30.2 C
Jakarta

Sepasang Sandal KH. Hasyim Muzadi

Baca Juga:

Oleh Miqdad Husein
Direktur Eksekutif Gerbang Informasi Pemerintahan (GIP).

Umat Islam Indonesia “harus” merasa kehilangan KH. Hasyim Muzadi yang wafat 16 Maret 2017 lalu. Rasa kehilangan tak hanya terkait jasa-jasa beliau yang luar biasa dalam mendorong kemajuan berpikir umat Islam Indonesia. Lebih dari itu rasa kehilangan diharapkan menjadi energi kesadaran umat untuk melanjutkan jejak-jejak perjuangan beliau yang luar biasa terutama dalam mendorong dinamika pemikiran, menjalin komunikasi intensif, serta mencairkan relasi antar kekuatan terbesar umat Islam Indonesia Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.

Di era kepemimpinan beliaulah hubungan NU dan Muhammadiyah yang ketika itu dipimpin Prof. Dr. M. Din Syamsuddin terjalin begitu harmonis sehingga sekat-sekat perbedaan terutama terkait fiqih mencair menebarkan kesejukan di tengah umat Islam Indonesia. Baik KH. Hasyim Muzadi maupun M. Din Syamsuddin secara cerdas memberikan pencerahan bahwa perbedaan yang selama ini terjadi sebenarnya sangat elementer. Beliau yang lahir di Tuban, Jawa Timur, 8 Maret 1944 itu menyebut perbedaan NU-Muhammadiyah hanya pada wilayah ibnul furu’ atau anak ranting.

Dalam konteks kepentingan keindonesiaan pun KH. Hasyim Muzadi dengan penuh kesadaran terus berupaya membangun kebersamaan dengan Muhammadiyah. Perumpamaan beliau terkait nilai strategis hubungan NU-Muhammadiyah seperti sepasang sandal yang harus selalu bersama-sama melangkah. “Jika salah satu sandal saja yang dipakai, nanti disangka kurang waras,” selaroh KH. Hasyim dalam kesempatan acara di Pesantren Gontor, beberapa waktu lalu.

Karena itu katanya, jika kebersamaan NU- Muhammadiyah terjaga di negeri ini -yang mayoritas penduduknya beragama Islam– tak ada persoalan menyangkut kebangsaan yang tak dapat diselesaikan. Secara tegas beliau mengatakan dalam konteks kepentingan Indonesia NU-Muhammadiyah memiliki kesamaaan visi dan misi, yang menjadi fondasi utama penguat dan penjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Di era kepemimpinan KH. Hasyim Muzadi dan M. Din Syamsuddin, kesadaran umat Islam memahami berbagai perbedaan ibnul furu’ berkembang mengesankan. Bukan hal aneh bila masjid-masjid di negeri ini pada bulan puasa misalnya terpasang spanduk “menyediakan taraweh 11 rakaat dan 23 rakaat.” Sesuatu yang di era sebelum tahun 1990 masih lebih merupakan bangunan perilaku sosial elitis karena praktis belum menjadi sebuah langgam sosial massal. Apalagi di tahun 1980-an, yang praktis seperti diakui KH. Hasyim Muzadi masih mudah ditemui riak-riak ketegangan kecil terutama di lapisan akar rumput antara warga NU-Muhammadiyah.

Yang menarik KH. Hasyim Muzadi dan M. Din Syamsuddin bukan berupaya menyatukan berbagai perbedaan. Dua tokoh itu lebih jauh berupaya membuka lanskap pemikiran umat bahwa perbedaan adalah keniscayaan yang praktis hampir mustahil dihilangkan. Perbedaan merupakan realitas sosial, fitrah, sunnatullah sebagai ekspresi dari kodrat anatomi manusia. Instink dan anatomi manusia yang memiliki kemampuan berpikir, pengembangan persepsi dan interpretasi menjadikan perbedaan pemahaman keterikatan keagamaan seperti menjadi keniscayaan keseharian dari komunitas sosial masyarakat negeri ini.

KH Hasyim Muzadi
Cerita KH. Hasyim Muzadi yang bersama M. Din Syamsuddin diundang Wakil Presiden Jusuf Kalla barangkali bisa menjadi contoh menarik bagaimana menyikapi sebuah perbedaan. Saat itu, seperti diceritakan dengan gaya kocak oleh KH. Hasyim Muzadi, dua pucuk pimpinan NU-Muhammadiyah itu mendapat sentilan Wapres Jusuf Kalla yang “galau” dengan perbedaan penentuan Idul Fitri. “Bagaimana ini kok NU dan Muhammadiyah masih saja berbeda dalam soal Idul Fitri. Apa tidak bisa disamakan,” cerita KH. Hasyim Muzadi soal pertemuannya dengan Wapres Jusul Kalla.

