SLEMAN, MENAA62.COM
Tarwiyah merupakan rangkaian sunah ibadah haji yang dalam praktiknya sering menuai kontroversi antara Jamaah Muhammadiyah dengan birokrasi Kementerian Agama Indonesia (KEMENAG) disetiap tahunnya. Pasalnya, kegiatan tersebut tidak masuk dalam rukun haji dan tidak masuk dalam rangkaian ibadah haji (di luar paket), dengan kata lain tidak merupakan tanggung jawab dan tidak dibiayai oleh KEMENAG. Secara teknis, mobilisasi dari hotel menuju Mina dan bermalam kemudian menuju ke Arafah untuk melakukan Wukuf dan kemudian kembali lagi ke Mina dinilai kurang efisien. Tarwiyah hanya merupakan rangkaian ibadah sunnah; selain itu, mobilisasi yang padat dan melibatkan mayoritas jamaah haji lansia sangat riskan. Slogan “haji ramah lansia” pada tahun 2023 termasuk dalam kategori risiko tinggi. Dengan alasan itulah pihak KEMENAG memberikan alasan yang rasional untuk meminimalkan risiko kepada jamaah yang ingin melakukan tarwiyah.
Etimologi Tarwiyah
Kata “tarwiyah” berasal dari kata benda (masdar) dari kata kerja “روى” yang memiliki akar kata ر-و-ي yang memiliki makna dasar berkaitan dengan air dan kegiatan memberi dan menerima air. Kata “tarwiyah” dapat diinterpretasikan sebagai bentuk persiapan atau proses memberi air minum atau pengairan yang terkait pada penyediaan atau persediaan air di suatu tempat. Dengan kata lain, “tarwiyah” berarti “penyiraman” atau “pengairan”, merujuk pada tradisi minum dan menyimpan air yang dilakukan oleh para jemaah haji pada zaman dahulu sebelum berangkat ke Arafah untuk melakukan wukuf. Hal ini dilakukan karena ketersediaan air yang sangat terbatas di Arafah pada masa itu.
Dalil Ibadah Tarwiyah
Ibadah Tarwiyah adalah salah satu bagian dari rangkaian ibadah haji yang tidak secara langsung disebutkan dalam Al-Qur’an, tetapi didasarkan pada praktik dan sunnah Nabi Muhammad SAW dalam melaksanakan ibadah haji. Jamaah haji Muhammadiyah melakukan Tarwiyah tersebut setiap tahunnya meskipun Kementerian Agama (KEMENAG) Indonesia tidak secara khusus menganjurkannya. Dasar kuat pelaksanaan ibadah Tarwiyah oleh Muhammadiyah adalah interpretasi dan pendekatan terhadap sunnah Nabi Muhammad SAW serta pelaksanaan haji sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits.
Adapun dalil yang menguatkan tentang tarwiyah tersebut adalah hadits dari Aisyah r.a. tentang keberangkatan ke Mina:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: “إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ إِلَى مِنى يَوْمَ التَّرْوِيَةِ فَرَكِبَ وَصَلَّى بِهَا الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ وَالْفَجْرَ، ثُمَّ مَكَثَ قَلِيلًا حَتَّى طَلَعَتِ الشَّمْسُ”
Artinya:
Dari Aisyah r.a., ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah SAW berangkat ke Mina pada Hari Tarwiyah, kemudian beliau mengendarai kendaraan dan melakukan salat Zuhur, Asar, Magrib, Isya, dan Subuh di sana, kemudian beliau tinggal sebentar sampai matahari terbit.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalil lain dalam Al-Qur’an (QS. Al-Baqarah: 197), meskipun tidak disebutkan secara eksplisit, diakui sebagai bagian dari rangkaian ibadah haji berdasarkan hadits di atas. Hari tersebut dianggap sebagai waktu penting untuk persiapan spiritual dan fisik sebelum puncak ibadah haji di Arafah. Secara kontekstual, persiapan fisik dan material tersebut mengacu pada Tarwiyah di Mina sebelum ibadah wukuf di Arafah.
