JAKARTA, MENARA62.COM – Terapi sel punca atau stem cell makin popular. Tidak hanya untuk pengobatan berbagai penyakit degenertif seperti kanker, stroke, diabetes melitus dan jantung, tetapi meluas untuk penanganan kasus-kasus kelainan darah (talasemia), parkinson’s, leukemia, autism dan lainnya. Termasuk juga untuk terapi kecantikan berupa peremajaan kulit.
Meski penggunaannya makin meluas, hingga kini sel punca belum bisa diproduksi secara massal. Problemnya selain belum adanya standar yang jelas, antar sumber daya manusia (SDM) yang menguasai soal sel punca juga belum satu pandangan.
“Kita juga berhadapan dengan masalah investasi. Karena untuk membangun satu pusat terapi sel punca ini dibutuhkan investasi yang cukup besar berkisar antara Rp175 miliar hingga Rp200 miliar,” kata dr Mochamad Syaifuddin, MARS, pakar sel punca klinik MMC Lamongan, Jawa Timur, Selasa (13/8/2019).
Investasi yang besar tersebut untuk kebutuhan pembangunan laboratorium, infrastruktur cangkok, tempat rawat inap pasien, ruang steril dan sarana prasarana penunjang lainnya.
Menurutnya, pemerintah harus segera mencari solusi terkait penyediaan sel punca ini. Sebab kebutuhan masyarakat akan sel punca di masa depan akan terus meningkat seiring makin banyaknya jenis penyakit degenerative.
Dua rumah sakit yakni RS Cipto Mangunkusumo dan RS Dr Sutomo yang kini sudah memiliki divisi khusus sel punca serta Klinik MMC Lamongan tentu tidak akan bisa memenuhi seluruh kenutuhan sel punca masyarakat.
“Dengan terapi sel punca ini, banyak penyakit-penyakit degenerative yang selama ini menyedot anggaran BPJS Kesehatan sangat besar bisa disembuhkan. Artinya jika model terapi ini dikembangkan, maka akan menghemat biaya pengobatan yang harus dikeluarkan oleh pemerintah,” lanjutnya.
Memproduksi secara massal sel punca jelas dr Saifuddin tidak hanya menghemat biaya pengobatan berbagai penyakit. Tetapi sekaligus melindungi masyarakat dari penggunaan sel punca yang tidak terstandar.
Syaifuddin mengakui saat ini banyak praktik penggunaan sel punca yang tidak memiliki standar maupun sumber yang jelas. Sel punca itu acapkali diambil dari sel binatang seperti sel rusa, biri-biri dan kelinci atau sel buah-buahan seperti sel apel. Penggunaan sel punca dari sel binatang atau buah-buahan tentu memiliki risiko besar terhadap kesehatan manusia.
Ia mencontohkan kasus penggunaan sel punca oleh seorang dokter ahli sel punca dari Swiss. Sel punca yang diambil dari sel kelinci dan ditanamkan pada bayi kembar siam, ternyata menimbulkan problem serius dikemudian hari. Satu pasien meninggal dunia, satu pasien lainnya hidup dengan golongan darah yang tidak wajar sebagaimana golongan darah manusia. Pasien yang berhasil mendapatkan cangkok sel punca kelinci tersebut belakangan diketahui memiliki golongan darah D, sama persis dengan golongan darah kelinci.
“Masyarakat harus diedukasi betul soal penggunaan sel punca ini karena fakta di lapangan sering disalah gunakan,” katanya.
Harga lebih murah
Harga sel punca saat ini diakui dr Syaifuddin masih sangat mahal. Sebagai gambaran satu sel punca harganya rata-rata Rp1,00. Padahal untuk terapi menggunakan sel punca, dibutuhkan 1 juta hingga 3 juta sel per 1 kg berat tubuh manusia. Semakin berat tubuh seseorang maka semakin mahal harga yang harus dibayarkan untuk terapi sel punca ini.
Jika diproduksi massal menurut perhitungan dr Syaifuddin harga terapi sel punca bisa ditekan lebih murah hingga 50 persennya.
Salah satu pasien yang sukses menjalani proses stem cell adalah mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan, kala itu ia menjalani proses natural killercell (NK cell). Pengobatan ini berfungsi untuk mempermuda sel dalam tubuh. Mantan Dirut PLN ini melakukan proses tersebut dua kali pada akhir 2014 dan pada Februari 2015.
Dahlan lebih memilih melakukan stem cell di RS Dr Sutomo Surabaya dibanding ke Jerman, dokter kenalannya. Hal ini karena harga yang dipatok untuk melakukan sistem stem cell Surabaya jauh lebih murah.
”Bahkan, mungkin yang termurah di dunia. Tapi, hasilnya bagus. Sampai sekarang, saya masih sehat dan tak punya keluhan apa pun,” terangnya.
Walaupun harganya murah, kualitas stem cell di Surabaya tak perlu diragukan. Dengan melakukan riset secara mandiri, kata Dahlan, RSUD dr Soetomo memiliki kualitas stem cell yang lebih baik daripada yang ada di Jerman.
