Oleh : Fatkul ‘Ulum*)
BOYOLALI,MENARA62.COM – Tasawuf secara umum diartikan sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah dengan menjauhi hal-hal duniawi. Namun, dalam Muhammadiyah, tasawuf memiliki makna yang lebih modern dan kontekstual. Bukan berarti menjauh dari dunia, tetapi justru menguasai segala aspek dunia dengan tetap berorientasi kepada kepentingan umat. Harta, jabatan, dan kekuasaan bukanlah tujuan, melainkan sarana untuk mengabdi dan berbagi demi kemaslahatan bersama.
Ketika niat dalam menjalani kehidupan duniawi semata-mata untuk kepentingan umat, maka cara mencapainya pun tidak akan menghalalkan segala cara. Nafsu duniawi terkendali, kerakusan dapat ditekan, dan keseimbangan antara spiritualitas dan materialitas terjaga. Dunia memang harus diupayakan (ihtiari), tetapi diri harus selalu diserahkan kepada Allah.
Orang yang bertawakal dengan sepenuh hati tidak akan terjebak dalam kegelisahan terhadap rezeki dan masa depan. Sebab, ia meyakini bahwa segala sesuatu telah menjadi tanggungan Allah. Kepasrahan kepada Allah bukan berarti mengabaikan usaha, tetapi justru mengoptimalkan ikhtiar dengan hati yang tenang. Sebagaimana sabda Syekh Ibnu Atha’illah, “Istirahatkan dirimu dari pengaturan urusan dunia. Apa yang sudah menjadi tanggungan Allah untukmu, janganlah engkau ikut-ikutan mengaturnya”.
Orang yang memahami tasawuf dalam perspektif Muhammadiyah tidak akan terpengaruh oleh pujian maupun celaan. Ia hanya berorientasi pada ridha Allah, bukan pengakuan manusia. Ketika seseorang menyerahkan segala urusannya kepada Allah dengan penuh tawakal, maka hatinya akan lebih nyaman dalam menghadapi hidup. Tidak ada lagi kegelisahan berlebihan, rasa kecewa pun perlahan sirna. Inilah hakikat tasawuf yang membumi dalam Muhammadiyah—mengusahakan dunia dengan niat ibadah, dan menyerahkan hasilnya kepada Allah.
*)Alumni Ma’ahid Kudus, Pengasuh PonpesMu Manafiul ‘Ulum Sambi Boyolali
