Pengasuhan di era digital memiliki kekhasan tersendiri. Anak-anak jaman now yang merupakan generasi Y sangat lekat dengan gawai. Sementara orang tua jaman now tidak semuanya familiar dengan gawai.
Selain itu, perbedaan kultur anak-anak generasi Y yang lebih membangun jejaring sementara orang tuanya yang generasi X dengan model hirarki menjadikan komunikasi orang tua dengan anak sering tidak ketemu. Adanya gap pengasuhan orang tua kepada anak yang beda generasi ini dapat berdampak pada berbagai persoalan yang dihadapi anak. Misalnya, anak menjadi sangat tidak percaya diri, agresif, sulit focus, suka membully, akrab dengan kekerasan, hingga menjadi anak berhadapan dengan hukum.
Jika orang tua memahami ilmu parenting, setidaknya dapat mengurangi potensi kerentanan pada anak. “Anak adalah amanah Tuhan Yang Maha Kuasa, yang tidak pernah bisa memilih siapa orang tuanya, dalam kondisi seperti apa orang tuanya. Maka, menjadi kewajiban orang tua untuk menjaga dan mengasuh sebaik-baiknya. Orang tua perlu memahami fase tumbuh kembang anak dan memprioritaskan kebutuhan anak dibandingkan ,” kata Rita Pranawati, wakil ketua KPAI, disela-sela acara pengabdian masyarakat oleh Universitas Prof Dr HAMKA dengan tema “Pelatihan Dasar Pengasuhan untuk Anak Usia 6-9 tahun di SD Muhammadiyah 12 Setiabudi Pamulang”.
“Fase tumbuh kembang anak hanya terjadi sekali, oleh karenanya setiap fase perkembangan membutuhkan pendampingan serta stimulan yang baik dari kedua orang tua. Hal ini karena setiap anak mengalami fase perkembangan yang utuh, unik dan berbeda,” ujar Anisia Kumala Lc MPsi, wakil dekan Fakultas Psikologi UHAMKA pada sesi fase tumbuh kembang anak.
Seringkali orang tua mengabaikan perkembangan anak, dan hanya memperhatikan fase tumbuhnya saja, padahal keduanya sangat penting.
Dalam pelatihan parenting ini ditemukan bahwa ternyata gawai diakui sebagai problem yang paling sulit ditangani orang tua. Ketergantungan pada gawai ini berdampak pada tingkat konsentrasi anak, kemandirian, kematangan emosi. Selain itu, problem kepercayaan diri menjadi problem sebagian anak.
“Pola asuh orang tua sangat menentukan kepercayaan diri anak. Jika orangtua terlalu otoriter, maka anak sulit membuat keputusan. Anak menjadi sangat tergantung pada orang tua. Sedangkan orang tua yang terlalu permisif menyebabkan anak tidak mengenal aturan, tidak bisa disiplin, dan anak ingin semua yang diharapakan tercapai. Dampaknya adalah anak menjadi ‘liar’ dalam kehidupannya,” kata Elisa Kurnia Dewi MPsi, dosen fakultas Psikologi UIN Sunan Gunung Djati Bandung, yang membawakan materi pola asuh anak.
Anak jaman now tak bisa dipisahkan dari teknologi dan gawai. Begitulah anak-anak tumbuh sesuai zamannya. “Komunikasi dalam rangka membangun kesadaran, memberikan pemahaman, hingga membangun komitmen adalah metode yang lebih pas untuk menyikapi anak jaman now. Termasuk membangun komunikasi literasi digital, bagaimana menggunakan gawai dan apa dampaknya jika berlebihan harus dibicarakan dengan anak,” komentar Ratih Novita Sari, dosen UHAMKA yang memberikan materi komunikasi efektif.
Pada akhirnya, menurut Rita Pranawati, yang juga dosen FISIP UHAMKA, semua orang tua membutuhkan komitmen, pengetahuan dan waktu untuk menjadi orang tua. Tanpa pengetahuan yang baik, tanpa koitmen, dan tanpa menyediakan waktu, anak-anak kita menjadi anak yang terlantar dan rentan mengalami atau menjadi pelaku kekerasan.