri masa jabatannya dengan tragedi ada tiga; Pertama Cara meraih jabatan itu sendiri ( tahta ) , kedua wanita dan ketiga adalah harta yang diperoleh yaitu dengan cara korupsi ( Memperkaya diri, keluarga atau kelompoknya dengan cara-cara yang berlawanan dengan hukum. Memanfaatkan kewenangan yang dimilikinya. )
Pertama, Tahta (jabatan). Dalam pandangan agama, mengejar tahta tidak diperkenankan. Namun kalau diberikan, sebaiknya tidak menolak. Alasannya, karena jabatan layaknya sebuah amanah yang harus ditunaikan. Harus diembannya dengan penuh tanggung jawab. Kalau jabatan dicari dengan cara-cara yang mungkar, menghalalkan segala cara, asal tujuan tercapai, maka dapat dipastikan ketika dia memegang jabatan yang dilakukan adalah upaya untuk mengembalikan modal awalnya. Jika tidak berhasil maka dia akan melakukan manuver politik dengan membuat aturan yang seolah-olah sah, hingga menguntungkan dirinya. Akhirnya guci-guci nya bertambah. Kalau ini yang terjadi, maka bukan lagi pengabdian dan amanah yang dikedepankan, namun sudah menerapkan prinsip “ besok makan siapa?”.
Pejabat demikian, mungkin awal-awalnya tidak nampak, namun pada endingnya akan kelihatan belangnya juga. Namun masyarakat kita ini aneh, disatu sisi tidak ingin memilih pejabat yang suka korupsi, memakan harta rakyat dengan buta, namun ketika proses pilihan pejabat publik, kita terlena dengan cara-cara yang mengarah ke arah sana, dengan alasan sudah jamannya, tidak bisa mengelak, perasaan tidak enak dsb. Akibatnya kita mendapatkan kualitas pejabat yang buruk, karena lahir dari system yang buruk juga. Salah siapa?
Untuk mengurai benang kusut ini, tidak ada jalan lain kalau harus dimulai dari diri sendiri, keluarga hingga masyarakat untuk berani berkata tidak dengan yang namanya suap, sogok, korupsi. Kalau tidak, siapa lagi yang akan mengawalinya? Rekam jejak, fit and proper test, sering menjadi acuan ketika seorang pejabat akan terpilih. Namun kadang kita sering kecele, awalnya bagus, mereka lolos, namun kita sudah menjabat kalau tidak hati-hati, akan terjerembab dalam system yang buruk tadi. Hingga berakibat terjerat kasus. Maka perbaikan system, menurut hemat saya tetap penting.
Kedua, Wanita. Tidak bermaksud merendahkan kaum hawa. Sesungguhnya mereka, kaum wanita berada pada posisi yang terpuji.Terhormat. Ketika mereka berada dimakomnya. Sebagai ibu atau istri. Sebenarnya kasus-kasus adanya WIL atau PIL, kesalahan bukan semata dari kaum wanita. Priapun punya andil yang besar.
Pejabat yang sudah mulai tersandung masalah wanita, biasanya kebijakannya mulai bias. Wanita meski secara fisik lemah, namun dalam hal ini, bisa mempengaruhi kebijakan publik sang pejabat. Pekerjaanya tidak lagi fokus dan sering molor. Dari beberapa kasus yang kita sering baca, pejabat demikian tidak lagi memihak kepada kepentingan rakyat, konstituen namun mencoba mati-matian membela kepentingan WIL-nya. Pejabat lebih banyak berkesempatan untuk menyeleweng. Meski kita harus akui pejabat yang lurus-lurus saja juga ada.
Ketiga, harta. Ini penyebab paling banyak penyebab pejabat tidak selamat. Harta. Sudah dapat fasilitas lebih, masih kurang. Serakah. Mengapa kemudian korupsi biasanya dilakukan oleh pejabat bukan pegawai biasa atau seorang office boy (OB) ? Karena pejabat mengetahui cara-cara untuk melakukan tindakan korupsi yang tidak mudah diendus oleh hukum. Melalui kewenangan dan kebijakannya. Maka kuncinya memang Niat dan Kesempatan. Ketika ada niat namun tidak ada kesempatan, maka korupsi tidak akan terjadi, begitu juga sebaliknya.
Epilog :
Semua tentu ingin mengakhiri masa jabatannya dengan selamat. Sayangnya tidak semua berhasil. Maka tidak ada cara lain selain memperdalam pemaham agama kita, karena semua agama melarang korupsi dan tindakan tidak terpuji lainnya. Juga yang tidak kalah pentingnya adalah memupuk ketentraman dan komunikasi positip dalam keluarga, sebagai embrio awal konstruksi bangunan menuju masyarakkat yang lebih mencerahkan.
Akhirnya, boleh saja kita menjadi pejabat, namun mari berlomba-lomba untuk menjadi pejabat yang “selamat”. Selamat di dunia dan akhirat. Dengan memperbanyak mohon ampun.Istighfar kepada-Nya. Semoga. (Sekian). *