32.8 C
Jakarta

Remaja Perlu Pahami Stunting Sebelum Menikah

Baca Juga:

JAKARTAMENARA62.COM – Masalah stunting sebenarnya dapat dicegah, dengan berbagai program intervensi sensitif maupun spesifik. Dalam upaya pencegahan stunting, sasaran prioritas masih fokus pada kelompok ibu hamil dan ibu menyusui serta pada anak usia kurang dari dua tahun (baduta).

“Sasaran ini dimaksud sebagai sasaran yang tepat bagi program percepatan perbaikan gizi pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Intervensi juga dilakukan mulai dari ibu hamil, bahkan pada wanita (Remaja perempuan) yang belum menikah, agar mendapat gizi yang cukup dan tidak terjadi anemia atau terkena penyakit lain, serta promosi dan KIE 1000 Hari pertama Kehidupan (HPK) pada Baduta dan Balita. Remaja sebagai salah satu kelompok potensial yang perlu juga dilibatkan dalam berbagai program pencegahan stunting. Remaja sangat penting diedukasi terkait isu stunting, karena  stunting adalah sebuah siklus,” jelas Kepala BKKBN Dr. (H.C.) dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG (K) pada kegiatan yang dilaksanakan secara virtual Webinar Hari Keluarga Nasional Ke-28 dengan tema “Sobat Milenial, Yuks Cegah Stunting”.

Menurut Hasto, jika calon ibu punya asupan gizi kurang sejak remaja akan berisiko punya anak kurang gizi dan si anak akan mencontoh pola makan ibunya dan terus berputar.

“Siklusnya dimulai dengan kondisi kesehatan remaja putri. Maka masalah stunting harus jadi perhatian sejak remaja. Harapannya agar mereka menjaga asupan gizi, karena remaja adalah calon orang tua”, imbuh dokter Hasto.

Berdasarkan Laporan Global Nutrition Report 2016 mencatat bahwa prevalensi stunting di Indonesia berada pada peringkat 108 dari 132 negara. Target penurunan prevalensi stunting di Indonesia diselaraskan dengan target global, yaitu target World Health Assembly (WHA) untuk menurunkan prevalensi stunting sebanyak 40 persen pada tahun 2025 dari kondisi tahun 2013.

“Remaja belum paham tentang pentingnya gizi dan stimulasi yang tepat. Pengetahuan mereka sangat terbatas tapi mereka harus menikah, hamil dan menjadi ibu. Oleh karena itu melibatkan remaja dalam penanggulangan stunting menjadi penting dikarenakan remaja berada di garis depan dalam inovasi dan sebagai  agen perubahan”, terang dokter Hasto.

Hasto menambahkan mencegah stunting sejak calon pengantin merupakan kelompok usia subur dapat menjadi sasaran paling strategis untuk program intervensi gizi prakonsepsi, karena mereka adalah kelompok yang siap untuk hamil.

“Oleh karena itu, akan lebih efektif jika program intervensi untuk mencegah stunting dilakukan pada kelompok ini. Program intervensi gizi prakonsepsi sesungguhnya dapat dilakukan melalui layanan pranikah,” ungkap dokter Hasto

Dokter Hasto mengatakan bayi lahir yang sehat merupakan modal awal untuk menghasilkan sumberdaya manusia yang unggul di masa depan serta terbebas dari masalah stunting.

“Stunting yang terjadi pada masa balita merupakan kantong dari berbagai masalah kesehatan, terutama timbulnya berbagai penyakit kronis yang berkaitan dengan gizi yang timbul kelak ketika mereka dewasa, sehingga menjadi beban pembiayaan bagi negara. Oleh karena itu, mari bersama-sama mencegah stunting melalui pendampingan calon pengantin, ibu hamil maupun keluarga demi lahirnya bayi yang sehat”, imbuhnya

Sebagaimana diketahui dari hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 bahwa penurunan prevalensi Stunting Balita di tingkat nasional sebesar 6,4% selama periode 5 tahun, yaitu dari 37,2% (2013) menjadi 30,8% (2018).

Selain itu, target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (TPB/SDGs) adalah menghapuskan semua bentuk kekurangan gizi pada tahun 2030.

Sedangkan berdasarkan hasil Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) tahun 2019, saat ini telah terjadi penurunan prevalensi stunting dari 30,8% pada tahun 2018 (Riskesdas 2018) menjadi 27,67% tahun 2019.

Data Riskesdas 2018 menunjukkan, 8,7 persen remaja usia 13-15 tahun dan 8,1 persen remaja usia 16-18 berada dalam kondisi kurus dan sangat kurus. Hasil Global Health Survey 2015 menunjukkan, penyebab tingginya angka stunting antara lain karena remaja jarang sarapan, dan 93 persen kurang makan serat sayur buah. Ditambah angka pernikahan remaja di Indonesia tinggi, padahal hal ini berkontribusi pada kejadian stunting.

Pada kesempatan yang sama Deputi Bidang Pelatihan, Penelitian, dan Pengembangan BKKBN Prof. Drh. Muhammad Rizal Martua Damanik, MrepSc, PhD menambahkan stunting adalah gangguan tumbuh kembang yang tidak hanya sel tulangnya saja yang terganggu tapi juga sel otaknya.

“Sel otak yang paling sensitif mengalami gangguan dan hambatan pertumbuhan, sel otak itu tidak mampu bekerja 3 sampai 4 jam, tapi setengah jam saja sudah gagal fokus. Selain itu juga akan mengganggu organ tubuh yang paling penting dan akan mudah terserang penyakit”, tutup Rizal

 

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!