(Kisah perjalanan pendirian Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah)
Minggu ke Tiga Januari 2017. Usianya menginjak tujuhpulahan tahun, keriput pada raut wajahnya tak bisa disembunyikan. Namun, pagi itu Pak Nuhun tersenyum sangat sumringah melihat perahu Danakan yang kami tumpangi mulai merapat ke pinggir pantai, ia bergegas menyalami kami satu-persatu (rombongan guru-guru MTS Muhammadiyah Kangean).Hampir dua jam rupanya ia berdiri dengan perasaan cemas mengamati cuca laut yang sebagian langit di utara mulai mendung bergelantungan menutupi laut dan rintik hujan.
Semula ia mulai ragu, pikirnya, tak mungkin kami datang bersilaturrahim ke pulau Saebus, Kangean, Sumenep, Madura, Jawa Timur. Keraguannya itu didasarkan kondisi cuaca dan sudah beberapa hari tidak ada “taxi” (perahu sebagai transportasi antar pulau) yang berani menyebrang karena di laut saat ini sering ada gelombang dan badai angin.
Untunglah, kebaikan seorang pengusaha di Pulau Sapeken yang memberi kami tumpangan perahu gratis mengantarkan kami ke sana.
Kunjungan guru-guru MTS Muhammadiyah pulau Kangean ke pulau Saebus ini tentunya ada maksud tersendiri, selain untuk mempererat hubungan silaturrahmi juga untuk memberikan semangat atas usaha keluarga Pak Nuhun yang sejak 2012 lalu berjuang mendirikan sekolah Madrasah Islam Muhammadiyah pertama di pulau Saebus. Bahkan, sekolah MI Muhaadiyah ini merupakan yang pertama di dirikan khususnya di kawasan kepulauan timur Madura.
Pulau Saebus merupakan sebuah pulau yang terletak di bagian timur Pulau Kangean, dan termasuk dalam bagian kecamatan Pulau Sapeken. Untuk bisa sampai ke pulau ini dibutuhkan waktu sekitar 3-4 jam perjalanan dengan menggunakan transportasi perahu dengan rute ujung timur pelabuhan Kangayan-Sapeken-Saebus.
Pulau Saebus juga terkenal dengan pulau yang cukup Indah, pantainya berpasir putih serta terumbu karang yang masih terjaga membuat pulau ini menyimpan keelokan tersendiri. Mayoritas masyarakat bekerja sebagai nelayan dan juga bercocok tanam, termasuk juga pak Nuhun.
Keluarga Pak Nuhun bukanlah keluarga yang mampu atau kaya, kehidupannya justru tergolong kurang mampu. Semula, ia mempunyai tujuh putra tapi dua orang sudah meninggal dunia. Di usianya yang cukup tua ini, ia tak mampu lagi bekerja mencari ikan di laut. Ia hanya mengandalkan hasil bercocok tanamn di kebun. Beberapa anaknya yang sudah berkeluarga, juga membantu usahanya menanam berbagai jenis tanaman seperti labu, jagung dan singkong.
Sekolah Di Rumah Panggung
Di awal kisahnya, semula ide Pak Nuhun untuk membangun sekolah Madrasah Muhammadiyah ini berangkat dari hasil perbincangan dengan salah satu putranya (Nurdin) yang sudah bekerja di sekolah SMA Muhammadiyah Sumenep. Mereka merasa terpanggil melihat kondisi banyaknya anak-anak nelayan pinggir pantai yang malas bersekolah, karena alasan jarak tempuh tempat mereka sekolah cukup jauh. Mereka lebih betah bermain di rumah atau ikut orang tuanya pergi memancing.
Tak mudah untuk meyakinkan agar anak-anak tersebut kembali mau bersekolah di tempatnya. Bahkan, menurut pak Nuhun, ada juga orang tua murid yang memandang rencana sekolah itu mustahil akan terwujud sebab tempat kelas untuk mengajarnya pun tidak tersedia. Namun, Pak Nuhun beserta keluarganya tak putus asa, mereka justeru lebih bersemangat meyakinkan kembali para calon wali murid agar anaknya mau bersekolah.
