30.8 C
Jakarta

Rembulan di Atas Bukit Pajangan (bagian ke-66 )

Baca Juga:

#Hikmah Selalu di Belakang.

Seperti adagium yang sering kita dengar dan kita pahami: penyesalan selalu datang belakangan. Layaknya, hikmah juga selalu hadir diakhir peristiwa. Apapun. Seperti kemarin di pondok pesantren  di atas bukit itu, memberikan pengumuman larangan untuk wali santri menjenguk putra-pitrinya meski hanya di lapangan sepak bola. Modus nonton bola di lapangan ini memang setelah aku pikir, tentu setelah hati bening, aku bisa pahami dan menarik sebuah konklusi kebenaran. Analoginya sederhana : pondok tidak bisa memantau orang tua/wali yang menjenguk itu benar-benar bebas dari paparan virus Covid-19. Karena tidak ada petugas yang memantaunya. Sementara di pinggir lapangan, meski tidak lama mereka saling bertemu. Tidak jarang di antara mereka saling cipika-cipiki (cium pipi kanan-kiri), saking rindunya. Mereka ‘muntahkan’

Jika kemudian terjadi penyebaran virus dan menjadi klaster baru, tentulah pihak pondok yang disalahkan. Bukan person to person, wali atau orang tua yang menengoknya tadi. Aku mengangguk dalam hati dan kepala. Tanda setuju.
“Kenapa dulu, kadang menengoknya,” tanya hatiku sendiri
“Ya, karena ….benar. Belum paham. Masih menggunakan teori pembenaran: hanya sebentar,” jawab hatiku juga.
Muncul sanksi bagi yang melanggar, maka yang terkena adalah anaknya. Tidak boleh bermain bola sebulan. Kalau sudah begini, biasanya orang tua/wali – kemudian mengikuti. Karena sebenarnya semua yang mereka lakukan adalah demi masa depan anak.

Terhadap aturan baru pondok ini, aku sengaja tidak menjaring pendapat teman, atau wali santri yang lain, meski lewat WA. Khawatir menimbulkan banyak interpretasi yang berbeda. Karena angle dan sudut pandang bisa tidak sama. Maka aku memilih diam. Setuju. Meski sejujurnya, rasa kangen kepada anak, sering menusuk-nusuk jantung dan merobek relung hati. Aku pikir perasaan ini dialami hampir semua orang tua yang berpisah cukup lama dengan buah hatinya. Aku mencoba menahannya. Rasa ingin protes, berontak dan rasa tidak nyaman lainnya, aku telan, bagai minum jamu. Pahit. Tapi aku yakin, menyehatkan. Aku ingat pesan ibuku yang aku genggam erat: hikmah selalu di belakang.

Belum selesai merasakan pilunya aturan tidak boleh menengok anak atau santri di pinggir lapangan. Disusul, WA dari pondok siang tadi. Sebenarnya hanya sederhana. Namun bagiku cukup membuat dahi ini berkerut : jadwal phone hari Ahad ini dihapus dengan alasan santri besok pagi (Senin) selama sepekan akan ujian mid semester.  Sebenarnya aku sudah mau ‘naik darah’. Namun istri mencoleknya. “Gak perlu, ikuti aturan pondok. Seminggu toh tidak lama. Doakan saja semoga ujiannya lancar.”

Ditambah kata-kata mantra dari ibu: Rohman jangan sering-sering ditengok. Doakan semoga kerasan. Dua nasehat itu membuat adrenalin kemarahan turun drastis. Drop. Dalam hatiku mengucap istifghfar.

Sebenarnya aku hanya pingin klarifikasi kepada manajemen pondok bahwa larangan phone hari Ahad ini tidak adil. Karena Sabtu kemarin diijinkan. Namun lagi-lagi istri mengingatkan.
“Gak usah banyak protes. Yang kemarin Sabtu bisa phone, itu rejeki orang tua santri. Insya Allah, Rohman kuat. Toh selama ini baik-baik saja.”
“Iya sih, tapi mengapa Sabtu boleh, Ahad tidak. Sementara Rohman gak dapat jatah kemarin.”
“Gak apa-apa. Nanti ndak Rohman malah banyak kepikiran, kalau orang tuanya tidak tenang, ribut.”
Dalam banyak hal, istri lebih stabil emosinya. Terlebih untuk urusan kebutuhan phone dengan Rohman. Beda dengan aku yang kadang meledak-ledak. Meski kalau pas ketemu lewat phone, aku banyak diam. Kaku. Itulah aku. Aku misal bertanya ya, pertanyaan standar. Flat.

Namun, perasaan tentram mulai menjalar dalam kalbu, ketika ingat belum genap seminggu lalu kami bisa kirim paket untuk Rohman lewat jasa kurir. Yang biasa kami bawa saat nengok di pinggir lapangan. Artinya Rohman punya bekal cadangan. Selain yang sudah tercukupi di pondok. Selain lihat unggahan foto dari pondok tentang kegiatan yang dishare di gruop wali. Biasanya jika waktu sudah luang, kami main zoom untuk melihat anak masing-masing.

###

Malam Senin, pulang dari siaran di Radio Komunitas milik desa, mata sulit terpejam. Padahal hampir jam 12 malam. Untuk membunuh rasa kangen anak yang tiada ujung ini, aku coba ambil air wudhu. Sholat. Namun bayangan Rohman malah makin melekat. Senyumnya, Jalannya, larinya, ngomongnya. Semuanya. Aku perbanyak mohon ampun kepada-Nya. Yang maha membolak-balikan hati seseorang. Agar kecintaan kepada anak ini tidak melalaikan tujuan jangka panjang. Memberikan pendidikan agama yang lebih baik, dibanding orang tuanya. Aku tertidur dalam lupa. (bersambung )

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!