26.9 C
Jakarta

Rembulan di Atas Bukit Pajangan – 80

Baca Juga:

Kodrat Manusia berkeluh kesah.

Malam itu pengajian rutin di masjid kampung kami, berjalan seperti biasanya. Waktunya ba’da Maghrib hingga ditutup dengan Jamaah Isya’. Jamaah memang lebih banyak. Aku kira bukan semata karena ada snack-nya. Tapi materi kajian yang di asuh oleh Ustadz Ahmad meski isinya tafsir per kata dari surat-surat yang ada dalam Al-Quran, namun selalu saja diselipkan informasi terkini yang sedang in. Misalnya malam itu, jamaah diminta untuk mendoakan saudara-saudara kita yang ada di Palestina. Meski jarak kita jauh, mereka bukan saudara dekat kita, saudara secara biologis, namun sesama mukmin kita mustinya empati dengan derita mereka. Meski secara kemuliaan mereka bisa jadi lebih mulai dari kita. Misalnya meninggal, maka syahid. Surga tempatnya. Namun saat masih hidup, kemerdekaan mereka tercabik-cabik. Kehilangan harta, sanak saudara adalah kenyataan yang menyedihkan.
&&&
Bahasan tafsir malam itu, terasa “nonjok” di ulu hati. Yakni tafsir surat Al-Balad (91) di ayat-ayat awal. Allah menjelaskan bahwa kodrat manusia itu berkeluh kesah. “Hujan deras mengeluh, kemarau mengeluh. Punya anak mengeluh, gak punya anak?” Jamaah seolah ada yang menyuruh menjawab bersama. koor. “Mengeluh,” Ustadz Ahmad tersenyum tipis. Dengan bijak beliau melanjutkan, ” Itulah tabiat manusia. Saya juga,” sambungnya. “Maka yang bisa kita lakukan adalah berusaha selalu berada di jalan yang lurus, dengan terus tetap latunkan istighfar. Mohon ampun,”
Sedetik kemudian aku ingat Rohman. Aku tengok kanan kiri. belakang. Mataku seolah keluar separo. Batang hidungnya gak nampak. Pulang sekolah tadi memang mepet adzan Maghrib. Aku bilang segera mandi dan menyusul ke masjid. Aku sedikit gelisah. Ditengah kajian aku membungkuk-bungkuk keluar. Ijin. Sebenarnya tujuanku satu. Lihat Rohman sedang apa. Tidur atau HP-nan. Aku pulang. Pintu kamar terkunci. Meski tidak rapat. Pikirku Rohman sudah pergi lagi? karena memang malam liburan sekolah. Tapi batinku menolaknya. Masak baru pulang belum ada setengah jam sudah pergi lagi. Tidak pamit pulang. Aku buka pintu garasi agak paksa. Greeek. Suara pintu garasi yang sudah aus dimakan usia itu terdengar berisik.
Aku cari di kamarnya kosong. Baju dan celana seragamnya masih bertengger diatas kasur. Sejurus kemudian ke kamar mandi. Oh, aman. Ada suara orang mandi.
“Mandi, mas?” tanyaku pura-pura.
“Iyaa,” jawabnya sekenanya.
“Sudah Maghrib, mas?
“Sudah. Bapak kok pulang, kenapa?” jawabnya masih dari kamar mandi.
“Ambil buku ada yang ketinggalan,” kataku. Meski sebenarnya hanya pingin memastikan dia tidur, HP nan atau pergi.
“Habis mandi, nusul bapak ke masjid ya Mas?”
kali ini tidak ada jawaban. Aku ulangi lagi. ” Habis mandi, nusul bapak ke masjid ya Mas?”
“Gak mau, aku ke mushola saja,”
Ya sudah. Meski masih menyimpan sesak di dada. Aku tinggalkan dia sendiri di rumah. Sampai masjid, kajian masih berlangsung. Kembali aku membungkuk melewati beberapa jamaah senior. Aku kembali duduk di samping kakaknya Rohman, yang butuh banyak pendampingan. Tadinya aku sudah agak khawatir ketika aku tinggal, jangan-jangan “berulah”. Misal berteriak-teriak yang tidak jelas. Tapi untungnya aman. Kakaknya Rohman, yang 8 tahun lebih tua itu memang sejak divonis down syndrown oleh dokter anak, kadang mempunyai perangai dan perilaku yang untuk orang biasa dianggapnya aneh. Tapi aku yang setiap hari menghadapinya, keanehan itu aku anggap sebagai hal yang biasa. Ibarat obat, sudah aku telan bulat-bulat. Sampai tidak terasa pahitnya.
Manusia ditadkirkan, kodratnya suka mengeluh. Waktu kami dapati anak yang secara fisik dan kemampuan pikir dibawah standar aku mengeluh. Sekarang dikarunia anak yang relatif normal, tidak berkebutuhan khusus, akupun mengeluh. “Kapan kamu bersyukurnya,” aku mengutuk diri sendiri.
“Selama hidup di dunia, manusia akan selalu mengeluh. Kurang. Baru tidak ada keluhan itu kalau kita tinggal di surga. Semua serba menyenangkan dan pas,” terang ustadz. Aku tersungkur sujud. mohon ampun atas kelakuan hatiku ini. Kelakuan hati? ya. Karena mengeluh sering yang tahu hanya diri sendiri dan Allah saja. Dipermukaan kita boleh dan bisa tersenyum, namun didasar hati kita gak percaya akan kekuasaan gusti Allah. Menghujat Allah.
Pengajian usai. Rohman benar tidak ke masjid. Biasanya dia yang adzan Isya’. Tapi hatiku sudah mulai tenang. Disamping memang sudah bilang mau ke mushola. Namun yang lebih dari itu, aku akan mengurangi porsi mengeluh. Selain sudah berusaha porsi banyak akan aku serahkan kepada gusti Allah yang maha membolak-balikkan hati manusia. Manusia yang mana saja. ( bersambung )

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!