24.5 C
Jakarta

Rembulan di Atas Bukit Pajangan (bagian ke-8)

Baca Juga:

Hikmah Dibalik Musibah

Dalam perkembangannya Fauzan mengalami banyak kemunduran. Benar kata dokter. Saya sendiri merasa siap dengan kondisi kakaknya Rohman ini. Tubuhnya relatif kurus. Kecil. Baru bisa berjalan normal umur 3 tahun. Padahal kalau anak kebanyakan, 1 tahun rata-rata sudah bisa berjalan. Termasuk bicaranya juga lamban. Hanya bisa mengucap beberapa patah kata, itupun tidak jelas. Dan yang terakhir adalah daya nalarnya. IQ-nya rendah. Maka aku tidak malu untuk memasukkan ke sekolah LB (SLB).

Pernah mau asrama di sekolah LB. Menginap. Mandiri. Namun aku belum ikhlas benar. Sebab masih khawatir bagaimana dia nanti MCK-nya. Meskipun istri waktu itu ingin biar dia mandiri di asrama. Tapi aku tetap ngotot, biar dia di rumah. Kalaupun toh harus sekolah di LB dan antar jumput, aku siap.
“Bener, gak capek nanti, mas, wira wiri,” kata istri waktu itu.
“Gak. Gak ada kata capek untuk anak,” jawabku, tanpa pikir panjang.

Namun dalam kenyataannya ternyata istri banyak membantu untuk urusan antar jemput ini. Aku hanya mengucapkan terimakasih, meski dalam hati. Aku sering terbentur acara kantor yang tidak bisa dihindari. Jika sudah demikian, maka aku cukup WA untuk menjemput Fauzan. Dia berangkat jam 7.30 pulang jam 14.00. Karena kesibukan kami, guru-nya di SLB memberikan kelonggaran kepada kami, untuk dijemput jam berapa saja boleh.
“Terserah bapak saja, bisa dijemput jam berapa, asal masih jam sekolah. Masih ada bapak ibu guru disini,” kata bu Asih, guru Fauzan yang lumayan sabar.
“Makasih bu, kelonggarannya,” jawabku.
Aku melihat sendiri, kadang saat makan siang, jika Fauzan tidak mau makan, diam saja, maka teman-temannya yang menyuapi. “Ayo Zan, makan ini aku suapi,” kata temannya. Dia hanya senyum. Kemudian melahap makanan itu.

Tak terasa air mata menetes. Sebegitu perhatian teman-temannya, sesama anak luar biasa.
Semua itu memberikan pelajaran hidup. Bagaimana kita harus siap membantu orang-orang lain. Pikir saya, anak yang diberikan anugrah kekurangan saja, mau berbagi dan membantu, apalagi kita yang diberikan kewajaran. Mustinya lebih. Namun kadang kita lebih egois.

****
Dalam setiap pertengkaran atau tepatnya beda pendapat dengan istri, maka Fauzan ini yang sering melerai. Penengahnya. Meski dengan bahasa seadanya. Misal, “Bapak akal,” maksudnya bapak nakal. Artinya saya tidak boleh berbuat nakal, jahat kepada istri. Istilah dalam agama, mungkin dholim. Ketika terbersit, berbuat dosa, ingat Fauzan di rumah, maka keinginan jahat ini, dengan sendirinya luruh. Jika pulang kerja, tidak lihat dia di rumah, maka aku carinya. Pernah pergi tanpa pamit. Kami sekeluarga bingung mencarinya. Ternyata dia sudah berada diujung desa, hendak menyebrang jembatan ke desa lain, ketika ditanya orang, mau kemana, jawab,”Cari bapak,” jawab-nya. Dia hanya bicara dua kata. Tidak lebih. Selebihnya hanya diam atau menangis.
Sesekali Fauzan memang pernah menanyakan adik-nya. Mungkin kangen, pikirku. Bagaimanapun anak seperti itu tetap mempunyai rasa rindu.
“Di Pajangan, mas,” jawabku.
“Di Bantul, mas,” sambungku.
“Di Bantul ngapa?”tanya-nya lagi,
“Ngaji,” jawabku. Sengaja jawabnya pendek-pendek. Sebab kalau panjang, dia bingung.
Sekarang sudah menancap dalam pikirannya, kalau satu saat diajak tengok adiknya, maka yang terbersit dalam benaknya adalahnya Fauzan sedang ngaji. ……..(bersambung)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!