27.2 C
Jakarta

Rembulan di Atas Bukit Pajangan (bagian ke-16 )

Baca Juga:

Saat Hendak Kembali ke Pondok

Sabtu malam Ahad. Awal bulan Februari 2021. Terasa jam dinding berdetak cepat. Tahu-tahu pagi. Ditandai suara ayam berkokok saling sahutan. Aku dan Rohman bergegas ke masjid kampung. Jaraknya sekitar 120 meter dari rumah. Dengan motor aku boncengkan Rohman. Masih ada aroma mengantuk di matanya. Aku ingat dia tidur larut. Dengan sedikit mengantuk aku ajak ke masjid.
“Masih ngantuk, pak,” katanya.

“Iya, tapi kita harus subuh le. Sudah cukup kita istirahat tidur. Nanti adzan.”
Rohman tidak menjawab. Hanya mengangguk dengan setengah hati. Aku tahu maksudnya. Yaitu tidak mau. Tapi tidak dengan serta merta marah, akibat penolakan halus ini. Karena aku tidak ingin hari ini, hari terakhir Rohman di rumah, ada kemarahan diantara kami. Rencana habis dhuhur, kami antar Rohman ke pondok. Rohman rupanya tahu, kalau penolakannya untuk tidak mau adzan itu, membuatku tidak berkenan.

Maka saatnya adzan subuh tiba, aku menuju ke corong mix. Tanpa menyuruhnya lagi untuk adzan. Tetapi sebelum aku kumandangkan adzan, tiba-tiba Rohman setengah berteriak dan berdiri, “Pak, aku yang adzan,” katanya. Aku menoleh. “Bener. Ikhlas?” kataku setengah menggoda. “Bener, pak,” jawabnya pendek. Hatiku merasa tentram. Di masjid baru 3 orang waktu itu. Kami berdua dan 1 orang perempuan di belakang.

Lagi aku menikmati adzan-nya. Hanyut. Tanpa terasa air mata mengalir cukup deras di kedua pipi yang cokelat sawo busuk. Aku teringat masa kecil se-usia Rohman, belum bisa Adzan. Baru bisa mengumandangkan tahap latihan SMP. Itupun bergetar. Suara-nya dan tubuhnya. Karena grogi. Sesekali aku toleh wajahnya. Aku merasa bersalah, karena bukan karena aku dia bisa adzan dengan bagus. Pasti guru-guru ngajinya waktu MI/SD dulu. Itu yang menyebabkan bulir-bulir air mata itu tumpah. Tangis ini aku sembunyikan darinya.
Sambil menunggu Imam Rowatib datang. Rohman bertanya, “Nanti ke pondok jam berapa pak,” pandangannya nanar. Ada sebersit kesedihan di matanya. “Ya hanya bapak, ibu dan mas. Simbah sudah sepuh (tua), kasihan. Kenapa le? Tetap semangat. Hari ini saatnya kamu belajar, tidak bisa bersenang-senang. Tetapi yakinlah, satu saat kamu akan tahu hasilnya. Maksud bapak dan ibu mengantarkan kamu ke pondok,” kataku tak kalah getir.

Tidak lama berselang. Imam Rowatib datang. Rohman iqamah. Lagi-lagi suaranya menyentuh kalbu. Sholat subuh selesai. Sampai di rumah. Taddarus. Rohman kembali cerita pengalamannya beberapa bulan di pondok. Dari makannya, tidurnya, jadwal kegiatannya hingga siapa teman-temannya. Dalam hatiku, satu hari ini aku ingin senangkan Rohman. Bentuknya? Nggak menyuruh-nyuruh yang sifatnya doktrin. Biarkan pikiran dan otaknya mengekplorasi  apa yang diinginkannya. Maka menjelang kembali ke pondok siang itu, aku banyak sharing apa keiginannya dalam waktu-waktu dekat saat nanti kembali ke pondok. Yang tidak boleh cuma satu permintaan. Yakni dibelikan HP. Itu saja. (bersambung……)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!