Lampu strobo menyalak, dentuman bass mengguncang dinding klub malam di Kathmandu. Di balik turntable, Sudan Gurung berdiri dengan headphone menempel di telinga, jemarinya lincah memutar piringan, mengatur transisi lagu demi lagu.
Malam itu Sudan Gurung adalah Disk Jockey (DJ) yang membuat anak-anak muda Kathmandu menari sampai pagi. Tak ada yang menyangka, beberapa tahun kemudian, pria yang dulu menghidupkan pesta dengan musik, justru akan menghidupkan sebuah revolusi di negeri kecil, Nepal.
Kehidupan Sudan Gurung jungkir balik setelah gempa besar Nepal 2015 merenggut anak perempuannya. Dari duka itu, ia membentuk Hami Nepal yang dalam bahasa Nepali berarti Kami Nepal. Sebuah organisasi sosial yang awalnya menyalurkan bantuan darurat, lalu tumbuh menjadi jejaring anak muda progresif. Dari sana ia menemukan panggilan baru: membangun solidaritas di luar panggung hiburan.
Kepercayaan anak muda pada Sudan tumbuh bukan karena pidato, melainkan karena ketulusan. Ia hadir di tenda-tenda pengungsian, mengangkat karung bantuan, mengorganisir relawan. “Dia bukan politisi, dia salah satu dari kita,” kata seorang relawan muda Hami Nepal kepada media.
Momen perlawanan pertama Sudan terhadap pemerintah datang pada September 2025, ketika pemerintah melarang 26 platform media sosial. Generasi digital yang biasa menghirup udara kebebasan seketika tercekik. Sudan, si pemuda plontos lalu melihat celah itu sebagai titik balik. Bersama Hami Nepal, ia merancang protes lewat kanal digital: Discord, grup terenkripsi, susah disadap hingga selebaran digital. Instruksi sederhana menyebar mahasiswa dan siswa datanglah dengan seragam sekolah, bawa buku, tunjukkan bahwa perlawanan lahir dari pengetahuan, bukan kekerasan. Cara ini juga untuk menghindari penyusup.

Puncaknya, 8 September, ribuan anak muda membanjiri jalanan Kathmandu. Gas air mata, meriam air, dan peluru karet tak menghentikan mereka. Justru sebaliknya—belasan nyawa yang hilang membakar semangat. Gerakan menjalar ke berbagai kota, larangan media sosial akhirnya dicabut, dan tak lama kemudian PM K.P. Sharma Oli mundur.
Setelah pemerintah tumbang. Hal yang mengejutkan, Sudan Gurung menolak kursi di pemerintahan sementara. Ia mengatakan bersama Hami Nepal, akan mengawal transisi tanpa kompromi terhadap idealismenya.
Analis politik Bishnu Rijal memujinya dan mengatakan Sudan Gurung adalah wajah Gen Z Nepal yang progresif. “Ia lahir dari trauma, tumbuh dalam solidaritas, dan kini menjadi katalis perubahan politik,” ujarnya kepada media.
Dalam karyanya On the Genealogy of Morals, Nietzsche menegaskan bahwa mereka yang lemah atau ‘terluka’ secara sosial justru dapat melahirkan moralitas perlawanan yang tangguh sebagai respons terhadap dominasi mereka yang berkuasa dan disebut ressentiment. Ressentiment bukan sekadar kebencian tersembunyi, melainkan sumber daya laten yang mampu membentuk tatanan moral dan sosial baru, lahir dari trauma dan kekesalan yang memuncak pada penguasa.
Dalam konteks Nepal, perlawanan itu menemukan simbolnya pada Sudan Gurung seorang ayah yang kecewa setelah kehilangan anak, tapi menemukan panggung pelampiasan yang lebih besar di jalanan Kathmandu.
Di banyak negara saat ini, pelampiasan anak muda, terjadi setelah trauma dan kekecewaan pada hidup. Entah karena faktor ekonomi, maupun sosial.
Revolusi Nepal juga menunjukkan bahwa demokrasi digital punya daya yang setara dengan senjata. Generasi Z Nepal memiliki kesamaan dengan Sudan Gurung berhasil mengubah trauma menjadi kekuatan kolektif ketika penguasa bertindak semena-mena.
Penulis adalah*
Akhmad Dani – Wartawan

