30.3 C
Jakarta

Rembulan di Atas Bukit Pajangan (bagian ke-46 )

Baca Juga:

# Masa Lalu, Bagian dari Masa Kini

USIA 13 tahun dalam padangan agama disebut usia “ma-ahu ssya’-ya” (bersandar QS. As-Saffat, ayat 102). Usia yang mulai sanggup diajak bekerja. Para ahli tafsir menjelaskan adalah usia belasan. Belasan Tahun. Itulah usia Ismail kecil waktu itu akan dikorbankan oleh Ibrahim. Melalui prosesi penyembelihan yang penuh heroik. Kecintaan Ibrahim diatas segalanya, menyebabkan meski perintah itu hanya lewat mimpi, maka tetap dilaksanakannya. Sementara Ismail yang memang sudah dipersiapkan menjadi nabi kelak, mempunyai hati bak mutiara.

Konon, kesiapan Ismail untuk dikorbankan ayahanda Ibrahim salah satu sebab adalah karena kedekatan emosional antara seorang ayah-anak. Sehingga meski perintah itu hanya lewat mimpi, Ismail yang masih usia belasan tahun, tidak lagi membantah apalagi minta ayahnya lebih tua. Namun ujung percakapan yang “miris” itu, Ismail berkata: Insya Allah engkau akan mendapati termasuk orang yang sabar. Kata-kata yang jarang dikatakan seorang anak.

Perintah ini sebenarnya Ibrahim bisa sampaikan lewat istrinya yang notabene ibunya Ismail, yakni Hajar. Yang tentu secara naluri lebih dekat. Hubungan ibu-anak. Namun mengapa Ibrahim sendiri yang menyampaikannya. Tentu disisi lain, sebagai manusia biasa, ada pilu di sudut hatinya. Para ahli tafsir menjelaskan lantaran kedekatan ayah-anak ini tidak terbantahkan. Memberikan pelajaran kepada kita semua, agar kita sebagai ayah, sebagai bapak sudah semestinya dekat dengan anak. Jangan sampai karena alasan bekerja, sibuk, rapat, meeting kemudian menjadi abai dengan anak.

Itu pengantar. Aku hanya mau mengatakan seusia itu iman Ismail sudah sangat mantap. Meski belum menjadi nabi. Namun karena tinggal dalam suasana kontruksi agama (din) yang mapan, maka jiwa Ismail kecil sudah terbentuk. Terpatri kuat. Bagaimana dengan aku? Bagaimana dengan Rohman? Sangat beda jauh. Tiba-tiba ingatanku melayang mundur. Jauh kemasa silam. Meski tidak semuanya teringat jelas, namun garis-garis memori itu masih menyambung. Benang merahnya masih nampak.
“Justru kita diberi nikmat lupa oleh Allah, harus kita syukuri. Kalau kita semua ingat masa lalu. Maka bagi yang masa lalunya kelabu akan selalu dihantui,” kata Ustadz Agus Rahmanto, pimpinan pondok di atas bukit itu dalam kajian rutinnya yang sering akan dengar atau simak ulang.

Benar juga. Kalau kita ingat semua, justru kita akan stress. Mungkin malah malam hari tidak bisa tidur. Subhanallah. Yang aku ingat waktu usia itu, SMP kelas 1. SMP Negeri. Aku ikut kakek-nenek. Jauh dari belaian ayah ibu. Pagi sekolah, siang sore mencari rumput untuk 5 ekor kambing. Setiap harinya. Mengaji? Aku coba mengingat kuat apa aku tidak mengaji usia SMP itu, hingga SMA saja aku belum bisa membaca Al-Quran. Kemana saja aku waktu usia 12-13 tahun itu? Sela-sela sekolah dan kesawah? Main? Rasanya tidak juga. Tapi mengapa belum bisa mengaji? Kakek aku cukup bisa mengaji dengan baik. Minimal hafalan surat pendeknya cukup banyak.

