Oleh Roni Tabroni
Seperti hari libur lainnya, Ahad adalah hari dimana orang-orang bermain atau istirahat melepas penat setelah satu pekan sibuk bekerja. Namun di tanggal 25 Februari 2018, hari Ahad menjadi menjadi terasa istimewa bagi Muhammadiyah. Bahkan bagi Crew Majalah Suara Muhammadiyah (SM) hari itu terasa sangat sibuk, walaupun bercampur bahagia.
Mengapa tidak, tanggal itu sangat bersejarah, sebab SM sedang meresmikan kantor barunya. Berlokasi di Jl KH Ahmad Dahlan, Grha Suara Muhammadiyah (GSM) berdiri gagah dan mencolok dengan ketinggian lima lantai.
Gedung ini menggantikan kantor lama yang lokasinya berseberangan dengan PKU. Kantor lama sangat sederhana, tidak tampak sebagai tempat dimana tradisi literasi Muhammadiyah digelorakan. Tempat dimana telah lahir tokoh-tokoh nasional. Tempat yang seabad lebih, tidak berhenti memberikan sarana baca yang mencerahkan, sebuah majalah yang bukan hanya menyampaikan informasi tetapi juga opini cerdas dan panduan hidup. Bahkan tidak sedikit mubaligh muda yang belajar ceramah atau khutbah jumat dengan membaca konten SM.
Acara peresmian kantor baru itu lebih istimewa, ketika yang hadir bukan hanya pengurus SM dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, tetapi juga Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendi, Menkominfo Rudiantara, dan Ketua DPR RI Bambang Soesatyo. Sebuah apresiasi dan pengakuan yang cukup tinggi terhadap ikhtiar dakwah informasi yang sudah melintasi satu abad.
Sebuah kontribusi kongkrit yang tidak sederhana. Maka, pantas jika Menkoinfo Rudiantara begitu tertegun mengetahui ada media SM dengan segudang ceritera perjuangannya. Akhir cerita, harapan pun tertambat pada majalah ini agar semakin massif menyebarkan informasi yang positif. Bahkan Pak Menteri berharap muncul SM-SM lainnya, yang bukan hanya menyampaikan informasi tetapi juga memberikan kontribusi nyata terhadap bangsa.
SM bukan hanya sebuah industri media, tetapi sarana dakwah berbasis pada nilai-nilai agama untuk membangun peradaban yang makin baik.
Dalam percaturan pers tanah air, SM bukan media biasa. Bukan pada ekslusifitasnya, tetapi SM memiliki kekhasan dari sisi segmentasi dan pesannya. Maka wajar jika tidak banyak orang yang tahu keberadaan SM, sebab mencari di lapak-lapak koran pun tidak bisa ditemukan.
Ditengah perkembangan teknologi komunikasi yang begitu cepat, media cetak tanah air secara umum terseok-seok. Walaupun memiliki modal kepercayaan dari sisi konten, media cetak dalam berbagai format, mengalami penurunan oplah yang berakibat pada mersoalan keuangan perusahaan.
Harus diakui, media massa umum di tanah air yang berbasis pada industri, begitu ketergantuangan mada modal. Ketika pembacanya menyempit, maka pundi-pundi iklan menurun. Di saat seperti itu, terjadi krisis keuangan. Akibatnya, berimbas pada kesejahteraan karyawan dan wartawan, bahkan sebagiannya dirumahkan. Maka yang dilakukan adalah efisiensi, menurunkan jumlah halaman, menghilangkan edisi hari-hari tertentu, atau melambatkan waktu cetak. Sedangkan efek paling dahsyat adalah ketika media cetak beralih format ke e-paper, bahkan sama sekali lenyap dari peredaran.
Mengerikan, teknologi telah merenggut warisan peradaban, dimana media cetak harus rela tumbang karena tidak mampu menahan badai krisis yang menimpanya. Kontribusi media cetak yang turut mengawal perubahan dunia (bahkan dianggap menjadi aktor perubahan) kini tidak sedikit yang tinggal ceritera.
Yang paling mengherankan, problem media cetak yang memaksanya harus bergelut dengan krisis dan sebagiannya tumbang, justru menimpa media-media besar yang didukung dengan modal tidak sedikit. Media-media yang menjadi ikon pada zamannya, harus meregang nyawa dan takluk pada zaman yang terus berubah.
Kendati tesis Toffler sempat tidak terbukti, tentang prediksi matinya media cetak di awal tahun 2000-an tetapi kita pun akan dihadapkan pada pembuktian Prof Phillip yang memprediksi tahun 2040 adalah akhir dari usia media cetak di dunia. Beberapa media besar di negara maju telah dikubur sejarah, beberapa media di tanah air pun ada yang senasib. Namun, akankah 2040 menjadi ancaman buat semua media cetak? Setidaknya media cetak mengalami krisis yang berkepanjangan.
Melihat SM, kita seolah berada di dunia lain. Ketika media cetak lain krisis keuangan, SM (sepertinya) baik-baik saja. Ketika media cetak lainnya menurunkan oplah SM justru terus bertambah. Di tengah tradisi media kini yang menjual aset, SM justru membangun gedung megah dan gagah. Bahkan Pimpinan Perusahaan Deni Asy’ari menjanjikan akan membangun lagi dua gedung dalam waktu dekat.
SM jika dilihat dari sisi ini, seperti pengecualian dalam sejarah Pers di Indonesia. Dia tidak terpengaruh oleh gelombang perubahan yang siap menggoyang industri media kompensional seperti halnya media cetak. SM akhirnya menjadi ikon peradaban yang menarik, dan simbol informasi tanah air berbasis pada nilai (yang kemudian menjadi spirit), karena SM dalam kesejarahannya tidak hadir sebagai lembaga yang berbasis pada industri yang memprioritaska keuntungan materi.
Karena dipimpin oleh tokoh-tokoh nasional seperti Haedar Nashir, sebelumnya Syafi’l Maarif dan Amien Rais, bahkan sejak awal dirintis dan dipimpin langsung oleh KH Ahmad Dahlan, maka corak SM memang tidak mengejar popularitas. Kekhasan bukan hanya persoalan segementasi dan kemasan, tetapi pada kualitas isinya yang begitu berbobot. Maka pesan-pesan seperti itu diyakini akan melampaui zaman, berbeda dengan konten media lain yang hanya mengejar popularitas.
Modal besar lain dari SM adalah keberadaan pelanggan dan agen-agen yang ada di berbagai pelosok. Karena tidak dijual bebas, maka posisi pelanggan menjadi vital bagi SM. Termasuk agen, bagi SM mereka bukanlah agen media biasa. Di beberapa tempat saya menemukan agen SM itu sudah tua-tua, namun semangatnya mengalahkan anak muda.
Menjadi agen SM, dalam banyak kasus bukan persoalan jualan barang, tetapi ingin ikut berdakwah dengan menyebarkan pesan-pesan Islam yang ada di dalamnya. Maka semangat agen ini menjadi berlipat sebab spiritnya adalah dakwah.
Dalam kondisi seperti ini, SM menjadi sangat Percaya Diri menghadapi perubahan. Maka tidak aneh jika dalam percaturan pers nasional, SM mampu melawan arus (dalam arti positif). Sehingga kita menjadi paham mengapa Rudiantara mengharapkan adanya SM-SM lainnya di Indonesia.
(Roni Tabroni, Pengurus MPI PP Muhammadiyah)