33.4 C
Jakarta

Tata Kelola yang Lemah dapat Memicu Terjadinya Negara Gagal

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM – Tata kelola (institusional politikal) menjadi salah satu kunci penting keberhasilan sebuah negara disamping tata nilai (ranah mental spiritual) dan tata sejahtera (ranah material teknologikal). Lemahnya tata kelola negara, diyakini akan mendorong pada terjadinya negara yang gagal.

Hal tersebut dikemukakan Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo dalam FGD bertema Tata Kelola Negara berdasarkan Paradigma Pancasila yang digelar secara virtual, Rabu (11/8/2021).

Dalam sambutannya Pontjo mengatakan bahwa penguatan terhadap ranah tata kelola sangatlah penting bagi kelangsungan hidup sebuah Negara. Hal ini mengacu kepada pandangan Roterberg (2002)1 dan Noam Chomsky (2006)2 yang menegaskan bahwa negara bisa gagal karena lemahnya tata kelola Negara, antara lain karena ketidakmampuan menegakkan dan mempertahankan fungsi institusi-institusi demokrasi serta mempertahankan hak-hak warga negaranya.

Pendapat senada juga disampaikan oleh Acemoglu dan Robinson dalam bukunya: “Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty (2012)” bahwa kemajuan dan kemunduran suatu negara sangat ditentukan oleh desain institusi politik serta ekonominya. Tesis mereka, hanya dalam institusi politik dan ekonomi yang inklusif sebuah bangsa akan mampu mencapai kemakmurannya. Dan, institusi politik yang inklusif akan bekerja apabila ada kebebasan untuk berekspresi dan berinovasi.

“Kebebasan hanya akan tumbuh dimana kekuasaan Negara (the power of state) dan masyarakat (the power of society) saling menyeimbangkan,” jelas Pontjo.

Teori ini menurutnya, lebih memperkuat argumentasi pentingnya ruang bagi partisipasi rakyat secara aktif dalam kegiatan politik dan ekonomi. Oleh karena itu, arah pembangunan tata kelola negara harus ditujukan juga untuk pemberdayaan rakyat melalui pengembangan partisipasi segenap elemen bangsa dalam berbagai bidang pembangunan.

Usaha ini  lanjut Pontjo, dapat dimulai dari pengembangan partisipasi rakyat dalam politik melalui perbaikan lembaga perwakilan dengan memperhatikan aspek keterwakilan (bukan hanya keterpilihan), perbaikan sistem Pemilu, peningkatan kapasitas wakil rakyat, serta perbaikan tata kelola perencanaan pembangunan nasional

“Isu perbaikan lembaga perwakilan menjadi penting untuk kita diskusikan karena desain kelembagaan kita saat ini masih menyisakan berbagai pertanyaan seperti: lembaga perwakilan manakah yang berfungsi menyalurkan aspirasi dan kepentingan dari berbagai kelompok dalam masyarakat Indonesia yang heterogen dan multikultur yang sebelumnya diwakili oleh Utusan Golongan, yang tidak sepenuhnya bisa diwakili oleh DPR dan DPD? Dan lembaga perwakilan mana yang berfungsi sebagai wadah untuk bermusyawarah seperti misalnya dalam menetapkan Haluan Negara yang berisi aspirasi seluruh lapisan masyarakat dan daerah sebagai kaidah penuntun (guiding principles) pembangunan nasional kita?” tukas Pontjo.

Menurutnya, desain besar ketatanegaraan tentu harus berpijak pada ideologi dan dasar-dasar filosofis tujuan bernegara yaitu Pancasila yang secara yuridis-konstitusional sudah diterima dan ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam Pembukaan UUD 1945. Karenanya, Pancasila haruslah menjadi paradigma dalam merancang tata kelola negara atau sistem ketatanegaraan Indonesia.

Berdasarkan paradigma Pancasila, pengembangan ranah tata kelola negara diarahkan untuk memungkinkan perwujudan bangsa yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Bahwa tatanan sosial-politik hendak dibangun melalui mekanisme demokrasi yang bercita kerakyatan, cita permusyawaratan dan cita hikmat kebijaksanaan dalam suatu rancang bangun institusi-institusi kenegaraan yang dapat memperkuat persatuan (negara persatuan) dan keadilan sosial (negara kesejahteraan).

