JAKARTA, MENARA62.COM – Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Direktorat Perfilman, Musik, dan Media Baru, menyelenggarakan Prakongres Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) Musik Tradisi Nusantara 2021. Pada sidang kelima prakongres, tema yang diangkat adalah “Musik Tradisi Nusantara dan Kebutuhan Pendidikan”.
Tema tersebut bertujuan untuk melakukan proses identifikasi dan pemecahan masalah seputar pendidikan seni musik tradisi Nusantara sebagai upaya pendidikan karakter melalui penyediaan ruang dan waktu yang proporsional di sekolah.
Sidang kelima Prakongres Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) Musik Tradisi Nusantara 2021 berlangsung pada Rabu, 25 Agustus 2021. Ada tujuh narasumber dalam sidang itu, yaitu Mahdi Bahar, Guru Besar Pengkajian Seni Pertunjukan Universitas Jambi; Purwacaraka, Musikus, Komponis, dan Pemilik Sekolah Musik Purwacaraka Music Studio; Prasadja Budidharma, Musikus (Krakatau Band) dan pegiat komunitas Gentra Lestari Budaya; Irwansyah Harahap, Komposer dan Pengajar Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara; Julius Juih, Pengembang Teknologi Pembelajaran, Pusat Asesmen dan Pembelajaran Balitbang Kemendikbudristek; Sito Mardowo, Seniman Karawitan dan Widyaiswara dari Balai Besar Pengembangan Penjaminan Mutu Pendidikan Vokasi (BBPPMPV) Seni dan Budaya; dan Febty Kurnia Ning Tyas, Instruktur Program Golden Rabbit Kids Music dari Gilang Ramadhan Studio Band Solo.
Ketujuh narasumber tersebut berdiskusi dan menyepakati beberapa hal yang akan ditindaklanjuti oleh para pemangku kepentingan terkait mengenai pentingnya melibatkan pendidikan seni musik tradisi Nusantara dalam pendidikan karakter di lembaga pendidikan formal maupun informal. Salah satu hal yang disepakati adalah perlunya pembuatan dan penyediaan materi pembelajaran musik tradisi Nusantara dalam pendidikan formal dan informal. Materi yang dimaksud menyangkut kurikulum, bahan ajar, dan evaluasi pembelajaran, mulai dari jenjang PAUD hingga pendidikan dasar dan menengah (SD, SMP, SMA/SMK), serta pendidikan anak berkebutuhan khusus.
Di jenjang PAUD, musik mampu mempengaruhi aspek-aspek pertumbuhan dan perkembangan anak, baik dari fisik, motorik, kognitif, bahasa, sosial emosional, hingga seni. Bahkan terkait pendidikan karakter, musik juga bisa menjadi sarana utama dan pendidikan dasar bagi anak usia dini dalam pemahaman budi pekerti untuk perkembangan sosial anak melalui pembelajaran yang menyenangkan dan ceria.
Hal tersebut diungkapkan oleh salah satu narasumber, yakni Febty Kurnia Ning Tyas, Instruktur Program Golden Rabbit Kids Music dari Gilang Ramadhan Studio Band Solo. Ia mengatakan, musik dapat diperkenalkan pada anak sejak usia dini melalui pengenalan alat musik dan cara memainkannya. “Sebab anak usia dini itu belajar sambil bermain,” katanya.
Febty menuturkan, usia nol sampai enam tahun merupakan usia keemasan (golden age) di mana usia tersebut otak anak berkembang dengan pesat sehingga diperlukan stimulasi yang tepat untuk mengembangkan perkembangan otak dan potensi anak. Selain itu musik juga mampu menjadi penyeimbang otak kanan dan otak kiri dan sebagai terapi untuk anak-anak yang mempunyai gangguan konsentrasi, wicara dan perilaku.
Terkait keberadaan musik di jenjang pendidikan dasar dan menengah, Irwansyah Harahap, Komposer dan Pengajar Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara, memaparkan materinya yang berjudul “Musik Tradisi Nusantara: Problematika Pendidikan dan Pelajaran”.
Ia mengatakan, dengan melihat latar belakang keterbatasan pemahaman dan pengetahuan tentang musik tradisi Nusantara, proporsi ruang di sekolah sangat terbatas untuk siswa mendengarkan musik tradisi Nusantara. Irwansyah kemudian memberikan rekomendasi pemikiran mengenai “Pendidikan Musik Tradisi Nusantara dalam Konteks Merdeka Belajar”.
Salah satu rekomendasinya adalah pembuatan dan penyediaan materi pembelajaran musik tradisi Nusantara dalam pendidikan formal dan informal, menyangkut kurikulum, bahan ajar, dan evaluasi pembelajaran untuk tingkat PAUD hingga SMA/SMK. Ia juga merekomendasikan agar pemerintah memfasilitasi pemberdayaan para maestro musik tradisi di masing-masing lokasi kebudayaan etnis di Nusantara, baik dalam bentuk ruang belajar, sarana peralatan belajar, hingga pemberian insentif sebagai pengajar. Menurutnya, hal tersebut penting untuk dilakukan sebagai wujud konkret dalam membangun ekosistem pendidikan berbasis budaya (school of living tradition), dan mengintregrasikan sistem pendidikan formal, informal, dan kultural sebagai model aktual dari konsep Merdeka Belajar.
“Ekosistem pendidikan berbasis budaya bisa menjadi medium penguat pemahaman dan praktik tentang keberagaman dan juga penguatan identitas kebersamaan dan kebangsaan di masa depan,” kata Irwansyah.
