JAKARTA, MENARA62.COM – Tiga menteri menyatakan perang terhadap perdagangan telepon seluler (ponsel) illegal di pasar gelap (black market) di Indonesia. Jika sukses, pemerintah akan meraup potensi ekonomi lewat pajak sebesar Rp55 miliar per hari atau Rp2 triliun per tahun.
Perang terhadap ponsel illegal itu dilakukan melalui penandatanganan peraturan terkait identifikasi Internasional Mobile Equipment Identity (IMEI) oleh Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto, Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita, serta Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara.
“Tujuannya adalah untuk memerangi pasar gelap atau penjualan telepon ilegal. Dan, regulasi ini baru berlaku enam bulan kemudian,” kata Menperin Airlangga di Jakarta, Jumat (18/10/2019).
Kementeran Perindustrian (Kemenperin), menurut dia, telah memiliki 1,4 miliar data IMEI dari pengguna ponsel. Selanjutnya, akan dicek dengan data milik Global System for Mobile Association (GSMA), yakni daya IMEI internasional.
“Jadi, dari dua daya ini sebetulnya pemegang ponsel industri itu aman. Tidak akan ada yang terganggung baik yang membeli di dalam maupun luar negeri, kecuali membeli dari pasar gelap,” ujar Airlangga.
Dalam waktu enam bulan ini, lanjut Airlangga, semua pihak terkait akan berupaya meniadakan pasar ilegal untuk ponsel. Dan, secara prinsip, tidak ada perlindungan khusus untuk produk ponsel di dalam negeri, mengingat bea masuknya Rp0.
Dengan aturan tiga menteri tersebut, yang ingin dilindungi adalah terhadap persaingan usaha yang tidak sehat, di mama produsen nasional harus membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen, sementara ponsel ilegal tidak.
Menkominfo Rudiantara menyampaikan, potensi ekonomi dari pemberantasan ponsel ilegal tersebut mencapai Rp2 triliun per tahun atau Rp55 miliar per hari. “Jadi, kalau ditunda sehari, ada kehilangan potensi Rp55 miliar,” ujarnya.
Mendag Enggartiarso Lukita menyampaikan, dalam rangka mengamankan perdagangan ponsel di dalam negeri, Kemendag akan mensyaratkan label dan buku panduan berbahasa Indonesia. “Kalau tidak ada keduanya, mudah ditelusuri bahwa barang ini adalah black market, meskipun di ujungnya nanti ditelusuri dari nomor pendaftaran IMEI sendiri. Ini juga berlaku untuk permohonan izin impor ponsel, sehingga pendeteksian juga mudah dilakukan” ujarnya.