JAKARTA – Lebih dari 100 ilmuwan dari berbagai negara membahas sejarah sekaligus perkembangan ilmu kedokteran dan kesehatan di kawasan Asia, termasuk Indonesia, pascakolonialisme. Kegiatan tersebut dilakukan dalam simposium yang difasilitasi Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) di Jakarta, pada 27 hingga 30 Juni 2018.
Seperti dikutip dari Antara, Rabu (27/6), Ketua AIPI Profesor Sangkot Marzuki di Jakarta, menyebutkan sesungguhnya terjadi kaderisasi dalam ilmu kedokteran dan kesehatan di Indonesia pascakolonialisasi. Banyak yang telah memiliki gelar doktor dengan publikasi yang sejajar dengan ilmuwan asing.
Namun ada masa dalam sejarah ilmu kedokteran dan kesehatan di Asia termasuk di Indonesia, terutama pada 1940 saat Belanda diduduki Jerman hingga 1955 di masa pemerintahan Presiden Soekarno, yang menurut dia, seperti kehilangan induknya.
Pada era tersebut, kerja lembaga penelitian menjadi kacau, tidak lagi fokus, terpengaruh situasi keamanan dampak dari Perang Dunia II, ujarnya.
Kemajuan ilmu kedokteran dan kesehatan yang terjadi di era sebelumnya, yang bahkan mampu memberikan Hadiah Nobel fisiologi atau kedokteran bagi Christiaan Eijkman pada 1928 atas hasil karyanya dalam menemukan antineuritic vitamin bersama dengan Frederick G. Hopkins ternyata tidak berlanjut pascakolonialisme, lanjutnya.
Dalam simposium bertema “Colonial Medicine in Post-Colonial Times: Continuity, Transition, and Change,” yang menjadi pertemuan History of Medicine in South East Asia (HOMSEA) dan Asian Society for The History of Medicine (ASHM) dan difasilitasi AIPI ini ilmuwan atau ahli yang hadir dari Jepang, Taiwan, Hong Kong, India, Vietnam dan Singapura serta Eropa.
Sangkot mengatakan ingin mengungkap sejarah sekaligus pengaruhnya terhadap ilmu kedokteran dan kesehatan di Asia.
Tidak berhenti di sana, lebih lanjut ia menambahkan simposium ini juga mencoba melihat perkembangan kondisi ilmu kedokteran dan kesehatan tersebut akan seperti apa di masa depan.
Wakil Ketua HOMSEA Profesor Hans Pols menyebutkan dirinya terkesan dengan banyaknya ilmuwan atau ahli Indonesia yang ternyata memperlajari sejarah ilmu kedokteran yang jumlahnya justru lebih banyak dari pada ahli di luar negeri.
“Penelitian tentang sejarah kedokteran ternyata dapat berkembang baik di sini,” lanjutnya.
Dalam simposium sejarah kedokteran ini juga sempat membahas tentang sejarah memerangi malaria di masa okupasi Jepang di Indonesia dan Malaysia, fasilitas rumah sakit di masa kolonialisme dan pascakolonialisme, kondisi gizi dan kesehatan anak di masa kolonialisme dan pascakolonialisme.
Selain itu diluncurkan pula buku Gelanggang Riset Kedokteran di Bumi Indonesia: Jurnal Kedokteran Hindia-Belanda 1852-1942 yang merupakan versi bahasa indonesia dari buku The Medical Journal of The Dutch Indies 1852-1942.