“Bagaimana caranya pak?” tanya KH. Hasyim Muzadi. Wapres Jusuf Kalla saat itu, seperti diceritakannya mengusulkan agar NU menurunkan standar satu derajat, Muhammadiyah menaikkan satu derajat. Langsung beliau menjawab bahwa tidak bisa begitu. Ada kaidah-kaidah dan parameter yang menjadi rujukan masing-masing organisasi dalam penentuan waktu Idul Fitri, Idul Adha. “Beliau itu agaknya menggunakan logika pedagang,” kata KH. Hasyim Muzadi bercanda.

Dengan arif kemudian dipaparkan oleh beliau bahwa perbedaan Idul Fitri hanya masalah waktu atau tanggal saja. Hal-hal lainnya tak ada perbedaan. “Ya shalat dan takbirnya sama. Tak ada masalah. Yang penting perbedaan itu disampaikan terbuka dengan menghargai keputusan masing-masing,” cerita KH. Hasyim Muzadi.

Konstruksi kedewasaan berpikir seperti itulah yang terus dikembangkan baik oleh KH. Hasyim Muzadi maupun M. Din Syamsuddin. Sebuah konstruksi pemikiran yang mengembalikan kesadaran bahwa keterikatan keagamaan bersifat manusiawi, yang karena watak dasar manusia merupakan makhluk memiliki akal praktis varian-varian pemikiran sulit terhindari. “Apalagi perbedaan-perbedaan itu hanya di wilayah ibnul furu’, anak ranting. Jadi, bukan pada substansinya,” katanya.

KH. Hasyim Muzadi seakan ingin menegaskan mengapa harus meributkan kenyataan perbedaan kecil yang praktis tak mungkin disamakan. Seharusnya umat Islam Indonesia mensinergikan kebersamaan dan kesamaan substantif untuk menyelesaikan berbagai persoalan negeri ini yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

KH. Hasyim Muzadi seperti ingin mengingatkan bahwa keterikatan keagamaan itu pada hal-hal bersifat teknis dalam proses komunikasi dengan Allah ada faktor-faktor bersifat personal yang tak mungkin disamakan antara manusia satu dan lainnya, antara berbagai komunitas manusia dengan komunitas lainnya. Apalagi pengalaman dan proses spiritual pada beberapa bagian bukanlah seperti matematika dengan rumus-rumus baku.

Ada seseorang yang begitu menikmati beribadah kepada Allah dalam keheningan. Ada pula yang merasa memiliki kekuatan pertautan bila dizaharkan. Proses-proses personal ini terbuka kemungkinan berbeda pada setiap orang. Karena itu apa perlunya varian-varian personal bersifat sangat teknis ini harus disamakan.

Seperti diakui beliau nafsu berlebihan ingin menyamakan semua hal atas dasar slogan kembali ke Alquran dan sunnah kadang justru sering terjebak egoisme kelompok, sikap ashabiyah; merasa paling benar sendiri. Lebih parah lagi ketika pengerasan kelompok terekspresikan secara sosial dalam bentuk monopoli penguasaan tempat ibadah. Pengelola tempat ibadah yang berbeda pemahaman keagamaannya disingkirkan; dianggap bid’ah, sesat dan bahkan kadang menggumpal menjadi sikap kebiasaan takfiri.

Sebuah kekhawatiran terhadap apa yang telah beliau perjuangkan bersama M. Din Syamsuddin sempat mengemuka terkait merebaknya pengerasan sikap kelompok itu. Ia merasa hubungan NU-Muhammadiyah sudah begitu harmonis, menghargai berbagai perbedaan ibnul furu’ sehingga sempat terlontar pernyataannya yang cukup menarik, “Jika warga Muhammadiyah masuk masjid NU paling yang hilang beduk,” katanya.

Baik NU maupun Muhammadiyah secara organisatoris kemudian menegaskan komitmennya mengembangkan keterikatan keagamaan yang toleran sebagai respon menghadapi pengerasan sikap kelompok itu. Muhammadiyah mencamtumkan pada poin dua keputusan Muktamar di Makassar. Sementara NU melalui penegasan konsepsi tentang Islam Nusantara yang bermakna keterikatan keagamaan bersemangat menghargai dan menghormati varian-varian perbedaan pemahaman keagamaan sesuai kultur negeri ini.

NU dan Muhammadiyah menyadari sepenuhnya bahwa di tengah kebhinnekaan negeri ini sebuah pemahaman keagamaan bersemangat ashabiyah atas dasar egoisme pemilik mutlak kebenaran mudah menimbulkan gesekan-gesekan ketegangan. Karena itu, perlu dikembangkan pencerahan pemikiran agar menghargai keniscayaan perbedaan pemahaman keterikatan keagamaan sebagai ekspresi watak dasar manusia.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!