JAKARTA, MENARA62.COM – Pemerintah telah membentuk Otoritas Jasa Keuangan atau OJK sebagai lembaga independen yang berperan menyelenggarakan sistem dan pengawasan terhadap seluruh kegiatan di sektor keuangan. Kegiatan tersebut meliputi kegiatan yang ada di sektor perbankan, pasar modal, hingga sektor jasa keuangan non bank seperti asuransi, dana pensiun, lembaga pembiyaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya.
Meski sudah ada OJK, dalam praktiknya di lapangan, kasus-kasus penipuan seperti investasi bodong dan munculnya perusahaan fintech yang menteror kehidupan masyarakat amat sering terjadi.
“Dalam laporannya, OJK memperkirakan investasi bodong telah merugikan masyarakat senilai total Rp114,9 triliun,” kata Rektor Universitas Kristen Indonesia (UKI) Dr. Dhaniswara K. Harjono, S.H., M.H., MBA saat membuka Webinar bertajuk Menilik Satu Dekade Otoritas Jasa Keuangan yang digelar Magister Hukum UKI, Jumat (25/6/2021).
Dengan munculnya kasus penipuan pada sektor industri keuangan tersebut lanjut Rektor, wajar jika masyarakat bertanya apa yang dilakukan OJK selama satu dekade ini? Dimana wewenang OJK ketika kasus-kasus tersebut muncul?
Pertanyaan serupa juga dilontarkan Masinton Pasaribu, anggota MPR RI. Dalam kesempatan yang sama Masinton menjelaskan bahwa ide dibentuknya OJK sebagai lembaga independen adalah untuk membantu pemerintah menyelesaikan persoalan yang membelit industri keuangan sehingga negara mampu mengatasi krisis ekonomi pada awal reformasi.
“Ini menjadi pertanyaan kita semua, dimana OJK berada saat terjadi kasus-kasus yang menyangkut lembaga keuangan?’ jelas Masinton.
Menurut Masinton OJK sejak awal tidak disebut sebagai lembaga negara, sehingga tentu tidak menjadi bagian dari pemerintah. Kedudukan OJK yang memiliki wewenang sangat besar dalam industri keuangan perlu dikritisi dan diawasi terus mengingat satu dekade pembentukan OJK, kasus penipuan yang menyangkut tugas dan kewenangan OJK terus bermunculan.
“Belum lama ini muncul kasus asuransi, ada mafia perbankan, dan lainnya. Harusnya tidak ada lagi itu,” tambah Masinton.
Harusnya, jelas Masinton, industri keuangan dalam negeri bisa go publick. Bukan malah sebaliknya babak belur dihajar oleh industri keuangan asing.
Masinton mengakui OJK dibentuk tanpa narasi besar. Pembentukan OJK hanya merespon situasi trauma yang terjadi pasa masa orde baru. Dimana pada masa itu, sistem pengawasan industri keuangan bersifat tertutup.
Meski dibentuk sebagai respon situasi traumatic orde baru, semestinya OJK dapat menjalankan fungsi pengawasan dengan baik, mampu mmebuat terobosan untuk memperkuat industri keuangan dalam negeri dan dapat melindungi masyarakat dari praktik illegal industri keuangan.
“Jadi kalau melihat refleksi satu dekade OJK, saya melihat memang banyak yang harus ditata dan diperbaiki, mengingat harapan masyarakat terhadap OJK ini sangat besar,” tutup Masinton.
Dalam webinar tersebut tampil pula Dr Dian Puji Simatupang, dosen UKI yang membahas terkait sumber keuangan untuk operasionalisasi OJK. Baik yang berumber dari APBN maupun berasal dari pngutan terhadap jasa yang diberikan kepada pihak lain yang bergerak di sektor keuangan.