32.7 C
Jakarta

Suara Generasi Muda dalam Mitigasi Risiko Lingkungan: Kolaborasi Lintas Agama untuk Masa Depan Berkelanjutan

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM

Krisis lingkungan yang semakin mengkhawatirkan membutuhkan solusi yang inklusif dan kolaboratif. Menyadari hal ini, Kementerian PPN/Bappenas bersama The Foreign, Commonwealth, and Development Office of the UK Government (FCDO) menyelenggarakan Forum Grup Diskusi (FGD) dengan tema “Konsultasi tentang Kerja-kerja Advokasi dalam Keterlibatan Keagamaan dan Lintas Iman untuk Memitigasi dan Mengelola Risiko Lingkungan”. Acara yang dihelat secara daring pada Kamis 13 Maret 2025 ini merupakan bagian dari Program Pembangunan Rendah Karbon (Low Carbon Development Initiative/LCDI) Fase 2, yang diinisiasi oleh Oxford Policy Management Limited (OPML) dan Eco Bhinneka Muhammadiyah.

FGD ini menjadi wadah untuk mengidentifikasi strategi efektif dalam menggalang kerja sama antarumat beragama, sekaligus menegaskan pentingnya peran generasi muda dalam upaya mitigasi risiko lingkungan. Sebagai generasi yang akan mewarisi bumi, suara dan aksi mereka dinilai krusial untuk menciptakan perubahan yang berkelanjutan.

Generasi Muda: Kunci Gerakan Keadilan Lingkungan

Parid Ridwanuddin dari Eco Bhinneka Muhammadiyah dan GreenFaith Indonesia, dalam sambutannya menekankan betapa pentingnya melibatkan generasi muda dalam upaya mengatasi krisis lingkungan. “Berdasarkan survei UNDP 2022 terhadap 2 juta anak muda di 50 negara, generasi berusia 0-35 tahun memiliki keresahan yang tinggi terhadap situasi lingkungan saat ini. Mereka mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah nyata menyelesaikan krisis lingkungan. Sementara itu, generasi di atas 36 tahun cenderung bersikap kurang peduli terhadap krisis,” ujarnya.

Parid menjelaskan bahwa ketidakpedulian generasi sebelumnya telah menciptakan ketimpangan antargenerasi. “Generasi mendatang memiliki hak yang sama untuk menikmati bumi yang sehat. Kita harus mewariskan mata air, bukan air mata,” tegasnya. Ia juga menyoroti pentingnya memberikan ruang bagi generasi muda dalam proses pengambilan kebijakan publik, mengingat banjir, longsor, dan bencana lingkungan lainnya terus terjadi akibat kurangnya perubahan mendasar dalam pengelolaan lingkungan.

Hadir sebagai pematik diskusi, Al Bawi, pegiat lingkungan dari Kalimantan Selatan, membagikan pengalamannya dalam gerakan Save Meratus. Kawasan Meratus yang kaya akan keanekaragaman hayati telah lama menghadapi ancaman deforestasi, pertambangan, dan perubahan iklim. Melalui kolaborasi lintas agama, Muhammadiyah berhasil membentuk kader peduli lingkungan, memperkuat kapasitas advokasi, dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kelestarian Meratus.

“Kolaborasi lintas agama dan partisipasi aktif masyarakat adalah kunci dalam menghadapi krisis lingkungan,” ujar Al Bawi. Ia berharap gerakan ini dapat menginspirasi inisiatif serupa di seluruh Indonesia, di mana generasi muda dapat menjadi agen perubahan yang membawa dampak positif bagi lingkungan.

Peran Strategis Lembaga Keagamaan

Ara Kusuma, Youth Work Manager and Integration Ashoka, menegaskan bahwa lembaga keagamaan memiliki peran strategis dalam upaya pelestarian lingkungan. “Lembaga keagamaan dapat berperan melalui tiga aspek: edukasi dan kesadaran, aksi nyata, serta advokasi kebijakan,” jelasnya.

Ia mencontohkan inisiatif seperti penghijauan, pengelolaan sampah, dan kampanye kesadaran lingkungan yang dapat digerakkan oleh komunitas berbasis agama, khususnya anak muda.

“Ayo teman-teman, kita buat perubahan positif di sekitar kita dan dimulai dari hal yang sederhana. Mari ajak teman-teman yang lain supaya sadar dan membawa aksi nyata sebagai change maker,” ajak Ara.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!