Rumah panggung yang ditempatinya, kemudian ia relakan untuk dijadikan kelas belajar di siang hari dan malamnya kembali difungsikan untuk tempat tidur keluarga. Di samping rumah tersebut, terdapat tempat untuk memasak dan juga difungsikan untuk tempat istirahat sementara bagi keluarga pak Nuhun. Tempat tersebut seperti warung, genteng dan dindingnya terbuat dari anyaman daun kelapa. Hal tersebut dimaksudkan agar aktfitas harian keluarga tidak menggangu aktifitas pembelajaran kelas.
Perlahan namun pasti, akhirnya masyarakat sekitar, khususnya di kawasan pinggir pantai utara mulai percaya.Anak-anak mereka yang semula agak malas pergi ke sekolah, kini mulai lebih bersemangat dengan adanya sekolah yang dekat dengan rumah mereka. Mereka mulai asyik menikmati proses belajar di rumah panggung pak Nuhun. Dua ruang kamar dan sebuah ruang tamu, difungsikan untuk kelas.
Waktu berjalan, tak terasa cita-cita membangun sekolah MI Muhammadiyah yang di gagas Pak Nuhun sudah berjalan tiga tahun. Proses legalitasnya pun sudah didaftarkan, daya tampungnya sudah mencapai tiga kelas dengan jumlah murid kurang lebih 35 siswa. Ada lima guru yang mengajar di sekolah tersebut, mereka semua lulusan Sekolah Madrasa Aliyah Sapeken. Sementara upah yang mereka terima, menurut pak Nuhun, rata-rata seratus sampai dengan seratus limapuluh ribu perbulan, yang juga didapat sebagian dari hasil sumbangan dermawan.
Meski demikian, menurut Pak Nuhun, ia melihat semangat para guru-guru MI Muhammadiyah tersebut sangat luar biasa meski upah yang diberikannya sangat tidak seberapa. Mereka mengajar atas panggilan dakwah dan rasa ketulusan ikut berjuang.
Kini Pak Nuhun sedang menunggu rencana pembangunan dua ruang permanen sekolah MI Muhammadiyah yang akan didirikan di atas lahan seluas kurang lebih setengah hektare miliknya yang telah ia hibahkan. Jaraknya, kurang lebih satu kilomeater dari sekolah sebelumnya.
“Saya sudah bilang ke anak saya Nurdin, yang berada di Sumenep agar rencana membangun gedung sekolah tersebut, kalau bisa dijadwalkan bulan Maret ini dimulai, tidak apa- apa seadanya dulu saja. Semen dan batako, itu sudah cukup untuk pondasi. Saya khawatir anak-anak nanti akan banyak bermain ke pantai dan itu akan menggangu belajar mereka,” kata pak Nuhun.
Pak Nuhun mengantarkan kami melihat langsung lokasi rencana pembangunan sekolah tersebut, lahannya cukup strategis berdekatan dengan perkampungan warga. Dilahan itu, sudah terdapat beberapa tumpukan batako dan pasir. Kata Pak Nuhun, di lokasi ini nantinya juga akan dibangun Mushalla sehingga warga bisa lebih giat dalam ibadah.
Kembali
Tak terasa Matahari persis lurus di atas kepala, teriknya mulai menyapu bekas rintik hujan tadi pagi. Kami beserta rombongan mulai bergegas hendak pamitan untuk kembali ke Kangean. Untuk kembali, hampir tiga jam lebih perahu Danakan menunggu kami di pinggir pantai untuk mengantar pulang sebelum sore. Kalau terlalu petang, biasanya badai mulai turun. Tapi, bayangan kami akan wajah Pak Nuhun yang bersahaja dan kelas sekolah Muhammdiyah di rumah panggung yang ditempeli gambar dua sosok wajah Kiyai Ahmad Dahlan dan Nyai Walidah membuat kami merasa malu, sekaligus bersemangat untuk mengabarkan dan meniru ghirah juang mereka.