Oh iya. Nyut..aku ingat. Usia itu aku sempat ikut mengaji di kampung sebelah, namanya ngaji turutan. Belum ada iqra. Tetapi mungkin karena tidak serius atau IQ-ku yang jongkok, belum juga bisa. Yang aku ingat usia SMP, adzan saja masih grogi. Gemetar. Aku masih ingat beberapa guru turutan yang juga didatangkan dari desa lain. Ust Yuman. Sekarang menjadi guru di dekat kampungku.
Di sekolah? Ada pelajaran agama Islam. Namun karena jamnya sedikit, maka tidak banyak waktu untuk menge-cek sejauh mana kebisaan, siswa dalam membaca Al-Quran. Seingatku lebih banyak hafalan waktu itu. Usia emas (golden age) yang mestinya ditempa ntuk belajar agama, namun ternyata banyak waktu yang hilang. Membaca Al-Quran saja belum bisa, bagaimana mungkin aku memikirkan hafalan surat-surat pendek. Jauh. Jauh tidak bisa.
“Ya Allah, ampuni hambamu ini,” tiba-tiba kata itu keluar dari mulutku. Aku tentu tidak menyalahkan keadaan masa lalu yang kurang mendukung untuk belajar agama. Karena mungkin situasinya memang demikian. Pasti ada hikmah-nya dibalik semua itu. Itulah kata-kata yang paling tidak bisa menenangkan hatiku. Minimal tidak menyalahkan diri sendiri dan keadaan.
Juz amma yang dimulai dari Surat An-Naba (78) hingga An-Naas (114 ). Ada 36 surat. Praktis waktu itu aku hanya hafal beberapa surat saja, yang bisa dihitung dengan jari kanan atau kiri. Hafal 10 surat? Gak ada. Paling hanya 5-6 saja. Itupun karena sering mendengar, bukan karena sengaja menghafalkan seperti sekarang ini, yang aku coba memaksa diri untuk menghafalnya. Seperti kita tahu, bahwa Al-Quran itu bisa kita hafal hanya karena sering mendengar. Tidak sengaja, tahu-tahu sudah hafal dengan sendirinya.
Bagaimana dengan Rohman? Usia 12-13 tahun sudah jauh dari orang tua dan keluarga demi belajar agama. Menghafal juz amma salah satunya. Apakah aku memaksanya demi ego aku sendiri? Semoga tidak. Aku hanya tidak ingin Rohman, bodoh seperti bapaknya. Aku tidak ingin Rohman kehilangan masa emasnya belajar hilang. Kalau dibilang aku paksa Rohman, mungkin sedikit ada benarnya. Namun semoga jauh dilubuk hatinya – ia juga pingin mondok. Lebih khusuk dan istiqamah. Bagaimana jika belajar di rumah sendiri? Aku tidak bisa menjamin bisa mengkondisikan suasana. Apalagi aku ini orangnya “gak bisa-nan”, untuk mengatakan tidak/kurang tegas. Maka demi alasan kasih sayang dengan anak, jika di rumah bisa jadi semua keinginanya aku berikan. Alasannya sayang anak, padahal itu semuanya adalah menjerumuskan.

“Bagaimana jika Rohman nanti mondok habis MI le?” aku masih ingat pertanyaan itu. Ia tidak menjawab iya, namun yang ditanyakan di pondok ada sepak bola tidak? Maka aku cari pondok yang ada ekstranya main bola. Ketemulah di pondok yang ada di atas bukit Pajangan ini. Sejak kelas 4 MI, ia sudah biasa main ke sini. Minimal ketika liburan Ramadhan seminggu, maka Rohman sudah mulai nyantri disini. 5 hari. Menginap. Aku masih ingat benar. Awal-awal Rohman masih sering menangis. Maklum kelas 4 MI, usia 10 tahun, masih ke-ibuan. Kebapak-an? Kayaknya tidak. Dia lebih dekat dengan ibunya. Itulah sebabnya aku terus belajar dari kisah diatas, bagaimana agar bapak bisa dekat dengan anak. Kini diusianya 13 tahun aku dengar dari musrif-nya ia sudah hafal 8 juzz-jalan. Juz 29-30 lanjut Juz 1-6. Sedangkan aku, masih sangat jauh. Jauh ketinggalan. (bersambung)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!