29.2 C
Jakarta

Rembulan di Atas Bukit Pajangan (bagian ke-42)

Baca Juga:

# Mencoba Pertanyaan yang Berbeda

Oleh : Ashari.

Jatah phone setiap Sabtu atau Ahad, memang selalu dinanti. Namun kadang karena kesibukan di kantor atau di kebun, jatah phone baru ingat kalau malam tiba. Kalau sudah ingat. Rasa kangennya menderu-deru. Namun tidak aku perlihatkan secara verbal ke istri. Lebih banyak mengadu kepada pemilik bumi langit, agar Rohman dan semua santri dan Ustadz di sana diberikan kesehatan. Belakangan dapat kabar kalau teknis phone ke santri lebih flexibel. Luwes. Santri dipegangi phone jadul yang penting bisa dihubungi oleh orang tua/walinya. Memang gak bisa lihat gambar atau photonya, namun durasi dan waktu phone lebih luwes. Alhamdulillah.

“Assalamualaikum….,” suara Rohman di sebrang. Masih agak serak-serak basah. Pembicaraan ngalor-ngidulpun terjadi. Dari tanya soalnya bagaimana kesehatannya hingga makannya. Namun pertanyaan yang selalu dihafal oleh Rohman dari aku adalah, katanya aku selalu bertanya, sudah sampai juzz berapa le? Ya Allah, aku ingat-ingat ternyata benar. Itu pertanyaan spontan dan standar yang aku ajukan, ketika aku sudah kehabisan kata-kata mau ngomong apa. Sampai istripun juga kadang mentertawakanku dengan pertanyaan standar itu.
“Sampai juzz berapa le,” ini kurang lebih pertanyaanku. Tiada henti. Setiap kali sambung udara WA denga Rohman.

Sebenarnya Rohman tidak marah atau cemberut dengan pertanyaan itu. Aku bisa baca dari nada bicaranya. Karena setiap kali aku tanya itu, dia juga menjawab dengan antusias. Kalau raut wajah, tidak tahu karena aku tidak bisa melihat wajahnya. Toh menjawab dengan setengah hati, marah, jengkel, bisa dilihat dari ekspresi kata-kata atau diksi yang dipilihnya.
“Juzz 6 pak, mulai jalan,” jawab Rohman mantap. Tidak lama berselang aku mendapatkan kiriman photo dari musrif (ustdaz-nya) yang baru, Ust. Rasyid-  saat Rohman sedang halaqah, setor hafalan. Padahal  selama ini, atau tepatnya selama menjadi muridnya (santrinya) sangat jarang ustdaz mengirim photo.

Aku mencoba menghentikan pertanyaan serupa. Kenapa? aku khawatir salah niat, ketika memasukkan Rohman ke pondok. Aku khawatir Rohman adalah ambisi pribadi atau keluarga agar dia bisa menghafal Al-Quran, hanya untuk gagah-gagahan orang tua. Orang tuanya bangga, ketika ditanya anaknya bisa hafal Quran. Meski kadang terbersit hawa kesombongan itu muncul, aku mencoba menahannya. Sedalam-dalamnya. Semampu-mampunya.

Alasan kedua, semakin Rohman banyak hafalannya, sesungguhnya aku semakin malu diri. Karena toh sampai umur 50-an belum juga bisa menghafal 1 juzz. Yakni juzz 30. Mengapa aku setengah menuntut anakku untuk banyak menghafal Al-Quran? Padahal tanggung jawab amal adalah diri sendiri. Bukan dibebankan kepada orang lain. Kepada anak-istri sekalipun. Aku jadi ingat firman Allah dalam surat As-Saf ayat-ayat awal. Celaka besar orang yang hanya bisa berkata, namun tidak bisa menjalankannya. Astahgfirullahaladzim.

Namun namanya manusia. Kadang ketika jatah phone itu tiba. kadang pertanyaan itu kadang akan muncul juga. Untung istri yang sering di sebelah, selalu mengingatkan. “Ayo tanya yang lain,” colek istri. Kalau sudah begitu, hatiku mohon ampun kepada-Nya.

Tidak munafik, kalau Rohman bertambah hafalannya aku senang. Gembira. Bersyukur. Hanya aku tidak ingin salah niat saja. Untuk menutup kesalahan-kesalahan masa lalu, yang tidak begitu akrab dengan kitab yang diturunkan kepada Malaikat Jibril ini, maka aku coba lebih berintim-intim dengannya. Meski jujur belum maksimal. Masih banyak waktu mainnya. banyak tidurnya. Ini kata istri. “Kerja di luar maksimal, berangkat pagi, pulang sore, kalau sudah di rumah tidur,” ini kata istri. Aku hanya diam. Karena mau marah, mau ngambek gak berarti. Karena kenyataannya lebih banyak benarnya.

Namun belakangan aku mencoba mengubah diri. Pelan-pelan. Dalam sunyi. Tanpa publikasi. Aku coba menghafal nama-nama surat dalam Al-quran yang 114 itu. Alhamdulillah hafal. Dari surat pertama hingga terakhir. Baru nama suratnya dulu. Isinya, kandungannya, masih belum banyak mengerti. Jumlah ayat dalam surat ternyata bisa juga dihafal. Ini memang kitab suci yang luar biasa. Konon hanya Al-quran yang bisa dihafal oleh umatnya. Oleh pengikutnya. Artinya tidak ada kitab suci yang bisa dihafal oleh pengikutnya selain Al-Quran. Diakui oleh pengikut agama lain. Subhanallah.

Yang aku masih kadang bingung adalah ketika hendak menghafal Al-quran, dari mana memulai? Juzz 30 atau juzz 1 dulu. Ini yang menyebabkan aku bolak-balik. Tapi aku tidak menyesal maju mundur coba menghafal . Satu-satunya penyebab penyesalan adalah keterlambatan dalam mendekati kitab suci ini. Selebihnya adalah mencoba enjoy. Mencoba.
(bersambung)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!