32.9 C
Jakarta

Rembulan di Atas Bukit Pajangan (bagian ke-38)

Baca Juga:

# Masa Lalu, Biarlah Berlalu.

KALAU ada yang mengatakan bahwa otak itu ada 2 : kanan dan kiri, aku tidak begitu peduli. Atau tepatnya tidak tahu. Karena mustinya dengan mengetahui bakat atau pasion, maka itulah potensi yang musti dikembangkan. Dieksplorasi dan di maksimalkan. Sementara aku sedari kecil lebih banyak mengalir. Akibatnya sering salah jurusan dalam sekolah. Tidak perlu menyalahkan siapa-siapa. Selain sudah terjadi, juga khawatir memunculkan suasana keruh dalam keluarga. Lebih dari itu tidak ada gunanya. Syukuri.

Sebagai misal, SMA awal tes penjurusan atau IQ, hasilnya aku masuk IPS. Tetapi karena nilai raport bisa masuk ke IPA, maka oleh guru/wali kelas aku dimasukkan ke kelas IPA (biologi). Waktu itu enjoy saja. Belum merasakan beratnya otak untuk menyesuaikan. Perasaan,  pelajaran matematika nikmat saja. Anehnya, aku yang dijurusan biologi, justru merasa berat di mapel biologi. Sekarang aku baru tahu, itu karena aku salah jurusan. Salah jalur. Tapi siapa yang bisa mengarahkan? Mengalir saja.

Bahkan pernah aku beberapa kali maju mengerjakan PR Matematika dan Fisika, waktu itu. Tetapi setelah aku ingat-ingat, bukan karena aku bisa, apalagi pinter, namun lebih karena untuk urusan tampil di depan ada rasa PD. Gak grogi. Maka ketika aku maju dan salah, bagi aku itu bukan aib. Biasa saja. Itu SMA. Keberanian tampil didepan mulai muncul. SMP masih clingus ( malu-malu ).

Kuliah ? Nah ini, kalau ingat, kadang-kadang aku merutuk diri sendiri. Bayangkan, karena merasa nilai matematika cukupan, aku beranikan diri daftar di fakultas Kedokteran Umum (KU) UGM lagi. Sebagai pilihan utama. Pilihan ke-dua Fisipol UGM. Ketiga Psikologi UGM.
“Benar ini?” kata Hartono teman sebangku melirik, setelah melihat jurusan yang aku pilih. Dia ragu, aku diterima.

“Benar Har. Siapa tahu,” jawabku, mantap. Tapi tanpa analisa.

“Saingan berat lho,” kata Hartono lagi.
“Gak papa.” Jawabku tertutup masukan dari teman sebangku.
Yang ada pikiranku waktu itu, kalau diterima di Fakultas Kedokteran Umum UGM, tentu akan mengejutkan. Aku tahu bahwa yang daftar banyak, karena dilihat animo tahun lalu dari data di buku Sipenmaru ( Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Namun seolah bener tertutup oleh masukan teman. Misal tidak diterima pilihan 1, bisa masuk di pilihan ke-2 atau ke-3.

Sekarang baru tahu kalau semua jurusan yang aku pilih masuk pada kategori yang banyak saingan.
Saat menjelang pengumuman Sipenmaru di koran. Sudah bisa ditebak, namaku tidak ada satupun yang nyangkut di 3 fakultas yang aku daftar. Aku terlempar. Jauh. Sedih? Iya, tetapi hanya sebentar. Karena setelah itu aku mendaftar di Teknis Mesin D-3 UGM. Alasannya lebih tidak masuk akal. Hanya ingin, kalau berangkat kuliah bisa bareng bapak kerja. Karena bapak bekerja tidak jauh dari kampus tersebut. Meski semua orang dikaruniai potensi untuk belajar, namun bukan pasionnya memang berat. Lha, aku tidak begitu paham sejak kecil. SMA, IPA (biologi), kok mau daftar Teknik Mesin? Aku sekarang baru ingat teori kesimbangan otak kanan dan otak kiri. Seandainya aku masuk di Fakultas Kedokteran Umum, atau Teknik Mesin UGM, mungkin otak saya tidak mampu.
Allah memilihkan jalan yang tidak terlalu berat. Meski di Fakultas FISIP, aku masuk jurusan Administrasi Negara (Adne) UT Jogja.- kelompok IPS. Bukan IPA. Ini jelas sudah keluar jalur dari SMA. Alasannya sederhana, dan terkesan untuk pembenaran diri. Karena nyambi bekerja, maka ambil kuliahnya tidak yang berat-berat. “Itu saja lulusnya mundur,” batinku.

IP-nya juga tidak istimewa. Ini membuktikan bahwa aku tidak terlalu pinter. Biasa-biasa saja.
Aku ingat petuah, entah dari siapa ya: jika kamu bukan anak raja dan ingin dikenal orang maka menulis-lah. Berangkat dari sini, aku mencoba mengasah diri. Mengingat tidak punya bekal jurnalistik secara formal, maka aku mencoba banyak mencari referensi tentang menulis. Dari bukunya Arswedo Atmowiloto, Mengarang itu Gampang, atau Jurus jitunya Achmad Munif dalam Menulis itu seperti di rimba persilatan. Bak petarung. Harus ada yang menang dan kalah. Maka selain harus kuat, bekal satu lagi adalah istiqamah, bahasa agamanya. Tangguh. Beberapa pelatihan atau seminar kepenulisan aku ikuti. Jaman itu, belum ada model daring, zoom atau google meet seperti era sekarang. Ikut seminar ya datang langsung.

Awal perkenalan dengan jurnalistik, aku sempat magang di sebuah penerbitan mingguan di Jogja. Cukup membantu untuk mengasah kepekaan dan kecepatan dalam menulis. Seorang redaktur senior mengatakan kalau masih muda tidak pas, menulis opini atau wacana, itu adalah porsinya dosen, analisis yang banyak gelarnya. Sementara kalau masih muda, maka menulis harus dengan nara sumber alias wawancara. Jadilah aku wartawan di mingguan tersebut yang suka wawancara dengan banyak sumber. (bersambung )

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!