Menara62.com– Jakarta, Pimpinan Pusat Muhammadiyah hari ini menggelar jumpa pers untuk memberi masukan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu yang sedang dibahas di parlemen, hari ini, Jumat (9/Juni/2017). Jumpa pers yang diadakan di gedung PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta itu memberi tujuh masukan.
Pertama adalah soal sistem pemilihan dalam RUU Pemilu. “Sistem pemilu yang kami pandang lebih demokratis dan berkeadaban adalah sistem proporsional tertutup atau sistem proporsional terbuka terbatas,” kata Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti.
Usulan ini tambah Mu’ti dilakukan untuk mengurangi maraknya politik uang dan persaingan tidak sehat lain di tubuh partai politik.
Kedua, Muhammadiyah menilai penambahan kursi DPR belum relevan. Artinya jumlah kursi sepatutnya tetap 560. Pemekaran daerah bukan berarti menambah jumlah kursi untuk daerah tersebut, tapi yang seharusnya dilakukan adalah realokasi kursi DPR. Sehingga, tidak ada lagi provinsi yang mengalami kekurangan kursi atau kelebihan kursi.
Ketiga, Muhammadiyah mengusulkan angka ambang batas (parliementary threshold) nol persen. Penerapan ambang batas yang tinggi dianggap tidak serta merta menyederhanakan partai politik. Ketua PP Muhammadiyah Bahtiar Effendy mengatakan ambang batas tinggi akan meniadakan suara rakyat. “Makanya yang diperlukan adalah pengaturan ambang batas pembentukan fraksi di DPR,” kata Bahtiar. Ini juga untuk efisiensi pengambilan keputusan di DPR.
Keempat, penerapan ambang batas pencalonan presiden diusulkan nol persen. Adanya pemilu serentak pada 2019 membuat penerapan ambang batas presiden menjadi tidak relevan.
Kelima, usulan dana saksi pemilu yang dibiayai APBN dianggap akan merusak tatanan penyelenggaraan pemilu dan membebani anggaran negara.
Keenam, Muhammadiyah menilai sudah saatnya KPU kabupaten/kota dijadikan lembaga permanen. Jika lembaga tersebut masih bersifat ad hoc, maka KPU kabupaten/kota tidak leluasa dalam menyelenggarakan pilkada. Misalnya tidak boleh mengelola keuangan sendiri. Padahal lembaga tersebut adalah ujung tombak penyelenggaraan pemilu di daerah.
Ketujuh, Muhammadiyah berharap UU Pemilu yang dibuat tidak bersifat sekali pakai.