Tulisan ini, pernah dimuat di Kompas pada tanggal (23/7/2005), pada rubrik sosok dan pemikiran Prof Bahtiar Effendy.
Transisi demokrasi di Indonesia tanpa disadari telah membawa anomali. Adanya ketidaksesuaian antara apa yang diinginkan dan realitas politik. Salah satu yang menonjol, keinginan untuk tetap mempertahankan sistem pemerintahan presidensial, tetapi juga menoleransi bahkan terkesan mendorong lahirnya multipartai.
Kondisi itu jelas di luar kebiasaan langgam kelaziman ilmu politik. Biasanya, sistem presidensial dibarengi jumlah partai yang tidak terlalu banyak.
Kondisi seperti ini sangat mencemaskan pakar politik Bahtiar Effendy karena kehidupan partai politik bisa terancam. Celakanya, orang partai sendiri tidak menyadarinya. Malah menganggapnya sebagai hal biasa saja, atau hanya mengatakan sekadar efek negatif dari masa transisi dari otoritarianisme menuju demokrasi.
Pengajar di Universitas Islam Negeri Jakarta, Universitas Indonesia, dan Universitas Muhammadiyah Jakarta ini, yang juga dikenal sebagai pengamat politik Islam, sangat mengkhawatirkan kehidupan politik Indonesia yang diwarnai dengan kapitalisasi politik. Dalam artian, politik menjadi sangat mahal dan menyebabkan persaingan kekuasaan hanya bisa diikuti orang-orang yang sudah memiliki tumpukan kapital dalam jumlah yang sangat besar. Tidak heran jika seorang pemimpin yang terpilih dalam mekanisme politik yang mahal biaya politiknya ini berusaha mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan. Paling tidak, mencoba mendapatkan lagi modal yang bisa dipakai untuk bertarung pada periode mendatang.
Berikut petikan wawancara dengan pria kelahiran Ambarawa, 10 Desember 1958, itu.
Dalam kondisi anomali ini, usaha seperti apa yang dapat dilakukan?
Bagi ilmuwan politik, tentu sulit merumuskan praktik politik seperti apa yang mungkin dilaksanakan, agar dapat menghasilkan pemerintahan yang efisien dan efektif. Di parlemen tidak kurang dari sepuluh partai ada di tingkat nasional dan lokal. Kondisi anomali ini menyebabkan fungsi dan kehadiran partai menjadi tak jelas. Saat ini yang terjadi adalah koalisi-koalisi.
Dalam sistem pemerintahan presidensial, koalisi itu sesuatu yang dipaksakan. Lazimnya, koalisi ada pada sistem parlementer. Jadi, demokrasi yang dipraktikkan dengan banyak partai ini bisa disebut uncommon democracy. Demokrasi yang tidak lazim dan melahirkan sistem pemerintahan yang tidak lazim. Bagaimana mungkin, Indonesia yang memiliki sistem pemerintahan presidensial, namun dilakukan dengan banyak partai.
Sulit membayangkan pemerintahan yang efektif, tetapi koalisi dalam kepresidenan. Sementara koalisi di parlemen, berdasarkan pengalaman masa lalu, tidak bisa menciptakan pemerintahan yang efektif. Coba bayangkan, jika diletakkan dalam UUD, wakil presiden itu pembantu dan tidak punya fungsi apa-apa kalau presidennya aktif. Tetapi di lapangan, dalam konteks Indonesia saat ini, wapresnya itu dari partai terbesar, bagaimana bisa memfungsikan dirinya sebagaimana yang diamanatkan UUD. Ini kan juga anomali.
Jusuf Kalla mengambil porsi yang tidak lebih sedikit dengan porsi yang ditangani presiden. Anda bayangkan, Jusuf Kalla sangat aktif dalam menyelesaikan persoalan Gerakan Aceh Merdeka yang melibatkan internasional. Walaupun presiden pasti tahu dan merestui, semua orang melihat dan itu kerja wapres. Kalau doktriner mengikuti UUD, kan tidak benar, semua itu bisa ditarik oleh presiden. Tetapi, secara de facto politik, presiden tidak mempunyai sumber daya politik yang cukup. Presiden tidak bisa mengklaim dapat dukungan 69 juta suara dari rakyat karena Jusuf Kalla pun bisa mengklaim hal yang sama.
Lantas, apa artinya pemilu presiden kemarin kalau bangunan pemerintahannya menjadi tidak lazim?
Pemilu presiden, terlihat jelas adanya kekaburan tentang partai apa mencalonkan siapa. Partai yang jumlahnya banyak ini merasa tak yakin bisa maju sendiri dan menang. Bahkan, bagi partai yang besar sekalipun juga tidak punya keberanian dan keyakinan bisa menang jika maju sendiri. Lebih kentara lagi, jika melihat pemilihan di tingkat lokal, baik gubernur, bupati, maupun wali kota. Hampir-hampir tidak ada satu partai yang murni mencalonkan kader, tokoh, dan pimpinannya sendiri. Bahkan, Golkar sekalipun tidak punya rasa percaya diri.
Misalnya di Jambi, Golkar harus bergabung dengan PAN. Itu pun posisinya, Golkar sebagai wakil gubernur. Padahal, Golkar peraih suara terbanyak dalam pemilu legislatif di Jambi.
Dalam sistem presidensial, seharusnya kita bisa bertanya, yang menang partai apa dan siapa yang akan diajukan sebagai calon presiden, paket wakilnya, bahkan siapa saja kemungkinan menterinya.
