JAKARTA, MENARA62.COM – Revisi Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang saat ini prosesnya tengah bergulir di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) menarik perhatian sejumlah tokoh Papua.
Wakil Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Otsus Papua DPR RI Yan Permenas Mandenas berpendapat revisi terbatas dua pasal dalam Undang-undang Otonomi Khusus (UU Otsus), dinilai hanya mengunci masyarakat Papua. Padahal, masalah di Papua begitu kompleks.
“Mengapa yang direvisi hanya dua pasal, padahal masalah di Papua begitu kompleks? Ini sama saja mengunci ruang aspirasi masyarakat Papua,” kata Yan dalam diskusi di Media Centre DPR RI, Jakarta, dalam diskusi bertajuk ‘RUU Otsus Papua, Apakah Menyejahterakan Rakyat Papua?’, Rabu (9/6/21).
Menurut Yan, revisi UU Otsus yang hanya dua pasal tersebut membuat tidak leluasa bergerak apalagi pihaknya hanya diberikan waktu untuk merevisi dua pasal hingga minggu kedua bulan Juli 2021.
Selain itu, kata dia, pemerintah pusat sering memanfaatkan faksi yang ada dengan mengatasnamakan rakyat Papua dalam setiap kebijakan.
“Seharusnya para pembantu Presiden Joko Widodo mampu menerjemahkan keinginan untuk menyejahterakan Papua. Akan tetapi, ada oknum-oknum tertentu di birokrasi yang yang berotak kotor. Padahal mereka paham dengan kompleksitas masalah dan banyaknya faksi di Papua. Oknum-oknum inilah yang harus dibersihkan,” tandasnya.
Sementara, Anggota DPD RI asal Papua, Yorrys Raweyai , revisi UU Otsus dapat memberikan penyelesaian secara komperehensif. Khususnya bagi masyarakat Papua.
“Direvisinya UU Otsus disebabkan karena sejak diundangkan pada 20 tahun, belum mampu menangani secara terpadu persoalan masyarakat asli Papua. Karena tidak terpadu, maka kewenangan yang diatur dalam UU Otsus yang bertabrakan,” tegasnya.
Dia menjelaskan, sampai dengan hari ini, dana untuk Papua sudah mencapai Rp 3.018 triliun. Dana tersebut dibagi dalam tiga aspek, yakni, dana infrastruktur, dana desa dan ada belanja modal.
“Kami berharap, revisi UU Otsus memiliki lex spesialis, sehingga tidak bisa diintervensi oleh undang-undang lain, kecuali UUD 1945. Dimana semangatnya bagaimana untuk mengafirmasi dan memproteksi orang asli Papua selama 20 tahun ke depan,” ucapnya.
Adapun Bupati Merauke, Romanus Mbaraka menjelaskan, ada beberapa kebijakan yang tidak rasional. Misalnya karena banyak kebijakan untuk Papua yang tidak rasional.
“Misalkan, mengirimkan banyak serdadu bersenjata canggih hanya untuk menangkap segelintir orang di sebuah kampung. Dimana keberadaan kelompok bersenjata itu hanya berada di kampung dan tidak tersebar di seluruh Papua, yang luasnya tiga kali Pulau Jawa,” tuturnya.
Oleh karena itu, dia lebih setuju bila yang digunakan adalah pendekatan kemanusiaan dibanding pendekatan keamanan. Yakni melalui gereja maupun masjid.
Seperti diketahui dua pasal revisi UU Otsus Papua yang saat ini sedang digodok DPR :
Pertama, terkait Pasal 76 tentang pemekaran. Dalam revisi ini, Pasal 76 diubah menjadi pemekaran daerah provinsi menjadi provinsi-provinsi dapat dilakukan atas persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) atau Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP). Lalu pemerintah dapat melakukan pemekaran daerah provinsi menjadi daerah otonom untuk mempercepat pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat.
Kedua, pasal terkait dana otsus. Dalam revisi UU Otsus ada wacana akan menaikkan dana otsus dari awalnya 2% menjadi 2,25%. Hal itu tertuang dalam Pasal 34 Ayat 3 huruf e. Kenaikan terdiri dari penerimaan yang bersifat umum setara dengan 1% dari plafon Dana Alokasi Umum (DAU) nasional dan penerimaan yang telah ditentukan penggunaannya dengan berbasis kinerja pelaksanaan setara 1,25% dari plafon DAU nasional