Oleh: Budiawan – KAM Institute
JAKARTA, MENARA62.COM – Ketika Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengganti nama RSUD Al-Ikhsan menjadi RSUD Welas Asih, berbagai reaksi keras langsung bermunculan. Sebagian publik menuding langkah ini sebagai bentuk penghilangan identitas keislaman. Bahkan ada yang menyebut ini sebagai “dekonstruksi simbolik” terhadap warisan Islam dalam pelayanan kesehatan. Namun benarkah demikian? Atau justru ini adalah strategi bisnis yang sah dan rasional?
Mari kita lihat dari perspektif yang lebih luas dan mendalam: antara realitas manajemen modern, tuntutan profesionalisme publik, dan dinamika simbol keagamaan dalam ruang sosial kontemporer.
Rebranding: Praktik Umum dalam Strategi Bisnis
Dalam dunia bisnis modern, rebranding bukanlah hal aneh. Ia adalah bagian dari upaya menyelaraskan identitas lembaga dengan visi baru, target pasar baru, atau pergeseran nilai tambah yang hendak ditawarkan kepada publik.
“Brands are not static; they evolve with their markets.”
Philip Kotler
Jika seseorang membeli rumah sakit Katolik bernama St. Mary Hospital dan ingin menjadikannya pusat kesehatan berbasis teknologi digital yang inklusif, tentu logis jika namanya diubah menjadi RS Pratama Nusantara. Ini bukan penolakan terhadap anti Khatolik atau anti Barat, tapi bagian dari reposisi ke depan.
Demikian pula halnya dengan RSUD Al-Ikhsan. Mengganti nama menjadi RSUD Welas Asih bisa dibaca sebagai upaya Pemerintah Provinsi untuk menghadirkan rumah sakit yang lebih inklusif dan berorientasi pada nilai-nilai universal kemanusiaan —tanpa harus menghapus nilai Islam itu sendiri.
Mengapa Rebranding Dilakukan?
Dalam kerangka pemasaran strategis, rebranding biasanya dilandasi oleh sejumlah alasan yang sangat rasional, antara lain:
1. Perubahan kepemilikan atau struktur organisasi.
2. Ekspansi layanan atau segmentasi pasar.
3. Pembaruan visi dan misi institusi.
4. Menghapus citra negatif masa lalu.
5. Reposisi untuk menjawab tantangan zaman.
Apakah Pemprov Jawa Barat tidak boleh melakukan itu? Tentu boleh. Justru menjadi aneh jika sebuah institusi publik tidak merespon perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat majemuk yang dilayaninya.
“The art of marketing is the art of brand building. If you are not a brand, you are a commodity.”
— Philip Kotler
Simbolisme: Penting, tapi Bukan Segalanya
Memang, dalam konteks masyarakat Indonesia yang religius, simbol keagamaan memiliki makna yang dalam. Namun harus diakui pula bahwa makna sejati dari pelayanan publik tidak semata ditentukan oleh nama atau simbol, tapi oleh kualitas, integritas, dan etos kerja yang mendasarinya.
Nama “Welas Asih”—yang bermakna kasih sayang dalam bahasa Sunda—adalah nilai yang sangat Islami. Ia sepadan dengan “rahmah” dalam ajaran Islam. Bahkan nilai itu juga hidup dalam ajaran Kristen, Hindu, Buddha, dan prinsip kemanusiaan universal.
Jadi, mengapa harus alergi pada frasa lokal yang justru merangkul banyak makna kasih dan welas asih itu sendiri?
“Brand equity lies not in the name, but in the experience it creates.”
— David Aaker
Komunikasi Publik: PR yang Terlupakan?
Namun di sinilah titik lemahnya pemerintah. Dalam dunia manajemen perubahan, setiap proses transformasi—termasuk perubahan nama—harus diiringi dengan komunikasi publik yang kuat dan narasi yang transparan.
Tanpa itu, masyarakat akan mudah mencurigai niat di balik perubahan. Dan celah ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk membingkai isu ini secara ideologis, bahkan politis.
Sayangnya, proses rebranding RSUD Al-Ikhsan menjadi RSUD Welas Asih tampaknya dilakukan dengan miskin komunikasi. Tidak ada penjelasan resmi tentang arah baru rumah sakit, tidak ada keterlibatan publik dalam proses, tidak ada sosialisasi tentang nilai-nilai yang tetap dipertahankan.
Maka wajar jika sebagian masyarakat merasa kehilangan.
Profesionalisme Layanan Publik: Esensi yang Sering Dilupakan
Seharusnya kita lebih fokus pada pertanyaan fundamental: apakah rumah sakit itu dikelola dengan baik? Apakah pelayanannya bermutu? Apakah terjangkau bagi rakyat kecil? Apakah transparan dalam keuangan dan penggunaan anggaran?
“Manajemen yang baik tidak cukup hanya dengan niat baik. Ia butuh sistem, kompetensi, dan orientasi pada hasil.”
— Peter Drucker
Kita harus mulai mendorong entitas publik seperti rumah sakit, sekolah, pesantren, bahkan BUMD, untuk bertransformasi menjadi organisasi modern yang efektif, bukan sekadar mempertahankan simbol atau jargon.
Simbol penting, tapi tidak boleh menggantikan performa.
Rebranding Bukan Anti-Islam
Tuduhan bahwa perubahan nama RSUD Al-Ikhsan menjadi Welas Asih adalah bentuk “penghapusan identitas Islam” justru mereduksi nilai Islam hanya sebatas simbol. Padahal Islam lebih besar daripada sekadar nama—ia hidup dalam tindakan, keadilan, pelayanan, dan kasih sayang kepada sesama manusia.
Jika RSUD Welas Asih nantinya justru memberikan layanan kesehatan yang lebih baik, memperlakukan pasien dengan empati, dan menjangkau kelompok miskin tanpa diskriminasi, bukankah itu lebih Islami daripada nama yang sekadar bernuansa Arab?
Jangan sampai kita lebih sibuk memperjuangkan nama Arab, tapi abai terhadap pelayanan yang tak manusiawi.
Penutup: Melampaui Nama, Menyelami Makna
Rebranding adalah bagian dari dinamika zaman. Yang dibutuhkan saat ini bukan sekadar debat nama, tapi pengawasan publik yang cerdas terhadap substansi layanan. Jangan berhenti pada simbol—selami apakah nilai Islam, kemanusiaan, dan profesionalisme benar-benar hadir dalam sistem rumah sakit itu.
“Your brand is a story unfolding across all customer touch points.”
— Jonah Sachs
Dan cerita terbaik bukanlah tentang nama—tetapi tentang makna pelayanan. Kalau pelayanan rumah sakit itu baik, adil, berkualitas, dan penuh kasih sayang, maka apa pun namanya— Al-Ikhsan, Welas Asih, atau bahkan Rumah Sakit Rakyat—itu tetap menjadi rumah sakit yang dirindukan umat.
—
Referensi
1. Kotler, P., & Keller, K. L. (2016). Marketing Management (15th ed.). Pearson Education.
2. Aaker, D. A. (1996). Building Strong Brands. Free Press.
3. Cook, S. (2006). Customer Care Excellence: How to Create an Effective Customer Focus (5th ed.). Kogan Page.
4. Muzellec, L., & Lambkin, M. (2006). Corporate rebranding: Destroying, transferring or creating brand equity? European Journal of Marketing, 40(7/8), 803–824.
5. Miller, K., Merrilees, B., & Yakimova, R. (2014). Corporate rebranding: An integrative review of major enablers and barriers to the rebranding process. International Journal of Management Reviews, 16(3), 265–289.