Hasil pemilu kemarin banyak menimbulkan pertanyaan, apakah pemerintahan sekarang ini pemerintahan Partai Demokrat atau Partai Golkar. Orang tidak bisa secara tegas menjawabnya. Ini merupakan anomali dari UU politik yang disusun secara tidak koheren. Inilah akibatnya, fungsi partai menjadi sangat minimal. Atau bahkan tidak fungsional sama sekali. Yudhoyono dan Kalla ketika menjadi calon presiden, fungsi Partai Demokrat hanya mengumumkan mereka itu calon presidennya. Tetapi, di lapangan, fungsi partai sama sekali tidak bekerja karena yang bekerja adalah tim sukses. Begitu juga di tingkat lokal, fungsi partai hanya mengumumkan.
Konsekuensinya terhadap parpol di masa depan?
Tentu ini akan membawa konsekuensi di masa depan, entah kapan. Kalau kecenderungan ini berlanjut, partai menjadi tak penting lagi. Fungsi partai menjadi minimal dan disiplin partai terkena erosi. Partai tidak lagi mempunyai disiplin yang kuat dan mampu memaksakan kehendaknya. Kecuali, mungkin sebagian dari mereka yang ada di struktur partai. Apalagi jika partai itu dipimpin orang yang berkuasa, tentu masih ada “ketakutan”, dalam artian masih ada disiplin yang diikuti. Tetapi, di luar itu struktur partai tak ada.
Jaringan partai di daerah tentu bakal mempunyai kebebasan sendiri tanpa harus sesuai dengan keputusan pusat, ataupun bergantung pada pengendalian kebijakan partai. Apakah itu di dalam bentuk preferensi politik, atau dalam bentuk pencalonan tokoh dalam pilkada. Bahkan, untuk bisa jadi calon tidak harus menjadi orang partai. Jika Anda dianggap partai itu mampu, Anda bisa dicalonkan. Dan sebagian besar ukuran kemampuan itu di tentukan oleh seberapa besar Anda mempunyai dana.
Padahal, ide awal dalam membuat sistem politik adalah ingin membuat kekuasaan yang didukung sistem kepartaian?
Ya, tetapi kenyataannya malah membuat fungsi partai menjadi minimal. Padahal, parpol diharapkan bisa mendorong proses demokrasi. Kenyataannya yang terjadi, di luar hal-hal yang sifatnya formal, sebetulnya masyarakat borjuis atau mereka yang mempunyai kapitallah yang mengendalikan dan sekarang ini berada di depan proses politik. Itu terjadi baik di tingkat nasional maupun lokal.
Kita tentu bisa menduga-duga dan saya kira orang percaya, semua proses politik sekarang ini membutuhkan sumber dana yang sangat besar. Ada kasus di mana baru pada proses pencalonan saja harus mengeluarkan sekitar 6 miliar. Belum lagi untuk proses kampanye dan sebagainya. Jadi, ini yang saya sebut kapitalisasi politik. Jika ini terjadi terus-menerus, bisa dibayangkan bagaimana mereka yang duduk di pemerintahan itu akan bisa mengonsentrasikan energi dan perhatiannya untuk mewujudkan kepentingan masyarakat.
Sistem politik kita tidak lagi berdasarkan kepartaian dong?
Hampir-hampir tidak, coba saja lihat Konvensi Partai Golkar. Bagaimana seorang Akbar Tandjung, yang mempunyai pengalaman politik sedemikian rupa dan berdiri di depan ketika partai tersebut mengalami desakan dan sebagainya untuk dibubarkan, tetapi di dalam proses konvensi itu ia bisa dikalahkan oleh orang atau tokoh yang sebetulnya secara material, kultural, dan struktural tidak dikenal di Golkar. Bagaimana menjelaskan kekalahan Akbar dari Wiranto. Apakah ke depan masih ada partai yang mau melakukan proses yang sama, atau melakukan konvensi seperti yang dilakukan Golkar, ketika konvensi itu sendiri tidak bisa menjamin kader Golkar untuk tampil dan menang. Jawabannya saya kira karena terjadi kapitalisasi politik tadi. Proses di mana kapital memainkan peran yang luar biasa. Saya tidak menamakannya politik uang, tetapi proses yang dilakukan itu membutuhkan dana yang sangat luar biasa besarnya.
Pemimpin partai tampaknya harus menerima fungsi yang minimal dari partai yang sekadar formalitas untuk mencalonkan orang. Wong kenyataannya, dalam pilpres kemarin yang beroperasi bukan mesin partai, tetapi tim sukses. Partai hanya menjadi stempel saja. Jadi, jangan heran juga jika orang yang ada di pemerintahan itu adalah mereka yang berasal dari mesin-mesin tim sukses. Tim sukses inilah yang nantinya menjadi “orang dalam”. Rekrutmen juga dilakukan dari tim sukses ini dan bukan dari partai. Hanya saja, dalam konteks Yudhoyono yang dipilih untuk kabinet itu berasal dari partai, tetapi ada komitmen dengan tim sukses.
Kenyataannya juga tidak semua tim sukses masuk kabinet. Yudhoyono mengambil orang partai hanya untuk meminimalisasi anomali presidensial. Itu mungkin dilakukan dengan tidak sadar, dalam sistem presidensial kok menginginkan dukungan dari semua partai.
Lalu di mana peran dasar yang melandasi keberadaan partai, masih adakah ideologi partai?
Sekarang ini hampir tidak ada lagi yang dipakai. Tidak banyak berperan, mungkin masih ada, tapi tidak berperan. Sebetulnya yang mendekatkan orang pada partai itu kan ideologi dan program. Namun, keduanya tak banyak berperan, baik di partai yang mengusung ideologi nasionalisme seperti Golkar, PDI-P, dan Partai Demokrat, maupun yang berdasarkan asas Islam.
Kini Prof Bahtiar Sudah meninggalkan kita semua, dan memberikan warisan pemikiran yang sangat layak untuk dikaji bagi dunia politik Indonesia, maupun dunia Islam.