Oleh Imam B. Prasodjo
Sosiolog
Hari Iduladha, 1 September 2017, saya lalui dengan penuh senyum. Betapa tidak, saat pagi menuju masjid untuk salat id, seorang teman yang rumahnya sangat dekat dengan Masjid Sunda Kelapa, Jakarta Pusat, menawari garasi rumahnya untuk parkir mobil kami. Saya tersenyum bahagia mendapat kemudahan ini. “Sungguh beruntung hidupku ini.” Saya berkata dalam hati.
Pak Sofyan Djalil, yang dalam pemerintahan juga menjabat sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang, bertindak sebagai khatib dalam salat Iduladha pagi itu. Tentu saja saya dengarkan baik-baik isi khotbahnya. Ia mengatakan antara lain, perlunya semangat pengorbanan dalam hidup sebagaimana dicontohkan Nabi Ibrahim dan Ismail. Sulit membandingkan pengorbanan hidup kita bila dibandingkan dengan pengorbanan mereka. Begitu katanya. Banyak lagi isi khutbah menarik yang saya dengar dari Pak Sofyan, namun kali ini saya tidak ingin berceritera soal itu. Yang saya ingin ceriterakan adalah kejadian setelah salat id.
Begitu selesai salat id, kami segera bergegas menuju rumah yang menjadi tempat parkir mobil kami. Saat sampai di sana, rupanya telah bertengger sebuah mobil Daihatsu Sirion warna oranye, persis diparkir memblokir pintu gerbang rumah. Mau apa lagi? Dengan sabar dan penuh semangat pengorbanan sebagaimana dikhotbahkan Pak Sofyan Djalil (hehehe…), kami sekeluarga menunggu kedatangan si pemilik mobil yang memparkir mobilnya dengan “penuh kenyamanan.”
Waktu menunggu pun terus berjalan. Semua jemaah mulai sepi meninggalkan masjid. Mobil-mobil lain yang diparkir di sepanjang jalan juga sudah mulai lenyap. Tinggal kami sekeluarga, ditemani teman pemilik rumah, menunggu pemilik mobil oranye yang lama tak kunjung datang. “Mungkin dia makan dulu ya.” Teman saya berseloroh sambil tersenyum.
Saat kami berdiri di pinggir jalan menunggu, tiba-tiba lewat rombongan Pasukan Oranye, petugas kebersihan DKI yang hendak membersihkan lingkungan. Aha..beberapa dari mereka mengenali saya. Mereka menyalami saya sambil bertanya heran mengapa saya berdiri di pinggir jalan. Sambil tersenyum setengah bercanda, saya jelaskan bahwa saya sedang diminta “berkurban” oleh Tuhan dalam derajat paling ringan, yaitu menunggu pemilik mobil yang memblokir jalan keluar. Saat saya menunjuk mobil Daihatsu warna oranye itu, semua anggota Pasukan Oranye malah tertawa..haha.
Mungkin karena kasihan melihat saya, teman-teman Pasukan Oranye akhirnya mencoba mengangkat ramai-ramai mobil warna oranye itu. Mereka mencoba mengeser mobil untuk memberi jalan.
“Satu..dua..tiga….” Saya coba memberi komando. Tapi, mobil ternyata tak bergerak. “Satu..dua..tiga..” Sekali lagi mobil dicoba diangkat. Ternyata mobil memang terlalu berat dan tak terlihat ada tanda-tanda bisa diangkat. Sambil tersenyum saya katakan: “Sudah..sudah Pak. Terimakasih. Saya tunggu saja pemilik mobil ini.” Upaya menggeser mobil pun dihentikan. Setelah bersalaman, teman-teman Pasukan Oranye kembali melanjutkan perjalanan. Saya melambaikan tangan sebagai tanda terimakasih.
Entah mengapa saya senang sekali melihat mereka. Sugguh luar biasa dedikasi mereka yang dengan semangat dan kompak tetap bekerja pada hari iduladha. Bagaimanapun kondisi mereka, saya melihat pagi itu mereka terlihat bahagia, penuh tawa dan canda.
Tak lama setelah Pasukan Oranye berlalu, seorang pemuda sambil senyum-senyum datang. Rupanya, inilah si pemilik mobil. Mungkin ini khas Indonesia. Salah satu ekspresi rasa bersalah adalah dengan memberikan senyum. Saya menunggu sejenak apa yang akan diucapkannya, namun sepatah katapun tak juga keluar. Akhirnya, saya jelaskan sambil tersenyum bahwa apa yang dilakukan adalah pelanggaran. Si anak muda ini mencoba membela diri: “Tapi mobil saya parkir dalam presneling free sehingga bisa didorong khan?” Saya pun dengan sigap menunjukkan ucapannya tak benar dengan mendorong mobilnya. Anak muda itu pun lagi-lagi tersenyum dan akhirnya bergegas memindahkan mobil sambil mengatakan “Oh iya ya…” Senyuman anak muda itu memberi makna begitu dalam. Ia seakan berkata: “Ich.. Si Bapak, baru berkurban begitu saja tak tahan.” Hehe…
Sayapun melambaikan tangan kepada mobil oranye yang akhirnya bergerak meninggalkan tempat parkir. Oh begitu indahnya hari ini. Apakah saya harusnya marah pada pagi iduladha ini? Ah..tak usah ya. Saya hanya ingin membuktikan kebenaran kata-kata bahwa “reality is subjectively constructed” Bukankah kekesalan dan kebahagiaan akhirnya yang menentukan adalah konstruksi kita sendiri dalam menyikapi sesuatu?
Selamat Iduladha.