Sementara Julius Juih, Pengembang Teknologi Pembelajaran dari Pusat Asesmen dan Pembelajaran Balitbang Kemendikbudristek, memaparkan materinya yang berjudul “Stimuli Perkusi Pendidikan Musik”. Salah satu alat musik tradisional yang dibahasnya adalah Gamelan. Ia mengatakan, Gamelan sangat mudah diakses untuk memainkan musik kolektif bagi semua anak.
Dengan mempelajari Gamelan di sekolah, murid belajar mendengar dengan memberikan perhatian terhadap detail serta mengingat suara dengan meningkatkan memori aural, menggunakan ritme staf, dan notasi musik lainnya. Murid juga belajar menghargai dan memahami berbagai musik ‘live’ dan rekaman berkualitas tinggi yang diambil dari berbagai tradisi yang berbeda-beda dari komposer dan para musisi yang hebat. “Itu menjadi pengalaman multi-indera yang luar biasa bagi mereka,” ujarnya.
Julius juga mengingatkan pentingnya mengenalkan kebinekaan suku-suku bangsa yang ada di Nusantara kepada anak Indonesia sejak usia dini melalui alat musik perkusi. Stimuli perkusi sebagai terapi yang menyenangkan membantu anak mengurangi konsumsi gawai dan bermanfaat mengoptimalkan fungsi mental, fisik, dan psikomotorik, serta menunjang kreativitas. Apalagi Indonesia memiliki beraneka drum perkusi Nusantara, seperti Kendang Sunda, Jawa, dan Bali; Taganing di Batak Toba; Tifa di Papua; Gendang Melayu/Minang; Rebana di Aceh; Gondang di Batak; Kohotong di Kalimantan Barat; serta Ganda dari Jawa Timur.
Para narasumber dalam sidang juga menyepakati rekomendasi untuk menjadikan mata pelajaran seni (musik) tradisi Nusantara menjadi bagian dari pelajaran pokok dengan proporsi yang memadai serta melakukan pembekalan bagi para guru musik, khususnya dalam penguasaan wawasan lintas budaya “Musik Tradisional Nusantara”.
Purwacaraka, seorang musikus dan komponis serta pemilik Sekolah Musik Purwacaraka Music Studio, mengakui bahwa secara proporsional seni musik tradisi belum menjadi prioritas dalam sistem pendidikan di sekolah. “Idealnya, alat-alat musik tradisional dapat diperkenalkan dan dimasukkan dalam pendidikan formal di masing-masing satuan pendidikan yang berada di seluruh daerah,” katanya.
Sementara Mahdi Bahar, Guru Besar Pengkajian Seni Pertunjukan Universitas Jambi, mengungkapkan bahwa menjadi sebuah keniscayaan untuk musik tradisi Nusantara menjadi bagian dari Sistem Pendidikan Nasional. Hal senada juga diungkapkan oleh Sito Mardowo, Seniman Karawitan dan Widyaiswara dari BBPPMPV Seni dan Budaya. Sito memaparkan materi berjudul “Memotret Pembelajaran Musik Tradisi Nusantara di Sekolah”.
Ia menyampaikan catatan masalah mengenai keterbatasan sumber daya manusia dan peralatan serta persepsi mengenai implementasi pembelajaran musik daerah sebagai faktor sulitnya musik tradisi nusantara berkembang di sekolah-sekolah umum. Hal itu menyebabkan hanya SMK yang memiliki tantangan untuk menjadi salah satu pilar musik tradisi Nusantara sebagai pelestari dan pengembang.
Terkait pelestarian dan pengembangan seni musik, Prasadja Budidharma, seorang Musikus (Krakatau Band) dan pegiat komunitas Gentra Lestari Budaya, memaparkan tentang “Pokok-pokok Pemikiran Edy Utama” mengenai masalah musik tradisi nusantara. Ia menekankan pentingnya menguatkan tradisi musik Nusantara sebagai bagian yang integral dari kebudayaan bangsa.
Prasadja menuturkan, pada tahun 1998 Edy Utama membentuk grup musik Talago Buni yang berusaha tetap meneruskan karakteristik (struktur, harmoni dan warna) musik khas Minangkabau sebagai identitas komposisi musik Talago Buni. “Jadi semangatnya adalah semangat tranformatif yang bersifat berkelanjutan dari budaya musik Minangkabau,” ujar Prasadja.
Dari diskusi dalam sidang kelima Prakongres Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) Musik Tradisi Nusantara 2021 itu, setidaknya ada lima kesepakatan yang dihasilkan. Pertama, pembuatan dan penyediaan materi pembelajaran musik tradisi Nusantara dalam pendidikan formal dan informal, mulai dari tingkat PAUD hingga Pendidikan Umum (SD, SMP dan SMU), serta bagi anak berkebutuhan khusus. Kedua, menjadikan mata pelajaran seni (musik) tradisi Nusantara menjadi bagian dari pelajaran pokok dengan proporsi yang memadai.
Ketiga, melakukan pembekalan bagi para guru musik, khususnya dalam penguasaan wawasan lintas budaya “Musik Tradisional Nusantara”. Keempat, memfasilitasi dan memberdayakan para maestro musik tradisi serta melibatkan mereka secara aktif di ranah musik tradisi masing-masing lokasi kebudayaan etnis di Nusantara. Kelima, mengintegrasikan sistem pendidikan formal, informal, dan kultural, sebagai model aktual dari konsep Merdeka Belajar, sekaligus menjadi medium penguat pemahaman dan praktik keberagaman, serta identitas kebersamaan dan kebangsaan.