JAKARTA, MENARA62.COM — Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhamamdiyah Haedar Nashir meminta pada seluruh kader Muhammadiyah untuk menjadi contoh yang baik, dalam menggunakan media sosial.
“Kalau ini bisa dikerjakan, maka dunia media sosial di Indonesia akan lebih baik. Apalagi, mumpung sekarang sedang Ramadhan, kita menjadi ushwah hasanah,” ujarnya ketika memberi sambutan pada pembukaan Pengkajian Ramadhan PP Muhammadiyah di Kampus UHAMKA, Pasar Rebo Jakarta, Ahad (17/5/2018).
Menurut Haedarh, generasi milenial itu sebenarnya banyak. Zaman ini, kita hidup di tengah perkembangan teknologi digital. Masyarakatnya sangat menguasai teknologi digital. Maka cara berfikirnya masyarakat milenial itu pun berbeda dengan generasi sebelumnya. Mereka tidak lagi menggunakan hal-hal yang manual.
“Masyarakat seperti ini juga biasanya melompati zamannya. Mereka kritis pada berbagai hal, termasuk pada wilayah agama,” ujarnya.
Menurut Haedar, generasi milenial ini, juga memiliki orientasi scientific yang sangat detail, pada cabang-cabang yang mereka ingin memasukinya. “Seperti pada hal-hal yang mereka minati. Mereka tidak suka pada hal-hall yang bersifat absrak. Selain itu, masyarakat tersebut gandrung dengan inovasi,” ujarnya.
Persoalannya kemudian, menurut Haedar, bagaimana kita mendekati generasi ini dengan pendekatan keagamaan. Ini adalah tantangan buat Muhammadiyah. Sebab generasi ini, dalam konteks mereka, berada dalam ruang sosial dalam arti yang luas, seperti ekonomi politik dan budaya, dengan tingkat mobilisasi yang sangat tinggi.
Ketergantungan
Haedar pun mengungkapkan tentang masyarakat yang sudah menjadi sangat tergantung pada telepon seluler. Telepon seluler itupun sudah terkoneksi dengan internet yang menghubungkan dengan mudah pada informasi di seluruh dunia.
Menurutnya, ada beberapa persoalan ketika seseorang tergantung pada teknologi. Pertama, nalarnya akan instrumental. Mereka akan berfikir teknis dan sudah terprogram. Manusia di zaman teknologi, pola pikirnya instrumental. Kedua, alam berfikirnya cenderung hedonis. “Menyenangi hal-hal yang bersifat buatan. Melakukan hal-hal yang tidak biasa,” ujarnya.
Ketiga, masyarakat yang sangat berfikir rasional.
Akibatnya, menurut Haedar, ada sesuatu yang hilang. Masyarakat seperti ini akan mengalami caos, mengalami disorientasi diri. Terkadang masyarakat seperti ini, mudah panik, bisa gampang marah. Kemudian masyarakat ini juga mengalami kegersangan ruhani.
“Karena pengajian juga banyak cenderung keras dan selalu menyalah-nyalahkan orang, maka masyarakat akhirnya mencari romantisme. Orang itu akan mencari oase dalam dirinya yang sempat hilang, kemudian memenuhi kebutuhan dan kehausan dirinya,” ujarnya.
Masyarakat seperti ini, menurut Haedar, mereka berada di posisi menengah ke atas. Tetapi karena gersang, tidak menemukan kepuasan, maka dia akan mengalami kegelisahan. Hidupnya penuh konflik, pertarungan dan kegersangan, maka dia akan mencari dunia lain yang akan memuaskan dirinya. Maka dalam konteks keagamaan ada yang merindukan surga.
Maka lahirlah orang-orang yang mecari kepuasan spiritual. Bahkan ada juga melampaui kebenaran agamanya seperti mengaku nabi, atau mencari ratu adil. Kondisi caos kemudian merindukan keindahan yang sifatnya artifisial.
Kemudian ada lagi pihak lain yang kemudian menginginkan cepat masuk sorga. Maka dalam kondisi itu, mereka lari pada ajaran-ajaran radikal dan menjadi teroris. Jadi apa yang terjadi di Surabaya atau tempat lain, dilakukan oleh orang yang memiliki mimpi-mimpi milenial.
Kemudian, menurut Haedar, di dunia maya, relasi sosial itu bersifat maya, tetapi sangat keras. Di sana ada perang opini, perang ujaran, ada hoax. Maka sebenarnya manusia tidak boleh berlebihan, karena beberapa hal: Pertama, manusia tidak boleh mengedepankan egonya sendiri secara berlebihan. Maka dampaknya adalah ego itu menguasai diri, kemudian kita mengagungkan dirinya karena nafsu. Kedua, orang yang memujakan diri pada syahwat.
“Maka dalam kondisi seperti ini, Muhammadiyah harus mengedepankan akhlak yang baik dan akhlak yang utama. Muhammadiyah harus menjadikan keadaban, ini di atas tarbiyah,” ujarnya.
Dalam berbagai hal, Haedar melihat, baik sosial maupun politik, di sana ada perbedaan, di sana ada cara yang berbeda. “Tetapi kita harus tetap menjaga keadaban. Termasuk kita juga dalam menjaga agama yang kita yakini, harus dengan cara-cara yang beradab. Manusia wajar marah, tetapi marahnya kita jangan berlebihan, jangan sampai melakukan sesuatu yang tidak wajar,” ujarnya.
Untuk melakukan kebaikan yang beradab itu, menurut Haedar, maka kita harus meningkatkan kualitas manusianya. Agar generasi milenial ini, dapat melanjutkan tradisi orang tua yang beradab. “Maka sebagai pendidikan pun harus lebih baik dan memberikan keteladanan. Â Oleh karena itu media sosial harus menjadi perhatian kita, baik itu fb, twitter dll,” ujarnya.
Menurut Haedar, Muhammadiyah juga harus melakukan pembudayaan. Karena Muhammadiyah merupakan masyarakat besar, maka warga Muhammadiyah harus melakukan pembiasaan yang baik ini agar lahir keadaban digital.
“Kita gunakan semua teknologi yang kita miliki seperlunya saja, sesuai dengan kebutuhan kita saja jangan berlebihan,” ujarnya.