25.6 C
Jakarta

Transplantasi Jadi Solusi Pengobatan Kanker Hati, Simak Kisah Mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan!

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM – Penyakit hati atau liver tidak menunjukkan gejala yang khas. Itu sebab, sekitar 80 persen pasien datang ke layanan kesehatan sudah dalam kondisi terlambat. Pada kasus yang demikian, transplantasi atau cangkok hati menjadi solusinya.

Tetapi apakah transplantasi hati aman dilakukan? Dahlan Iskan, mantan menteri BUMN yang juga Founder Harian Disway membagikan kisahnya dalam kegiatan webinar ‘From Heart to Heart: Dukungan untuk Pejuang Kanker Hati dan Kanker Tiroid’ nyang digelar Inspirasien, berkolaborasi dengan Yayasan Sahabat Hati Indonesia, Komunitas Pita Tosca Indonesia, PT Eisai Indonesia, dan Harian Disway pada Ahad (20/02/2022).

“Sebelum akhirnya divonis kanker hati, saya tidak merasakan keluhan apapun, tidak ada demam, tidak merasakan lemas atau keluhan aneh lainnya,” tutur Dahlan Iskan.

Ia mengetahui menderita kanker hati ketika suatu hari mengalami demam tinggi dan muntah darah dalam volume yang cukup banyak. Setelah diusut, diketahui bahwa perdarahan tersebut muncul akibat varises kerongkongan sebagai akibat komplikasi dari penyakit hati yang dideritanya tanpa beliau sadari.

Saat memeriksakan diri ke dokter, Dahlan Iskan didiagnosis menderita hepatitis B kronis dengan sirosis hati, dimana ternyata sudah mulai muncul benjolan di organ hati yang kemudian diketahui merupakan sel-sel kanker. Sedihnya waktu itu tim dokter memberikan aba-aba bahwa usianya tinggal 6 bulan. Pengobatan yang mungkin bisa dilakukan adalah dengan transplantasi hati.

Lalu Dahlan Iskan pun menjalani operasi cangkok hati di Tianjin First Center Hospitan, China pada 6 Agustus 2007. “Itu dilakukan sudah 17 tahun yang lalu dan sekarang saya sudah 70 tahun,” lanjutnya.

Pada kesempatan yang sama, Prof. Dr. dr. Rino Alvani Gani, Sp.PD-KGEH, FINASIM yang juga merupakan Ketua dan Founder dari Yayasan Sahabat Hati Indonesia, menjelaskan penyakit hati di Indonesia termasuk permasalahan masyarakat yang besar. Beberapa penyakit hati termasuk dalam penyakit katastropik pada BPJS sehingga memerlukan pembiayaan kesehatan yang besar. Sementara itu kesadaran masyarakat tentang penyakit hati masih rendah sehingga pasien dengan penyakit hati yang datang berobat di pusat kesehatan sudah dalam keadaan lanjut.

Saat ini masih sangat sedikit organisasi kemasyarakatan yang berorientasi pada penyakit hati di masyarakat. Sehingga dirasakan perlu untuk mendirikan sebuah lembaga masyarakat (NGO) yang akan bekerja berorientasi pada penyakit hati di masyarakat. Hal tersebut tertuang dalam visi-misi Yayasan Sahabat Hati Indonesia yang berperan aktif dalam pendampingan pejuang kanker hati.

Prof Rino juga berupaya mengedukasi bahwa pada kenyataannya 80 persen lebih kasus hepatitis tidak bergejala seperti yang pak Dahlan Iskan rasakan, sehingga seringkali pasien datang dalam kondisi yang sudah terlambat. Sebaiknya, individu yang merasa pernah terinfeksi oleh virus hepatitis B dan C tentu harus secara berkala, biasanya 6 bulan atau 1 tahun sekali melakukan pemeriksaan.

Pemeriksaan awal pun cukup mudah, yakni dengan tes SGOT dan SGPT (indikator sensitif dari kerusakan hati). “Walaupun banyak orang yang merasa bahwa ia sehat, belum tentu sebetulnya kondisi hatinya baik-baik saja. Ada baiknya kita memeriksakan kesehatan hati kita secara berkala,” begitu penjelasan Prof Rino yang juga menjadi salah satu penasihat dalam Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia.

Menurut data Globocan pada tahun 2020, penderita kanker hati di Indonesia pada tahun 2020 mencapai 21.392 kasus dengan kematian sebanyak 20.920 kasus. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) juga menyebutkan jika kanker hati termasuk penyebab kematian tertinggi bagi penduduk Indonesia. Hal ini terjadi karena seringkali pasien sudah datang saat sudah stadium lanjut atau saat kondisi sudah berat. Padahal kemungkinan kanker hati untuk sembuh bisa lebih besar jika dapat terdeteksi dan ditangani lebih awal.