Untuk merealisasikan hal itu, Pontjo menilai model dan sistem kelembagaan tata kelola Negara tentu tidak bisa dipungut sembarangan dari pengalaman negara-negara lain, melainkan harus disuling dari pengalaman kesejarahan dan budaya bangsa sendiri. Hal ini diperkuat pendapat Clayton M Christenson (2019) yang dikutip oleh Yudi Latif dalam bukunya “Wawasan Pancasila (2020)” bahwa institusi sosial itu merefleksikan nilai masyarakat yang bersangkutan.

“Kalau kita ikuti rekam jejak para pendiri bangsa ketika merancang sistem ketata-negaraan kita, sesungguhnya telah mempertimbangkan hal ini. Sekalipun pada saat itu sudah ada model sistem pemerintahan negara yang berlaku secara universal, yaitu sistem presidensial dan sistem parlementer, namun mereka tidak serta merta memilih salah satu di antaranya, melainkan lebih memilih suatu sistem yang khas Indonesia yang disebutnya sebagai “sistem sendiri” dalam bangunan Negara Pancasila,” jelas Pontjo.

Walaupun para bapak bangsa telah berusaha membangun sistem ketatanegaraan yang diharapkan kompatibel bagi ke-Indonesiaan kita, diakui Pontjo sampai saat ini masih menjadi perdebatan bahkan seringkali mengalami kebuntuan politik dalam mencari format sistem yang tepat yang sesuai dengan kondisi obyektif bangsa yang heterogen (secara sosial-ekonomi, geografis) dan multikultural (secara ras, etnik, agama, budaya).

Merumuskan pilihan sistem ketatanegaraan yang sesuai bagi bangsa Indonesia yang heterogen dan multikultur dalam rangka memperkuat peran Negara (state-building) tentu sangat penting, agar Indonesia tidak salah urus dan menjadi negara gagal sebagaimana diperingatkan oleh para pemikir seperti saya sampaikan tadi. Namun membangun kebangsaan (nation-building) juga sama pentingnya karena bangsa Indonesia justru ada sebelum Indonesia lahir sebagai nation-state.

“Hal ini perlu saya ingatkan, karena hari ini, kita seperti menemukan fenomena Hal ini perlu saya ingatkan, karena hari ini, kita seperti menemukan fenomena tidak padunya antara kebutuhan untuk mengukuhkan kebangsaan melalui nation – building, dengan kebutuhan akan penguatan negara melalui state-building,” tandas Pontjo.

Sementara itu Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI) yang juga Rektor UGM Prof Panut Mulyono mengatakan Indonesia sebagai negara kepulauan dengan keragaman suku, bangsa, budaya, agama secara geopolitik dapat menimbulkan banyak masalah dan tantangan. Terlebih di era reformasi dimana muncul intoleransi, korupsi, kasus narkoba dan kekerasan yang masih terus saja terjadi. “Ini menunjukkan bahwa sebagian dari bangsa kita kehilangan jatidiri dan karakter kebangsaannya,” kata Prof Panut.

Karena itu kita harus mulai menguatkan kembali sikap dan perilaku dengan menjiwai Pancasila, sehingga sebagai bangsa yang heterogen dapat mencapai kemajuan yang pesat sesuai cita-cita yang tertera dalam pembukaan UUD 1945.

“Pancasila sebagai dasar falsafah, ideology dan pandangan hidup wajib diaktualisasikan dalam rposes dan produk perundangan serta kebijakan penyelenggaraan negara,” kata Prof Panut.

FGD tersebut menampilkan sejumlah narasumber yakni Prof Azyumardi Azra (Guru Besar UIN), Prof Siti Zuhro (Peneliti LIPI), Prof Eko Prasojo (Wakil Menteri PAN & RB), dan Prof Muradi (Guru Besar Ilmu Politik dan Keamanan Unpad).

Serial FGD itu sendiri diselenggarakan dalam rangka finalisasi buku dengan judul: “Kebangsaan yang Berperadaban: Membangun Indonesia dengan Paradigma Pancasila”. Acara ini dirancang, selain untuk mendiskusikan dan memperkaya pemikiran serta gagasan yang terangkum dalam buku ini, juga dimaksudkan semacam “uji sahih atau uji publik” agar rekomendasi kebijakan yang dirumuskan dalam buku ini, mendapat keabsahan secara sosiologis.

Buku ini merupakan rangkuman dari berbagai pemikiran dan gagasan yang berkembang dalam pelaksanaan Diskusi Serial selama hampir tiga tahun sejak 20 Maret 2019 yang diselenggarakan bersama oleh Aliansi Kebangsaan, Forum Rektor Indonesia, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asosiasi Ilmu Politik Indonesia, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia, dan Harian Kompas.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!