JAKARTA, MENARA62.COM — The FED Ingin Kendalikan Suku Bunga. Ini tentu menjadi kabar gembira bagi Indonesia di awal tahun 2023 ini, Kamis (5/1/2023). Pasalnya, suku bunga the FED (Federal Reserve) Amerika Serikat, dapat mempengaruhi nilai tukar Rupiah di dalam negeri.
Seperti diketahui, proyeksi pertumbuhan Indonesia tahun ini 4,5-5 persen. Angka ini memang memperlihatkan bahwa Indonesia masih jauh dari resesi ataupun krisis. Apalagi, kalau melihat, pada empat sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia masih positif, secara angka dan data.
Pertama adalah Konsumsi Rumah Tanggal yang berada di angka 56% tahun 2022, meskipun ini turun dibandingkan tahun sebelumnya. Apalagi, tahun 2023 Indonesia memasuki tahun politik. Diperkirakan, akan ada pengeluaran politik di luar APBN dan APBD, yang menambah “pendapatan” bagi masyarakat dan akan menjadi belanja rumah tangga. Apalagi jika itu langsung diterima masyarakat bawah dalam bentuk apapun, akan habis menjadi tambahan dana yang akan dibelanjakan sebagai konsumsi rumah tangga.
Kedua, ekspor Indonesia masih ada, meskipun akan mengalami pertumbuhan yang melambat. Namun, ada karakteristik investasi yang terjadi selama pandemi Covid-19 berlangsung, yaitu investasi tambang, perkebunan dan termasuk hilirisasi. Investasi ini akan terus berlanjut. Investasi sektor primer ini memang memberi return jangka menengah panjang. Namun, artinya investor melihat proyeksi kedepan. Inilah yang menjadi harapan, investasi akan menjadi sumber pertumbuhan kedua di Indonesia.
Ketiga, belanja negara dan dorongan pemerintah untuk menggerakkan investasi menengah kecil masih diharapkan. Namun, pemerintah sudah tidak lagi mengeluarkan belanja ekstrem seperti tahun 2022. Pemerintah akan Kembali ke normal deficit, karena adanya pengurangan pengeluaran pemerintah. Seperti Covid-19 tidak lagi ditanggung pemerintah. Ini tentu saja diharapkan mengurangi ekspansi pemerintah. Selain itu, diharapkan pemerintah tidak mendorong revenue yang lebih besar seperti pajak dan retribusi baru. Kebijakan fiskal diharapkan tidak kontra produktif dengan apa yang terjadi di sektor ekonomi.
Keempat, kondisi perbankan, mestinya positif. Paling tidak dilihat dari pertumbuhan kredit. Bagaimana pendanaan kelompok menengah bawah? Begitu ekonomi bergerak, semua sektor akan bergerak dengan harapan akan mengisi peluang market yang selama ini ada.
Harapan
Ekonom Hendri Saparini pada sebuah diskusi yang digelar Majelis Ekonomi Muhammadiyah pada akhir tahun lalu mengungkapkan sejumlah tanda-tanda optimis. Krisis pangan, krisis energi dan tekanan inflasi memang di depan mata. Indonesia baru saja dihantam dengan kenaikan BBM yang menambah tekanan pada inflasi, namun gelombangnya hampir surut. Seiring waktu, pada awal tahun 2023, denyut inflasi akibat kenaikan BBM semakin melemah. Tekanan itu, akan semakin melemah dan bahkan bisa hilang, jika the FED tidak mengeluarkan kebijakan yang dilakukan secara tiba-tiba, misalnya dengan menaikkan suku bunga. Tekanan itu, mungkin bisa semakin tidak dirasakan ketika China rebound.
Bayang-bayang kenaikan suku bunga the FED, memang bisa berdampak pada nilai tukar mata uang di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Dampak global tampaknya berkurang, karena ada kehati-hatian yang dilakukan the FED. Apalagi di Amerika Serikat sudah ada penciptaan lapangan kerja, meskipun bukan lapangan kerja baru. Namun, bagi Indonesia tetap saja, Rupiah diperkirakan pada tahun 2023 akan sedikit melemah dibawah tekanan Dollar Amerika. Namun, nilai tukarnya stabil. Bagi kalangan dunia usaha, ini tentu jadi kabar gembira. Pasalnya, nilai tukar yang melemah lebih ringan kekhawatirannya, ketimbang nilai tukar tidak stabil.
Pengaruh global Amerika, China, Jepang, Eropa dan India, memang cukup dirasakan Indonesia, mengingat kelima negara dan wilayah ini menjadi tujuan ekspor Indonesia yang penting.
Saat ini, meskipun cadangan devisa Indonesia menurun, namun posisinya mungkin akan lebih baik, bahkan kondisinya lebih baik jika dibandingkan sebelum Covid-19 melanda dunia. Apalagi, tahun depan, beban biaya yang dikeluarkan pemerintah sudah semakin berkurang. Tidak ada lagi pengeluaran ekstrim, karena biaya perawatan Covid-19 tidak lagi ditanggung pemerintah. Selain itu, ekspor Indonesia masih lebih tinggi, dibandingkan impor. Sebuah kondisi yang menguntungkan, karena valas masuk ke dalam negeri, dan tertahan karena penggunaan valas berkurang.
Secara makro dan bisnis, kalangan masyarakat bawah memang merasakan tekanan berat untuk belanja kebutuhan sehari-hari. Pasalnya, dampak inflasi tetap terasa, dan harga belum akan ada penurunan harga. Apalagi, pemerintah memang tidak mengontrol harga, kecuali untuk beberapa kebutuhan dasar seperti listrik dan BBM.
Karena tekanan global dan domestik berkurang, diharapkan BI tidak akan cukup konservatif. Sejumlah ekonom berharap, BI akan membuka peluang untuk mendorong pemulihan ekonomi yang mulai terjadi pada dua kuartal terakhir tahun 2022, meskipun belum di semua sektor.
Semua pihak berharap, tentunya dengan mempertimbangkan kondisi lingkungan seperti ini, semua bisa mencari peluang. Masyarakat mencari peluang, dan pemerintah melakukan kebijakan lebih detail dengan semakin mendorong optimisme masyarakat. Diantaranya, dengan mendorong sektor ekonomi yang membuka langkah lebih konkrit untuk melibatkan masyarakat dalam kegiatan tersebut.