Kanker Tiroid

Selain Dahlan Iskan, dalam acara tersebut turut hadir juga artis sekaligus influencer Talitha Latief untuk berbagi cerita sebagai pejuang kanker tiroid. Pada awalnya, Talitha tidak merasakan sakit atau gejala apa pun. Hanya, dia menemukan adanya keanehan dengan leher sebelah kanannya. “Saya sama kayak Pak Dahlan. Telat tahu kalau kena kanker,” ujar perempuan keturunan Slovakia, Pakistan, Jerman, dan Minangkabau, Sumatra Barat itu.

Di awal 2019 dia merasakan ada benjolan di lehernya. Namun, tidak ada tindakan apapun yang dilakukannya sampai setahun karena dia merasa tidak ada masalah kesehatan apapun yang dirasakan. Setelah setahun benjolan tidak hilang, Thalita pun mulai mengajak ibunya untuk periksa ke dokter spesialis penyakit dalam. Dokter memintanya ke bagian radiologi. Setelah hasil keluar, dia dirujuk ke bagian onkologi. Ada perasaan tidak nyaman saat itu di dirinyakarena  dia cukup familiar dengan istilah onkologi dimana saudaranya memiliki riwayat kanker. Setelah memeriksakan diri ke bagian onkologi, ternyata ditemukan sel kanker di kelenjar tiroid. Kakinya langsung lemas. Tak pernah dibayangkan bahwa sel kanker itu sudah tumbuh 1,2 centimeter. ”Saya menangis tidak tahu harus bagaimana,” ujar perempuan kelahiran 6 Desember 1988 itu.

Dokter harus melakukan operasi. Thalita sangat khawatir. Sebab kelenjar tiroidnya sangat dekat dengan pita suara. Sebagai aktris dan MC, suara sangat penting baginya. Namun semua rasa takut itu bisa dilawan demi sang buah hati. ”Anak saya masih kecil masih enam tahun. Itulah kekuatan saya. Kanker bukanlah akhir,” ujarnya dengan tegar. Setelah sembuh dia memetik banyak sekali hikmah dibalik kanker itu. Dia merasa kisah hidupnya bisa berguna bagi para penderita kanker. Yang mulanya penakut, kini jadi pemberani. ”Saya ini bangga. Bukan karena kankernya. Tapi bangga jadi pejuang,” sebut Thalita.

Menurut dokter Alvita Dewi Siswoyo, deteksi kanker tiroid sebenarnya tidak terlalu sulit dibandingkan dengan deteksi kanker hati. Dia meminta peserta webinar mengecek bagian lehernya. “Kalau ada benjolan, segera periksa ke dokter untuk deteksi dini,” ujar alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran itu.

Jumlah kasus pada kanker tiroid terjadi 13.114 kasus, dengan kasus kematian yang lebih rendah yaitu 2.224 kasus. Hal ini sesuai dengan paparan materi dari dr. Alvita Dewi Siswoyo, Sp.KN(K), M.Kes., FANMB, yang menyebutkan bahwa kanker tiroid perlu perhatian penuh dan kolaborasi positif dari banyak stakeholder terkait yaitu pasien, caregiver, tenaga profesional medis, komunitas pasien, dan lembaga, agar penderita gangguan tiroid, atau disebut pejuang tiroid dapat melakukan langkah-langkah preventif maupun pengobatan yang sesuai dengan gangguan yang dideritanya. Melalui deteksi dini #PeriksaLeherAnda, dr. Alvita berharap angka kejadian kanker tiroid dengan kategori risiko tinggi dapat dicegah.

Sejalan dengan hal tersebut, Pita Tosca Indonesia, Komunitas Pejuang Tiroid Indonesia, yang telah dikukuhkan sebagai komunitas pasien yang berdiri sejak 26 Oktober 2014, selalu berusaha berperan aktif untuk memberikan informasi-informasi seputar pemahaman gangguan tiroid, khususnya kanker tiroid. Pita Tosca Indonesia sangat mengedepankan program deteksi dini #PeriksaLeherAnda agar semakin banyak skrining gangguan tiroid yang dilakukan sebagai upaya pencegahan kanker tiroid dengan kategori risiko tinggi.

Hal ini diungkapkan oleh Ketua dan Founder dari Komunitas Pita Tosca Indonesia, Astriani Dwi Aryaningtyas, S.Psi., M.A. dan juga dewan penasihat dr. Siti Sundari Manoppo, perlu sekali adanya kolaborasi antar Lembaga terkait untuk mewujudkan kondisi para pejuang kanker ini agar tetap #TenangJadiPasien dan mendapatkan pendampingan yang baik.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!