25 C
Jakarta

Rembulan di Atas Bukit Pajangan (bagian ke-23 )

Baca Juga:

# Mendekati Libur Panjang Lebaran.

Oleh Ashari*

Antara senang dan sedih (baper). Setelah mengetahui jadwal libur panjang lebaran diumumkan oleh pihak pesantren. Libur lebaran maju, santri-santri belajar dan mengajiĀ  di rumah mulai H-15 lebaran. Nanti santri masuk H+15 lebaran. Praktis santri di rumah sebulan. Senang, karena bisa berkumpul cukup lama dengan anak, setelah hampir setahun berpisah, secara reguler. Namun di bilik hati sebelah, sedih, karena khawatir tidak mengendalikan kebiasaan buruk di rumah. Tidak lepas dengan gedget.
“Tolong jenengan siapkan rambu-rambu, jika Rohman sudah di rumah,” pinta istri. ketika tahu liburan lebaran kali ini maju.
“Ya, bermain HP tetap boleh, tetapi harus dibatasi dik,” kataku serius. Sesaat kemudian aku letakkan buku Sirah Nabawiah yang sedari tadi aku tenteng.
“Tapi bukannya dia pulang, mau liburan dik. Kalau terlalu dibatasi nanti ngambek. Malah gak mau ngaji. Maklum usia pra remaja, masih labil,” sambungku tanpa sadar membela Rohman.
“Mas lupa, bagaimana libur 3 hari saja, dia sudah kembali ke kebiasaan awal. Harus tegas. Harus tega dengan anak. Kalau tidak, hanya karena alasan sayang, kasihan, cinta anak, malah akhirnya anak kendor untuk belajar. Aku gak boleh lama-lama main HP, mas mengijinkan, ya sama saja,” serangnya.
“Dilematis,”
“Gak delimatis. Kuncinya mas, mau gak tegas ke anak,”
“Siap,”
“Siap, siap, nanti kalau sudah sampai waktunya, lembek sama anak.”

Benar kata istri. Aku kadang tidak tega dengan anak. Apalagi Rohman. Boleh dikata dia anak yang diharapkan kelak dapat membawa nama baik orang tua. Orang jawa bilang, “Mendhem jero, mikul dhuwur,”. Aku sih inginnya mendidik anak itu seperti bermain layang-layang. Kadang ditarik kencang agar anak bisa naik. Prestasi tinggi. Ngaji bagus. Namun ada saat-nya tali dikendorkan, anak bisa main, rekreasi. Cuma dalam praktek-nya dalam kehidupan keseharian tidak mudah. Semuanya proses. Tiba-tiba aku ingat, entah ini hadits atau kata-kata motivasi, yang mengatakan bahwa Allah itu mencatat hambanya dari usahanya, soal hasil itu nanti.
Hari-hari menghitung kepulangan Rohman menjadi hari yang mendebarkan. 10 hari menjelang kepulangan, Rohman phone, minta dikirimi beberapa bekal yang habis. Tumben, kali ini dia kirim surat pendek. Padahal selama ini sangat jarang, yang namanya kirim surat. Padahal kalau aku nilai, meski aku bukan guru bahasa Indonesia. Tulisan Rohman cukup bagus. Rapi dan enak dibaca. Malu, katanya, ketika aku tanya kenapa jarang kirim surat.
Surat pendek Rohman. Yang dikirim lewat WA ustadz-nya.
Ā “Assalamualaikum wr.wb. Semoga bapak dan ibu sehat. Terimakasih selama ini atas doa dan bea yang dikeluarkan untuk Rohman, sehingga saya bisa mondok di sini. Sebelum liburan panjang. kalau ada waktu, minta dikirim beberapa : roti, makanan kecil lain, ikan cupang. Wassalamualaikum salam.

Meski pendek. Kata doa dan bea, membuat ulu hati ini tercekat. Rohman, anak sekecil itu, sudah bisa memikirkan orang tuanya mencari biaya untuk mondok. Meski setiap kali aku dan ibu-nya bilang agar tidak usah memikirkan biaya mondok. Karena itu ranah-nya orang tua. Beruntung dia termasuk yang tidak aneh-aneh untuk minta kebutuhan di pesantren. Mungkin tahu berapa pendapatan bapaknya. Tidak lama, pesanan Rohman aku gojek-kan. Hari itu juga aku mendapatkan balasan dari driver gojek, isi photo, gambar Rohman menerima kiriman. Nyengir. Senyum. Senang. Nampak gigi susunya tersusun rapi. (bersambung)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!