26.4 C
Jakarta

Suu Kyi Pasang Badan untuk Kejahatan Myanmar terhadap Muslim Rohingya

Baca Juga:

DEN HAAG, MENARA62.COM — Pemenang Hadiah Nobel Perdamaian 1991 asal Myanmar, Aung San Suu Kyi, bertindak kontroversial. Berdalih demi membela kepentingan nasional, perempuan 74 tahun ini akan pasang badan untuk menangkis tuduhan pembunuhan massal, pemerkosaan, dan pengusiran minoritas Muslim Rohingya oleh militer Myanmar.

Republik Gambia adalah yang menggulirkan kasus tersebut. Sebuah negara kecil di Afrika Barat itu menggugat Myanmar ke Mahkamah Internasional, pengadilan tertinggi PBB di Den Haag, Belanda, dengan tuduhan melanggar Konvensi Genosida 1948.

Langkah Suu Kyi — yang pernah menjadi ikon hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi dengan melawan junta militer Myanmar yang otoriter — mengejutkan para kritikus. Mereka tak menyangka dia akan memimpin delegasi untuk membela penindasan negaranya terhadap Muslim Rohingya.

Pada siding pembukaan, Selasa (10/12/2019), Suu Kyi mendengarkan dengan darah dingin ketika pengacara Gambia merinci kesaksian gamblang tentang penderitaan Muslim Rohingya di tangan pasukan keamanan Myanmar. Termasuk, aksi pemerkosaan berkelompok, penyiksaan, dan pembunuhan terhadap warga minoritas bagi negara dengan mayoritas pemeluk Budha itu.

“Sangat penting untuk melihat dia harus duduk beberapa senti dari orang-orang yang menggambarkan — dalam detail yang sangat menyakitkan — semua kejahatan mengerikan militer Burma (Myanmar),” kata Brad Adams, aktivis HAM yang berbasis di New York, kepada Al Jazeera.

Meskipun Suu Kyi belum mengungkapkan rincian pembelaan pemerintahnya, dia dan tim hukumnya diharapkan untuk berdebat. Dia, antara lain akan menyatakan pengadilan tidak memiliki yurisdiksi dan tidak ada genosida yang terjadi di Myanmar.

Dalam tiga hari persidangan minggu ini, hakim mendengarkan tahap pertama kasus ini: permintaan Gambia untuk “tindakan sementara” — yang setara dengan perintah penahanan terhadap Myanmar untuk melindungi populasi Rohingya sampai kasus ini didengar secara penuh.

Gambia berpendapat itu adalah tugas setiap negara di bawah Konvensi 1948 untuk mencegah genosida terjadi. Ini memiliki dukungan politik dari Organisasi Kerjasama Islam (OKI), serta beberapa negara Barat termasuk Kanada dan Belanda.

Menteri Kehakiman Gambia, Abubacarr Tambadou, mengatakan di luar persidangan bahwa pengadilan akan “sangat mengecewakan” jika Suu Kyi mengulangi penolakan sebelumnya atas kesalahan yang dilakukan oleh Myanmar.

Seperti diketahui, lebih dari 730.000 Muslim Rohingya melarikan diri dari Myanmar setelah militer melancarkan tindakan keras di negara bagian Rakhine barat negara itu pada Agustus 2017. Sebagian besar kini tinggal di kamp-kamp pengungsi yang sesak di Bangladesh.

Myanmar berpendapat bahwa “operasi pembersihan” militer di Rakhine adalah tanggapan yang dapat dibenarkan atas tindakan “terorisme” oleh pemberontak. Tentaranya dianggap bertindak dengan tepat.

Sangat Penting

Meskipun misi pencarian fakta PBB menemukan “kejahatan paling kejam di bawah hukum internasional” dilakukan di Myanmar dan menyerukan pengadilan genosida, tidak ada pengadilan yang menimbang bukti-bukti tersebut. Menurut beberapa analis, persidangan yang sedang berlangsung itu sendiri merupakan tanda Tanya besar.

“Penghakiman terakhir bisa memakan waktu lama [hingga lima tahun], tetapi bagi para korban dan komunitas mereka, ini adalah momen yang luar biasa. Ini mengirimkan pesan yang sangat kuat kepada Rohingya bahwa masyarakat internasional menonton dan mendengarkan mereka,” kata Antonia Mulvey, pendiri Legal Action Worldwide dan seorang ahli HAM internasional, kepada Al Jazeera.

Berbicara dari Cox Bazar, Bangladesh, tempat kamp pengungsi Rohingya terbesar di dunia, Stefanie Dekker dari Al Jazeera melaporkan, persidangan secara simbolis “sangat penting” bagi Rohingya. Dekker mengatakan orang-orang di kamp itu sadar akan persidangan dan berusaha mendapatkan berita tentang hal itu.

“Internet telah terputus selama beberapa bulan terakhir, ketika sebuah protes besar terjadi pada peringatan dua tahun … tapi hari ini, untuk beberapa alasan, 3G kembali dan orang-orang dapat mengakses berita,” katanya.

AS Jatuhkan Sanksi

Dalam tindakan lain kepada pemerintah Myanmar, Selasa kemarin, Amerika Serikat (AS) memperketat sanksi terhadap pimpinan militer Min Aung Hlaing. Termasuk, tiga komandan senior atas intimidasi mereka terhadap Muslim Rohingnya.

“AS tidak akan menolerir penyiksaan, penculikan, kekerasan seksual, pembunuhan atau kebrutalan terhadap warga sipil tak berdosa,” kata Menteri Keuangan Steven Mnuchin dalam sebuah pernyataan.

Sanksi baru, yang bertepatan dengan Hari HAM Internasional PBB, membekukan aset yang dimiliki mereka di AS dan melarang orang AS melakukan bisnis dengan mereka.

John Sifton, direktur advokasi Asia untuk HRW, menyebutnya langkah itu disambut baik tetapi terlambat. “Sangat disayangkan keputusannya memakan waktu begitu lama, padahal kejahatan yang dimaksud sangat serius. Tetapi, lebih baik terlambat daripada tidak pernah sama sekali,” katanya.

 

 

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!