WASHINGTON, MENARA62.COM – Publik Amerika Serikat (AS) sedang murka. Mereka dihadapkan pada harga obat-obatan yang kenaikannya selangit, yaitu mencapai 879 persen. Hal ini dianggap sebagai ulah pabrik farmasi yang tidak masuk akal, tidak bermoral, dan berpotensi kriminal.
Laman Medicaldaily.com menyebutkan contoh banderol obat paling ekstrem, yaitu untuk eceran obat flu fluoxetine (bentuk generik Prozac antidepresan), di California harganya meroket dari 9 dolar menjadi 69 dolar (667 persen). Bahkan, menurut kantor konsultan RX Saving Salutions, di tempat lain di AS harga fluoxetine melonjak hingga 879 persen.
“Kondisi ini mendefinisikan kesulitan yang dihadapi konsumen,” kata Michael Rea, pendiri dan CEO Rx Savings Solutions.
Ia menjelaskan, fluoxetine adalah di antara lebih dari 3.400 obat yang meningkatkan harganya dalam enam bulan pertama 2019. Total, kenaikan ini 17 persen lebih besar dari jumlah kenaikan harga obat pada periode yang sama pada 2018.
“Kenaikan harga obat rata-rata tahun ini sebesar 10,5 persen. Itu enam kali lipat tingkat inflasi AS yang sebesar 1,7 persen pada September 2019,” ungkap Rae.
Kenaikan harga obat-obatan lain yang banyak digunakan publik AS, menurut Rx Savings Solutions, adalah obat gangguan kulit Mometasone Topical Cream (naik 381 persen), pereda nyeri Promethazine/Codeine 6.25-10mg/5mL (naik 326 persen), dan obat ADHD/hiperaktif Guanfacine 2 mg (naik 200 persen).
Menurut sebuah studi dari Kaiser Family Foundation awal tahun ini, meyebutkan bahwa orang AS marah pada kenaikan harga obat yang tanpa henti. Dan, empat dari lima orang AS percaya bahwa biaya obat resep dokter tidak masuk akal, sehingga mereka enggan menebusnya.
“Harga obat meningkat karena kombinasi tekanan dari pemegang saham untuk memberikan keuntungan yang lebih tinggi,” ujar Rea.
Yang dikhawatirkan, kenaikan harga obat-obatan di AS itu berdampak global dan akan lebih memberatkan bagi masyarakat negara-negara berkembang seperti Indonesia.