“Di Jerman para dokter hanya mengembangkan riset yang sudah ada. Karena itu, kita harus mendukung pengobatan stem cell di sini (RSUD dr Soetomo) agar bisa dikenal dunia internasional,” paparnya.
Solusi pengobatan yang aman
Sel punca menjadi harapan baru dunia kedokteran untuk menjawab pengobatan berbagai penyakit yang selama ini kerap diklaim sebagai sulit disembuhkan. Di hampir semua Negara maju, sel punca menjadi solusi kesehatan yang makin diminati masyarakat.
Di Indonesia, perhatian dan penelitian dalam bidang sel punca mengalami kemajuan yang amat pesat. Para peneliti menggunakan sel punca untuk mengetahui dan mempelajari proses pertumbuhan dan perkembangan jaringan tubuh manusia serta patogenesis penyakit-penyakit yang diderita. Dari situ pula penyembuhan melalui terapi ini dapat dilakukan.
Penggunaan sel punca dalam perngobatan penyakit-penyakit yang sudah tidak mungkin untuk diobati lagi baik secara konservatif maupun operatif khususnya penyakit degeneratif maupun kelainan lainnya. Dalam bidang farmakologi para peneliti juga menggunakan sel punca untuk menguji obat-obat baru.
“Sel punca (stem cell) mempunyai kemampuan untuk mengganti sel yang rusak atau sakit. Stemcel berfungsi untuk mengembalikan keremajaan sel. Regenerasi sel ini berfungsi untuk mengembalikan stamina dan peremajaan tubuh sehingga tampak awet muda, serta bisa untuk menyembuhkan penyakit,” tambah dr Syaifuddin.
Prinsip terapi sel punca atau stem cell adalah mereparasi sel yang rusak dengan menanamkan sel baru menggunakan jenis sel dan fungsi sel yang sama. Terapi tersebut selama ini telah terbukti berhasil menolong banyak pasien di klinik MMC Lamongan dan juga di dua rumah sakit yang sudah mengembangkannya yakni RS Ciptomangunkusumo Jakarta dan RS Dr Soetomo Surabaya.
Terapi sel punca itu sendiri memiliki dua jenis yakni autologous dan alogenik. Autologis adalah jika sel punca diambil dari tubuh pasien dan alogenik yakni sel punca yang diambil dari organ tubuh orang lain.
Pengambilan sel punca ini tidak harus ditali pusar. Saat ini sel punca bisa diambil dari sel lemak atau sumsum tulang belakang. Semakin muda usia seseorang maka sel puncanya memiliki kualitas yang sangat bagus. Sebaliknya pada orang lanjut usia, sel punca yang dimiliki sudah tidak bagus.
“Sel punca lebih banyak ‘dipanen’ ketika masa-masa remaja dan pertumbuhan. Ketika manusia memasuki umur diatas 30 tahun akan lebih sedikit. Sebagai gambaran, di usia 45 tahun setidaknya manusia akan mengalami penurunan massa otot satu kilogram setiap dua tahun. Faktor lingkungan serta gaya hidup juga menjadi faktor utamanya percepatan penuaan sel-sel dalam tubuh,” jelas dr Syaifuddin.
Lakukan 8 formula
Untuk mengembalikan keremajaan sel tubuh, setidaknya ada delapan hal yang bisa dilakukan, diantaranya berolahraga, diet sehat, menghindari stress, endokrin (hormon), suplemen gen, estetika, imun, dan sel punca.
“Untuk olahraga yang baik itu jam 5.30 pagi dan terpapar sinar matahari pagi. Olahraga di luar jam tersebut hanya bermanfaat untuk pembentukan fisik (bodi) bukan untuk peremajaan sel,” tuturnya.
Jika itu dilakukan maka tubuh akan memiliki mekanisme sendiri melakukan peremajaan sel. Namun jika hal itu tidak bisa dilakukan alternatif yang bisa dilakukan dengan melakukan terapi stem cell.
“Jadi peremajaan sel tubuh jangan selalu dibayangkan dengan angka ratusan juta rupiah. Ada mekanisme alami yang bisa dilakukan manusia,” tukasnya.
Menurutnya sel punca pada intinya adalah bagaimana sel itu bisa melakukan peremajaan sel sepanjang usia. Ini bisa diperoleh dengan upaya preventif dan promotif kesehatan yang meliputi 8 formula.
Manusia itu sendiri memiliki 250 jenis sel mulai dari sel jantung, sel kulit, sel mata dan lainnya. Sel-sel tersebut bisa diambil dari tali pusar atau jaringan lemak dalam tubuh. Sel punca dari tali pusat membutuhkan biaya yang sangat mahal baik untuk pengambilan, penyimpangan di bank stem cell dan lainnya.
Sedang sel punca yang dikembangkan dari lemak tubuh sendiri memiliki biaya yang relative lebih murah. Hanya saja produksinya masih terbatas sehingga harga terapi sel punca juga menjadi mahal.
Syaifuddin berharap suatu saat pemerintah membangun pusat sel punca lebih banyak lagi sehingga sel punca bisa diproduksi secara massal.