Suatu ketika Rasulullah SAW pernah berpesan, “bertakwalah kamu di mana pun kamu berada, dan ikutilah perbuatan burukmu dengan perbuatan baik niscaya ia akan menghapusnya, dan pergaulilah manusia dengan dengan budi pekerti (akhlak) yang baik.” (HR. At-Tirmidzi)
Hadis di atas menegaskan, perintah takwa berlaku secara umum, tidak dibatasi oleh sekat-sekat ruang dan waktu. Takwa tidak dikhususkan pada waktu-waktu tertentu. Pun, takwa juga tidak dianjurkan hanya pada tempat-tempat tertentu. Dengan kalimat “di mana pun kamu berada”, artinya dalam kondisi apa pun, di tempat mana pun, takwa harus selalu menyertai kita.
Sebuah ironi yang sering tampak dalam kehidupan kita adalah, orang-orang, atau bahkan mungkin diri kita sendiri kelihatan begitu saleh ketika berada di masjid, musholla, majelis taklim, serta tempat-tempat ibadah dan majelis ilmu lainnya. Mereka atau kita tampak khusyuk menjalankan ibadah, serius mendengarkan ceramah, bahkan sering mengajukan pertanyaan seputar masalah keagamaan kepada para kyai dan ustadz. Seolah-olah mereka atau kita, merupakan para hamba Allah yang betul-betul tekun dan taat menjalankan ajaran agama.
Kenyataan tersebut seringkali berbanding terbalik ketika berada di luar masjid, musholla, majelis taklim atau tempat ibadah dan majelis ilmu lainnya. Perhatikan sikap dan perilaku mereka, perhatikan pula sikap dan perilaku kita sendiri ketika berada di kantor, di tempat kerja, di pasar, di rumah, di jalan. Apakah kita selalu menyertakan takwa dalam diri kita ketika berada di tempat-tempat tersebut?
Ketika di kantor, misalnya, apakah kita akan tetap memelihara kejujuran, ketika diberi amanat memegang uang kas kantor dalam jumlah yang sangat besar, sementara kondisi ekonomi keluarga kita sedang karut marut?
Sebagai pedagang, misalnya, apakah kita akan tetap berlaku jujur kepada para pembeli dengan tidak mengurangi timbangan atau takaran, atau berbohong, untuk mendapatkan keuntungan?
Sebagai penegak hukum, misalnya, apakah kita akan berpegang teguh pada prinsip-prinsip keadilan yang lebih dekat kepada nilai ketakwaan, ataukah kita akan buang nilai-nilai keadilan ke dalam tong sampah, karena diiming-imingi sejumlah uang yang sangat besar?
Sebagai akademisi, misalnya, apakah kita akan tetap menjaga kejujuran ilmiah dengan tidak melakukan tindak plagiasi, atau manipulasi data untuk memenuhi syarat kenaikan pangkat, yang akan berimbas pada kenaikan tunjangan fungsional kita?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut kembali kepada diri kita masing-masing.
Kenyataan
Kenyataan yang sering kita jumpai adalah bahwa kesalehan ritual yang tampak ketika seseorang berada di tempat-tempat ibadah, seringkali hilang begitu saja segera setelah dia meninggalkan tempat- tempat tersebut.
Hal ini bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Betapa banyak para pejabat, yang kelihatan rajin menjalankan perintah agama; shalat, puasa, zakat, bahkan haji berkali-kali, tetapi korupsi tetap dijalankan.
Para pedagang, demi mengeruk keuntungan berlipat, tidak jarang berbuat curang kepada para pembeli, yaitu dengan mengurangi timbangan atau takaran, menipu pembeli, bahkan mengatakan sumpah palsu atas nama Allah.
Para penegak hukum, seringkali lebih silau dengan iming-iming materi yang begitu menggiurkan, daripada tetap teguh menegakkan keadilan.
Para akademisi, tidak jarang menafikan kejujuran ilmiah demi meraih prestise berupa kenaikan pangkat dan jabatan, dengan melakukan tindak plagiasi dan manipulasi data.
Pertanyaannya, di manakah mereka meletakkan ketakwaan mereka? Tidakkah mereka ingat ancaman Allah dalam salah satu firman-Nya, “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka, tangan mereka akan berkata kepada Kami dan kaki mereka akan memberi kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” (Q.S. Yasin: 65)
Tidakkah mereka perhatikan larangan Allah, “Wahai orang –orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar)…” (Q.S. An-Nisa: 28)
Apakah mereka tidak takut dengan ancaman Allah, “Celakalah bagi orang-orang yang curang.” (Q.S. Al-Muthaffifin: 1)
Tampaknya, banyak di antara kita yang tidak menyertakan sikap takwa ketika berada di luar tempat-tempat ibadah. Banyak di antara kita yang menanggalkan dan meninggalkan sikap takwa dengan meletakkannya di masjid, musholla, atau majelis taklim. Seringkali takwa tidak pernah diikutkan ketika kita berada di tempat kerja, di kantor, di pasar, di jalan, bahkan di rumah.
Padahal, jelas seperti disebutkan dalam hadis di atas, bahwa sikap takwa harus selalu menyertai kita di mana pun kita berada.
Ruang Inspirasi, Selasa (26/11/2019).