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ ۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ ۗ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ ۚ وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ
Artinya:
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats (mengeluarkan perkataan yang menimbulkan birahi), berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 197).
Implikasi dan Hakikat Tarwiyah
Secara spiritual, hari Tarwiyah juga dianggap sebagai waktu untuk merenung (muhasabah) dan mempersiapkan diri sebelum berdiri di padang Arafah. Ini adalah simbol dari persiapan internal dan muhasabah, mencerminkan pemikiran dalam untuk menyucikan diri sebelum momen penting ibadah haji.
Istilah “Tarwiyah” bisa juga ditemukan dalam konteks yang lebih luas yang berhubungan dengan penyampaian dan penerimaan informasi, seperti dalam ilmu hadits, yang merujuk pada “rawi” (penyampai hadits) sebagai orang yang ‘mengairi’ pengetahuan kepada orang lain. Ini menunjukkan kekayaan dan kedalaman konsep “air” dalam bahasa Arab, tidak hanya secara fisik tetapi juga metaforis, sebagai sumber kehidupan dan pengetahuan.
Pemaknaan berkemajuan Muhammadiyah, tarwiyah bukan hanya sebuah bentuk perenungan saja namun implementasi secara praktik yaitu Plan, Do, Check, and Action (PDCA). Sebagaimana dalam manajemen proyek, aktivitas persiapan (pre-elemenary) adalah sangat penting di mana sebelum memulai kegiatan inti beberapa persiapan dilakukan termasuk bekal, doa-doa dalam ibadah haji, penyampaian tausiah ke jamaah tentang larangan ihram, dll agar ibadah dapat dilakukan secara runtut dan meminimalkan risiko. Begitulah seperti yang dipaparkan pembimbing KBIHU Aisyiah dengan dalilnya yang jelas, sejarahnya sudah ada, dan jamaah tinggal mengikuti sesuai yang dilakukan Nabi Muhammad SAW. Adapun risiko yang acapkali dikhawatirkan oleh KEMENAG terhadap kegiatan tarwiyah ditepisnya dengan dalil berikut:
ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلْمَوْتَ وَٱلْحَيَوٰةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْغَفُورُ
Artinya:
Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS Al-Mulk Ayat 2)
Meski jamaah haji tidak takut akan risiko bahkan kematianpun dalam beribadah, perlu adanya pendekatan manajemen risiko yang lebih detail untuk meminimalkan kejadian-kejadian yang tidak diinginkan terutama mobilisasi jamaah haji lansia dan perlu pendampingan tim medis yang intensif guna memonitor kondisi fisik para jamaah haji karena cuaca di tanah suci tidak seramah seperti di tanah air. Seperti halnya tragedi Muzdalifah 2023, karena permasalahan transportasi dari pihak eksternal menjadikan penghambat (bottle neck) terhadap lamanya waktu tunggu (lead time) yang mengakibatkan jamaah haji menunggu begitu lama dan mengakibatkan kelelehan dan dehidrasi. Semestinya mobilisasi tersebut dapat dikelola dengan baik oleh pihak pelaksana ataupun fasilitator ibadah haji dari pihak Kerajaan Saudi Arabia.
Dalam praktiknya, jamaah haji Muhammadiyah melakukan persiapan selangkah lebih maju (one step ahead) demi kesempurnaan rangkaian ibadah haji. Tarwiyah adalah waktu yang terpenting untuk melakukan perencanaan yang lebih matang agar “deviasi” atau simpangan dari pelaksanaan terhadap perencanaan rangkaian ibadah lain dapat diminimalkan. Evaluasi terhadap kekurangan ibadah haji tahun lalu seperti masalah transportasi dari Muzdalifah menuju Mina, minimnya bekal air minum yang cukup di Muzdalifah, tempat bermalam di Mina yang layak, dan aktivitas lainnya semestinya sudah tidak menjadi masalah ketika melakukan tarwiyah di Mina pada musim haji tahun ini.
Oleh: H. Akhmad Khairudin, S.S., M.B.A. (Majelis Ekonomi PCM Turi)